Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kehormatan Ulama pada Keteladanan, Bukan Keterkenalan

2 Mei 2019   12:48 Diperbarui: 2 Mei 2019   13:07 422
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ulama Ibarat Lilin mau menderita untuk memancarkan cahaya demi menerangi lingkungan sekitarnya (pxhere.com)

Ada yang aneh saat ini. Ulama merasa bahwa ia harus dihormati layaknya nabi.Kehormatan Ulama adalah hukum wajib bagi masyarakat yang religius dan selalu mendengar petuah ahli agama dalam hal ini ulama.

Ulama menurut pemahaman saya adalah ahli agama, menguasai ilmunya juga menguasai dirinya sendiri. Seorang ulama sejati tidak akan pernah memposisikan diri untuk dihormati dan diperlakukan layaknya raja. Ia hanya memberi contoh dengan keteladan, perilaku, tutur kata yang santun. Apa yang keluar dari mulutnya sama persis dengan tindakan sehari- harinya.

Umat, jamaah, jemaat akan tunduk hormat karena keteladan ulama itu bukan dipaksa hormat. Dengan sendirinya Jemaah akan hormat melihat tutur kata, tingkah laku dan pembawaan yang terpancar. Aura nya muncul karena setiap tindak tanduknya mampu membuat orang merasa harus merunduk dan segan. Ilmunya yang tinggi serta kerendahhatiannya yang mencuri perhatian. Bukan karena wajahnya yang terpoles seakan- akan suci. Kesucian itu bukan untuk dipamerkan, kesucian itu terpancar alam dari bagaimana  ulama itu menempatkan diri menjadi suluh bagi kegelapan iman para muridnya, menjadi acuan bagi umatnya untuk bertindak dan berperilaku.

Kalau ulama masih memerlukan pujian dan mencari kohormatan maka patut dipertanyakan? Kehormatan itu bukan dicari tetapi terpancar dengan sendirinya. Jamaah atau jemaat akan hormat karena tuntunannya menyejukkan dan ajarannya yang memberi inspirasi. Ulama akan berdiri pada semua golongan tidak pilih -- pilih, apalagi oleh desakan kekuasaan dan rayuan politik yang memabukkan dan mengaburkan rasionalitas.

Jika Ulama berpolitik akan ada sebagian umat atau jamaah yang merasa ditinggalkan. Ulama itu telah beda dan lebih sibuk mengurusi mereka yang sepaham dan segaris dengan paham politiknya. Sekarang muncul Pemimpin agama yang akhirnya lebih senang memeluk ketenaran, dipuja dan diagung-agungkan. Petuahnya menjadi acuan kehidupan dan ia menjadi selebritas dengan aneka kemewahan yang berhasil digenggamnya dari jualan kotbah.  Ulama- ulama yang menikmati kehidupan mewah, hidup di istana megah hasil keringatnya dan bertambah istri demi menghindari dosa mata dan jiwa.

Ketika namanya mendadak diucap dengan nada lucu- lucuan sontak pengikutnya marah. Protes dan segera mengutuk. Padahal siapa tahu sang host atau pelawak itu hanya bercanda mengucap nama yang kebetulan sama dengan nama ulama atau pemuka agama.

Ulama bukan raja, ia tentu siap dicaci atas keteguhannya memegang prinsip ajarannya, bukan titipan penguasa, bukan titipan sebuah rezim atau oposisi yang tengah teraniaya. Seharusnya Ulama berada di tengah -- tengah. Menjadi pengayom bagi semua orang. Ia akan berdiri meskipun cacian bertubi tubi melanda. Bahkan harusnya rela mati meskipun di rajam karena keteguhan ulama memeluk ajarannya.

 Sekarang banyak muncul ulama dengan wajah- wajah palsu, muka alim tetapi ada bara dendam dalam setiap katanya. Ia bisa galak oleh pesanan orang- orang dibalik layar yang entah siapa, yang jelas mempunyai kekuatan besar untuk menggerakkan. Ulama sebenar- benarnya adalah yang berjalan dalam kesunyian pamrih memeluk dunia. Ia berjalan dalam kebenaran yang sunyi oleh pujian dan kehormatan.

Ia menjadi lilin yang menyala dalam kegelapan. Jika ia lilin yang menyala dalam terang tentu tidak ada gunanya. Lilin itu menderita karena terbakar tetapi sekelilingnya bersuka karena kegelapan tersingkap dan semua makhluk di sekitarnya riang karena ada titik cahaya yang membantu untuk melihat dalam gelap.

Sekarang banyak ulama hanya mau hidup dalam terang dunia, dipuja dan mabuk kehormatan. Zaman mulai aneh karena suluh yang menerangi kegelapan itu berdiri dan duduk dalam dunia terang. Ia tidak mau sengsara dan menyandarkan penderitaan pada umatnya yang tertatih- tatih memehami ajaran yang beda antara ucapan dan perbuatan.

Ulama bisa semuanya entah Ustaz, Pastur, Pendeta, Pedanda, Biksu (mereka yang terlibat menjadi misionaris untuk melebarkan sayap ajaran agama, ajaran kebaikan dari Pencipta Alam Semesta)

Saya yang masih memeluk hasrat duniawi merasa sia sia dengan suluh para pemuka agama yang membingungkan. Mereka berdiri dipihak siapa, mengajarkan kebaikan apa, memberi teladan apa. Mereka sibuk mengurusi politik tetapi lupa membentuk akhlak jemaahnya. Membiarkan masyarakat terbelah dengan tuntunan yang beda antara pemuka agama satu dengan yang lainnya. Kebenaran siapa yang bisa dipegang sebagai suluh penerang bagi gelapnya rimba raya perilaku manusia.

Mengaku beragama tetapi membiarkan umat saling bunuh. Mengaku memegang kunci surga tetapi kata- katanya menyakiti sebagian umat manusia. Suluh atau lilin tidak akan berguna jika ia menyala ketika matahari terang merekah.

Ulama Kembalilah menjadi suluh dalam kegelapan bukan menumpang di tempat yang sudah terang benderang. Anda mungkin menderita karena pancaran cahaya tetapi membuat bahagia yang telah tertolong oleh cahaya yang terpancar dari diri anda. Sayangnya masih sedikit pemuka agama yang memegang teguh ajarannya dengan berdiri kokoh tanpa terombang- ambing oleh nafsu dunia yang memabukkan. 

Apalah saya pemahaman agama yang hanya sebutir debu tidak mampu memahami misteri kehidupan ini apalagi memahami para pemuka agama yang sibuk mewakili para politisi yang sedang ingin diakui sebagai pemimpin.Kehormatan Ulama dan pemuka agama itu bukan karena ia ingin dipuja tetapi karena pancaran terang dalam dirinya yang membuat ia layak dipuja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun