Mohon tunggu...
Djohan Suryana
Djohan Suryana Mohon Tunggu... Administrasi - Pensiunan pegawai swasta

Hobby : membaca, menulis, nonton bioskop dan DVD, mengisi TTS dan Sudoku. Anggota Paguyuban FEUI Angkatan 1959

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Ke Rumah Ahok, Belitung yang Indah!

23 September 2017   06:03 Diperbarui: 23 September 2017   06:06 604
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wisata. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Theo, salah seorang cucu kami yang sedang kuliah di Asia Pacific University (APU), Beppu, Jepang, akan mengakhiri kunjungannya ke Jakarta pada tanggal 1 Oktober 2017. Ia sedang berlibur sejak tanggal 4 Agustus 2017 yang lalu. Jadi, sebelum ia kembali ke Jepang, kami mengajaknya tur ke pulau Belitung, sebuah destinasi wisata yang belum pernah kami kunjungi selama ini.

Demikianlah, kami berangkat ke Belitung pada tanggal 19 September 2017 pukul 6.20 dengan menggunakan Sriwijaya Air. Waktu tempuh penerbangan hanyalah 60 menit, sehingga walaupun berangkatnya agak terlambat, pada akhirnya kami tiba di Tanjung Pandan sekitar pukul 7.30. Kami dijemput oleh Johanes Liem, seorang guidemerangkap pengemudi sebuah Kijang Innova yang kami sewa sebelumnya. Dari bandara kami langsung ke hotel Arnava Mutiara, sebuah hotel berlantai tiga, 64 kamar, dan relatif masih baru dengan kamar yang luas, untuk menitip bagasi kami. Lalu kami sarapan pagi di Bakmi Atep yang konon sudah terkenal sejak tahun 1973. Menu utamanya adalah mie Belitung yang berkuah udang yang khas, hanya terdapat di Belitung.

Perjalanan dilanjutkan ke Belitung Timur, menuju ke lokasi sekolah Laskar Pelangi yang telah difilmkan pada tahun 2011, yang menjadi boxoffice, berdasarkan sebuah novel karya Andrea Herata. Panas terik menyengat kulit. Ada sebuah bangunan sederhana terdiri dari dua ruang kelas berisi bangku sekolah dan sebuah papan tulis. Konon, anak-anak  Laskar Pelangi pernah sekolah di ruangan kelas seperti ini sesuai dengan gambar dalam film tersebut. Bukan hanya itu, ternyata di lokasi ini ada pula rumah batik Belitung serta para penjual batu cincin yang juga menjual batu kerikil hitam yang konon mampu menyedot air, katanya.

Setelah mengunjungi Museum Kata Andrea Herata berupa kutipan kata-kata bijak yang ada dalam novel Laskar Pelangi dan Pemimpi, kali mengunjungi Kampung Ahok. Disini kami menyaksikan sebuah rumah besar berlantai dua berwarna kelabu, tanpa penghuni karena pemiliknya sedang berada di penjara, sedang menjalani hukuman selama dua tahun karena didakwa telah menodai agama. Rumah kosong itu milik Basuki Tjahaja Purnama, dikenal sebagai Ahok, mantan gubernur DKI Jakarta, yang bercita-cita besar ingin mengabdi kepada rakyat, yang akhirnya tersungkur dalam penjara.

Rumah besar itu masih lengkap dengan furniturnya, bahkan, bunyi cericit burung peliharaannya masih terdengar. Tampaknya hanya burung kecil itu yang masih menghuni rumah tersebut. Entah kapan pemilik rumah dan keluarganya akan kembali mendiami rumah kosong tersebut. Ataukah selamanya akan ditinggalkan, atau akan dijadikan museum, atau akan dibiarkan menjadi puing-puing sejarah masa lalu seperti Museum Kata. Di sekitar lokasi tersebut ada kandang kuda poni dan keledai serta sebuah toko souvenir yang menjual berbagai pernak pernik khas Belitung. Ada juga sebuah rumah adat Belitung berukuran sedang yang juga menjual souvenir, yang konon dibangun oleh Ahok. Kompleks ini dinamakan Kampong Ahok.

Karena perut sudah berbunyi minta diisi, kami pun makan siang di Restoran Fega di Manggar. Restoran yang menghadap danau bekas galian tambang timah ini sangat indah. Airnya berwarna hijau kebiru-biruan dan konon karena dari danau ini telah dibuat saluran yang menembus ke laut. Restoran ini merupakan restoran satu-satunya yang representatif di kota Manggar.

Setelah cukup kenyang, kami berangkat menuju ke Kelapa Lampit, desa Burung Mandi, mengunjungi Kelenteng Kwan Im (Guan-yin), sebuah kelenteng umat Konghucu yang dibangun diatas sebuah bukit pada tahun 1293. Nun jauh diatas bukit yang tinggi menjulang sebuah patung Dewi Welas Asih, Kwan Im, menatap ke segenap penjuru Belitung, mengayomi umatnya yang percaya kepadanya. Untuk mencapai patung besar itu dibutuhkan tenaga dan daya juang yang besar, terutama bagi orang yang sudah sepuh karena jalannya menanjak. 

Keesokan harinya kami berangkat menuju Tanjung Kelayang, kira-kira 30 menit dari hotel, tempat berlabuh perahu yang khusus untuk mengunjungi pulau-pulau sekitar Belitung. Hari ini adalah perjalanan puncak kami, seharian penuh akan berkecimpung di tengah laut dan pulau-pulau yang penuh dengan batu-batu granit raksasa, yang tidak ada di pulau-pulau lainnya seperti di Jawa, misalnya. Untuk itu, kami harus menyewa pelampung serta alat untuk snorkelling. Dan tentunya harus juga menyewa sebuah perahu motor dengan tiga orang awak yang diperlukan untuk membawa kami berkeliling pulau.

Pulau pertama yang dikunjungi adalah Pulau Batu Garuda karena dari jauh tampak seperti seekor burung yang sedang mendekam. Pulau kedua adalah Pulau Pasir yang hanya segaris pantai berpasir yang beberapa jam kemudian akan lenyap ditelan oleh gelombang laut. Pulau ketiga adalah Pulau Pelayar, sebuah gugusan pulau yang terdiri dari batu-batu besar yang tinggi bagaikan layar perahu. Setelah puas berfoto ria, kami menuju ke Pulau Lengkuas, yang konon, termasuk dalam teritori luar Belitung. Pulau ini adalah pulau terbesar dan terjauh dari pantai Belitung. Disini ada mercu suar setinggi 160 meter yang dibuat pada tahun 1882, yang masih terawat dan dijaga serta berfungsi hingga saat ini. Bangunan di sekitar mercu suar sangat bersih dan terawat baik. Pada bulan November sampai dengan Januari biasanya ombak besar sehingga pulau ini tidak bisa dikunjungi.

Setelah puas minum air kelapa muda disini, kami pun berangkat ke sekitar laut Pulau Lengkuas untuk melakukan snorkelling. Ternyata di tempat ini sudah ada beberapa perahu yang juga melakukan hal yang sama dengan kami. Banyak ikan-ikan kecil berkeliaran dan merubung di pinggir perahu setelah kami menebarkan biskuit. yang sudah diremas-remas menjadi remah. Disini, Theo menyelam sepuasnya, berkeliling sekitar perahu, menyaksikan keindahan dalam laut serta bercengkerama dengan ikan-ikan yang menari-nari. Menurut Maya, ibu Theo, yang ikut snorkelling ada ikan berwarna pelangi yang sangat indah, entah ikan apa namanya.

Lalu tibalah saatnya untuk makan siang di Pulau Kepayang. Menurut Johanes, setiap pengunjung ke pulau ini dikenakan biaya sebesar Rp 20.000,- untuk makan siang ataupun hanya sekedar berfoto-foto. Disini tersedia minuman teh dan kopi secara gratis lengkap berikut gulanya. Setelah makan siang, kami melakukan petualangan memasuki goa Bidadari, yang tidak ada bidadarinya. Ternyata perlalanan yang hanya beberapa puluh meter itu penuh dengan batu-batu granit besar yang berserakan dimana-mana. Jadi kita harus pandai memilih jalur sehingga bisa mencapai sebuah goa yabg berair dan tembus ke laut. Ada sebuah batu sebesar rumah yang menutup jalan sehingga perlu tenaga ekstra untuk melewatinya. Namun ada seorang ibu yang berusia 72 tahun mampu melewatinya walaupun dengan nafas yang terengah-engah.

Setelah mendarat kembali di Tanjung Kelayang, kami menuju Tanjung Tinggi, tempat shooting film Laskar Pelangi yang sudah melegenda itu. Konon, di tempat inilah kami bisa menyaksikan matahari tenggelam yang indah mempesona. Ternyata di Tanjung Tinggi terdapat sangat banyak batu sebesar gajah, bahkan sebesar rumah. Ada Batu Bebek, Batu Bakpau, Batu Belah, dan lain-lain. Matahari pun terbenam, tidak sepenuhnya kami saksikan sampai betul-betul tenggelam karena ada awan gelap yang menyelimuti menjelang peraduannya. Sebuah peristiwa kecil terjadi disini. Kacanata Vivi, milik tour leader kami, adiknya Maya, terjatuh ke lubang batu besar. Untung ada Bang Yanto yang sigap, yang mampu meraih kacamata tersebut dari sela-sela lubang batu tersebut.

Atas rekomendasi Johanes, kami makan malam di Rumah Makan Belitong Timpo Duluk, sebuah restoran yang menyajikan makanan khas Belitung yaitu Nasi Bedulang, yang disajikan diatas sebuah nampan yang ditutup oleh sebuah tudung saji berwarna merah. Isi nampan tersebut adalah gangan, sop kepala ikan khas Belitung, sate ikan tengiri, oseng-oseng, dan lalapan sambal sereh. Masakan ini disediakan untuk empat orang atau lebih. Konon resep makanan ini sudah ada sejak tahun 1918 yang disajikan khusus untuk makan bersama dengan keluarga terdekat.

Tibalah kami pada hari ketiga, hari terakhir di Belitung yang indah. Obyek yang kami kunjungi adalah minum kopi di Warung Kong Jie sekalian beli kopi bubuk dengan merk yang sama, yang konon sudah terkenal sejak dahulu kala. Kunjungan berikutnya adalah rumah adat Belitung. Ternyata rumah adat ini adalah replika rumah adat milik bangsawan tang ditandai dengan anak tangga berjumlah sembilan, status yang paling tinggi. Rumah adat di kampung milik penduduk biasa memiliki hanya tiga anak tangga. 

Di Rumah Adat ini terdapat foto-foto sejarah Belitung berikut peninggalan bekas raja Belitung lengkap dengan segala perlengkapannya. Sebelum meninggalkan Belitung, kami sempat mengunjungi Danau Kaolin, sebuah danau bekas tambang timah yang berisi air kebiru-biruan yang pernah disebut sebagai Telaga Biru. Kaolin yang dikandung di sekitar Danau ini menjadi bahan baku untuk pembuatan keramik.

Sungguh Belitung yang indah. Sungguh rumah Ahok yang Sendu. Sungguh Belitung yang sedang menggeliat, menatap masa depan yang lebih cerah. Sungguh Belitung yang perlu gedung bioskop untuk menghibur penduduknya. Sungguh Belitung yang perlu tangan-tangan bersih untuk mengelolanya .......

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun