Banyak kota dibangun dan terbangun. Dibangun karena direncanakan untuk menjadi sebuah kota. Terbangun karena tidak direncanakan menjadi kota tetapi ternyata menjadi sebuah kota.
Orang Kampung di Dalam Kota
Yogyakarta sebagai kota menjadi unik. Khas. Spesial. Dan memiliki posisi khusus. Meskipun sudah ditahbiskan menjadi sebuah kota, di dalamnya tetap tidak saja ada, tetapi juga berkembang kampung-kampung. Menyuplik istilah dari salah satu akademisi, Yogyakarta adalah kota-kampung. Kampung-kampung yang mengota. Sebuah kota yang terbentuk atau terdiri dari kampung-kampung.
Di Tengah Kampung
Yogyakarta pada masa kini sudah berdaya dukung sebagai sebuah kota tetapi terhidupi, antara lain, oleh semangat sebuah kampung yang besar. Yang masih ada tegur-sapa, tradisi yang masih relatif terjaga meskipun modernisasi mau-tidak-mau atau suka-tidak-suka terus mendesak dan merangsek.
Menelusur labirin-labirin kota akan sangat terasa kekampungannya. Pos ronda, taman-taman di lorong-lorong sampai fasilitas kepentingan publik yang unik karena ada dan berkembang bersama kehidupan warganya dari waktu ke waktu.
Pada sisi lain, gamelan juga masih banyak didengar suaranya meskipun napas tradisional yang diberi sentuhan modern juga masih dapat dengan mudah dinikmati seperti musik campursari. Ada yang berpendapat musik jenis campursari adalah bentuk "keterponthalan" musik tradisional. Pendapat yang tidak sepenuhnya benar dan tidak sepenuhnya salah. Saya lebih setuju bahwa campursari adalah bentuk atau cara mengusahakan keberlangsungan. Apalagi bila dinikmati dalam sense kampung masa kini menjadi lebih elok, di mana ada nilai-nilai tradisi yang dijunjung tetapi dinikmati seyampang dengan kebudayaan manusia yang melaju dalam bungkus modernitas.
Kaum Urban Perkotaan yang Dibelenggu Keunikan
Perayaan lebaran yang baru saja berlalu mestinya meninggalkan banyak kegairahan tersendiri bagi yang mudik ke Yogyakarta. Terlebih yang di masa lalu banyak menghabiskan waktu untuk tumbuh dan berkembang di Yogyakarta misalnya pada masa studi dalam kurun waktu tertentu. Mereka ini tanpa ada yang menyarankan, menyuruh atau mendorong tetapi agaknya ikut mengampung-halamankan Yogyakarta. Tidak heran kota menjadi penuh himpit dan sesak karena tiba-tiba di waktu tertentu dalam setiap tahun penuh keinginan mencecap kembali karena ada "setangkup rindu untuk pulang ke kotamu".
Jakarta, misalnya, memang menyediakan penghidupan melalui lapangan kerja di sektor industri dan jasa, tetapi pada saat yang sama Jakarta terasa juga membutuhkan value bila dibandingkan Yogyakarta. Jakarta dapat terasa lebih kering, lebih kerontang. Jakarta yang terus dikembangkan menjadi kota yang fungsional untuk bertahan hidup tidak banyak menyediakan kebutuhan "lain" seperti Yogyakarta.
Merindukan Kota yang Kaya Nilai