Mohon tunggu...
Dewi Puspasari
Dewi Puspasari Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis dan Konsultan TI

Suka baca, dengar musik rock/klasik, dan nonton film unik. Juga nulis di blog: https://dewipuspasari.net; www.keblingerbuku.com; dan www.pustakakulinerku.com

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Kawah Ijen Kini, Penambang Belerang Punya Pekerjaan Sampingan

23 Oktober 2018   13:48 Diperbarui: 23 Oktober 2018   22:36 1547
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ada keranjang belerang nih di puncak, tapi mana penambangnya ya? (dokpri)

"Mari mbak, dilihat-lihat dulu suvenirnya". Seorang pria paruh baya menata-nata barang dagangannya, sementara seorang Ibu asyik membandingkan produk kerajinan satu dengan lainnya. Ia kemudian asyik menawar sebelum memutuskan membeli tiga buah suvenir. Suvenir dengan dominan warna kuning itu berbahan utama belerang. Namun, aroma khasnya sudah tak begitu menyengat.

Benda-benda kerajinan di depanku begitu beragam. Ada yang berupa hiasan dinding dan hiasan meja. Bentuknya variatif. Belerang itu ada yang diukir membentuk tulisan I Love Banyuwangi. Bentuknya ada pula yang seperti kaligrafi, bunga, dan miniatur keranjang berisi belerang. Aku menanyakan harganya. Tergolong terjangkau dan wajar, dengan kisaran Rp 10 - 30 ribu.

"Jauh-jauh ke sini, beli kerajinan belerang buat oleh-oleh," ujar si bapak tua tersebut.

Produk kerajinan belerang ini jauh lebih variatif dibandingkan ketika lima tahun lalu aku ke Kawah Ijen. Bapak tua itu dulunya juga seorang penambang belerang.

Mengingat usianya yang tak lagi muda dan tenaganya yang seperti dulu, ia lebih memilih berjualan suvenir dari belerang. Hasilnya kalau dihitung-hitung tak jauh beda dengan ketika jadi penambang, bahkan bisa jadi lebih menguntungkan ketika pengunjung lagi ramai.

Miniatur keranjang belerang (dokpri)
Miniatur keranjang belerang (dokpri)
Benakku kemudian memutar kenangan lima tahun silam. Dulu, pada kunjungan pertamaku ke sini, aku masih sering berpapasan dengan para penambang, tapi kali ini aku tidak bertemu dengan mereka.

Mungkin aku kesiangan. Atau hujan-hujan seperti ini mereka memutuskan kembali lebih awal. Aku hanya melihat sebuah keranjang pikul yang biasanya mereka gunakan untuk membawa hasil tambang mereka ketika akhirnya tiba di puncak.

Rupanya para penambang itu masih ada meskipun jumlahnya tidak sebanyak dulu. "Mbaknya naiknya kesiangan. Jam 1-an penambang biasanya sudah berangkat," ujar salah satu penambang yang kutemui di pos peristirahatan. Aku jadi malu. Hujan deras dari malam sebelumnya hingga Subuh membuatku ragu untuk berangkat. Baru sekitar pukul enam aku tiba di loket, start pendakian.

Sambil mengumpulkan tenaga di pos peristirahatan, aku mendengarkan cerita-cerita dari penambang tersebut. Sesekali ia membujukku untuk naik troli, eh ada juga yang menyebutnya taksi hihihi.

Pekerjaan sampingan penambang sejak musim wisatawan memang bertambah. Selain membuat dan berjualan suvenir dari belerang, kini mereka menawarkan untuk mengangkut pengunjung hingga ke puncak, bolak-balik, atau dari puncak menuju pos kedatangan. Memang sih aku beberapa kali melihat pengunjung yang naik troli. Satu troli kadang-kadang diisi dua penumpang jika arahnya ke bawah.

Enak kali ya naik troli, tidak perlu capek untuk mendaki atau untuk turun, pikirku. Aku kemudian tertawa terbahak-bahak ketika mendengar nominalnya.

Ada beragam benda kerajinan dari belerang, bisa dibuat buah tangan (dokpri)
Ada beragam benda kerajinan dari belerang, bisa dibuat buah tangan (dokpri)
Untuk sekali turun, pengunjung dikenakan Rp 150-200 ribu. Jika berat badannya ringan satu troli bisa diisi dua orang. Namun untuk naik ke puncak maka tarifnya bisa empat kali lipat.

Pasalnya, perlu tenaga sekitar 3-4 penambang untuk membantu menarik dan menahan troli tersebut. Hahaha tarifnya sama dengan tiket pesawat Jakarta ke Banyuwangi sekali jalan. Tapi memang perlu tenaga ekstra untuk mengangkut pengunjung hingga ke atas.

Aku pikir rasanya kurang mantap jika ke gunung tapi dengan metode angkut, tidak dengan berlelah-lelah ke puncak dengan kaki sendiri. Tapi ternyata sebagian pengunjung berpikiran lain. Mungkin karena sudah merasa jauh-jauh ke Banyuwangi, sayanglah kalau tak ke Kawah Ijen. Namun, apa daya tenaga tidak prima.

Ketika aku turun, aku melihat beberapa pengunjung nampak was-was ditarik dan didorong penambang hingga ke puncak. Wah kayaknya lebih seram naik dengan troli, sensasinya gimana gitu. Kalau dari segi tenaga yang dikeluarkan pengunjung, naik troli ini kesannya di bawah jasa naik kuda yang banyak ditawarkan di Bromo.

Menurutku ide bisnis ini sama-sama menguntungkan, baik di pihak penambang maupun pengunjung. Penambang dapat tambahan penghasilan dan pengunjung bisa tetap ke puncak tanpa banyak tenaga.

Yuk naik troli, tinggal duduk bisa langsung ke puncak (dokpri)
Yuk naik troli, tinggal duduk bisa langsung ke puncak (dokpri)
Untunglah ada troli. Lima tahun dulu aku juga pernah melihat seorang penambang membantu pengunjung seorang perempuan tua dengan menggendongnya dari belakang.

Ada pula yang dengan sabar memapah seorang pengunjung menuju puncak dan kembali ke pos awal pendakian. Ya...ya...ya ada banyak cara menuju Kawah Ijen, bergantung pada kemampuan dan juga ketebalan dompet.

Usaha jasa angkut dengan troli ini dirasa menguntungkan bagi kaum penambang. Menjadi penambang belerang masih termasuk salah satu pekerjaan yang berbahaya. Selain ancaman gas belerang, juga ada ancaman gas beracun.

Biasanya penambang mampu membawa hingga 100 kilogram belerang setiap harinya. Mereka berjalan sekitar 10 kilometer bolak balik dengan jalanan yang menguras tenaga.

Untuk pekerjaan yang berat itu mereka mendapat upah yang tak sepadan. Satu kilogram belerang hanya dihargai sekitar Rp 1.200,-. Pekerjaan ini juga tak selalu ada karena beberapa kali Kawah ijen ditutup karena mengeluarkan gas beracun atau terjadi gempa vulkanis.

Sekilonya hanya Rp 1.200,- padahal pekerjaan menambang belerang ini berbahaya (dokpri)
Sekilonya hanya Rp 1.200,- padahal pekerjaan menambang belerang ini berbahaya (dokpri)
Musim Hujan Memang Kurang Nyaman untuk Ke Puncak
Lima tahun lalu aku ke Kawah Ijen sendirian. Saat itu bulan September dan cuaca sedang cerah, sehingga teman-teman yang baru melakukan pendakian cukup banyak. Beberapa hari Banyuwangi tanpa hujan. Pendakian berjalan lancar, sekitar dua jam berikutnya aku sudah tiba di puncak.

Namun, beberapa waktu lalu aku mendaki dalam cuaca hujan. Malam sebelumnya hujan deras. Ketika aku tiba di pos keberangkatan, hujan rintik-rintik masih terus menyapa.

Awalnya aku ragu. Namun, melihat pasangan yang kukuh ingin tiba di puncak, aku pun tertular semangatnya. Kukenakan jaket, kubawa payung, dan isi tasku hanya air minum, biskuit, dan power bank. Semakin sedikit bawaan akan semakin ringan dan semakin baik.

Tidak mudah mendaki saat musim hujan. Hujan kadang-kadang berubah menjadi demikian derasnya sehingga aku mengalah dan menunggu di pos pemberhentian. Badan dan sepatu menjadi dingin dan agak basah, membuat kurang nyaman. Aku beberapa kali berjalan perlahan-lahan dan lebih was-was karena jarak pandang terbatas.

Kabut kadang turun dan hujan deras membuat waktu tempuh lebih lama (dokpri)
Kabut kadang turun dan hujan deras membuat waktu tempuh lebih lama (dokpri)
Oleh karena hujan maka waktu tempuhku jadi lambat. Pos-pos peristirahatan sarat dengan pengunjung yang berteduh, sehingga aku memutuskan untuk tak berlama-lama dan agar segera tiba di puncak. Siang hari kabut biasanya turun dan akan semakin susah untuk mendaki ataupun turun.

Akhirnya baru sekitar empat jam aku pun tiba di puncak. Waktu tempuhnya dua kali lipat daripada pendakianku pertama. Aku tertegun ketika melihat puncak yang kering seolah-olah tak ada hujan sama sekali.

Panorama Kawah Ijen ini berbeda dengan kunjunganku sebelumnya. Ada pos peristirahatan di atas. Pemandangannya lebih hijau, dulu nampak gersang. Berbeda namun sama-sama indah.

Kawah Ijen sekarang lebih aman (dokpri)
Kawah Ijen sekarang lebih aman (dokpri)
Kawah Ijen yang selalu indah (dokpri)
Kawah Ijen yang selalu indah (dokpri)
Di Kawah Ijen aku bertemu beberapa pendaki yang kemudian menjadi teman perjalanan hingga ke puncak. Mereka menawariku teh hangat dan mie kuah yang hangat disantap. Aku agak was-was ketika mereka memasak dengan kompor portable. "Eh nggak berbahaya nih masak di sini?"

Mereka berhati-hati dan memasak dengan cepat. Tapi kalau dipikir-pikir tak jauh dari kami juga ada pos yang juga menjual makanan dan minuman panas. Asal waspada dan berhati-hati, jauh dari kawah, ujar kawan baruku itu. Api dengan cepat dipadamkan. Ada semangkuk teh hangat dan mie goreng instan yang dimasak dengan kuah. Hidangan sederhana yang terasa begitu lezat. Makanan itu menjadi salam pertemanan kami.

Aku tersenyum teringat lagu lawas Dewa 19 yang berjudul Mahameru. Gunung Semeru jauh lebih sulit didaki daripada Kawah Ijen, tapi rasanya perjuangan ke puncak ini kemudian ikatan pertemanan di antara pendaki rasanya mirip-mirip. Ada ego dan rasa angkuh yang ditundukkan oleh alam, juga ada persahabatan yang hadir.

Mie dan teh hangat sebagai salam pertemanan (dokpri)
Mie dan teh hangat sebagai salam pertemanan (dokpri)
Aku kemudian bergegas turun, kuatir akan kabut. Sudah pukul sebelas siang. Pukul 12 sudah tidak boleh ada pengunjung yang start mendaki. Kabut tebal akan datang dan tentunya berbahaya karena membatasi pandangan.

Enaknya mendaki saat musim penghujan, proses perjalanan turunnya lebih mudah, tanahnya lebih keras. Dulu aku beberapa kali berhenti dan jalan perlahan-lahan, karena pasir yang bisa membuat tergelincir. Aku kemudian mendapat tips agar jalan menurun dengan zig-zag agar tidak mudah terpeleset.

Waktu menuju puncak, aku berjalan beriringan dengan petugas SAR. Ada dua pengunjung yang hilang, belum kembali dari malam sebelumnya. Untunglah ketika aku tiba di pos kedatangan, terdengar kabar gembira. Rupanya karena hujan deras kedua pengunjung yang datang melihat api biru itu berupaya berteduh. Mereka keluar dari jalur pendakian, setelah itu mereka tersesat.

Sisi belakang gersang, sisi depan begitu hijau (dokpri)
Sisi belakang gersang, sisi depan begitu hijau (dokpri)
Dulu gersang, ketika hujan jadi hijau (dokpri)
Dulu gersang, ketika hujan jadi hijau (dokpri)
Kejadian itu sudah terjadi beberapa kali. Petugas SAR mengingatkan kami untuk berangkat dan turun tanpa keluar jalur. Sempat ada yang seperti orang gila, Mbak waktu kami temukan dua hari kemudian. Entah apa yang dialami pendaki tersebut, hanya ia yang tahu, ia menutup kisahnya.

Sejak film 5 cm memang semakin banyak pengunjung yang menjadikan gunung sebagai destinasi wisata Indonesia. Tapi ada kalanya pengetahuan mereka tentang tips, pengetahuan dan etika mendaki masih kurang. Padahal mereka bisa lho membacanya terlebih dahulu di website dan blog. Salah satunya tentang tips perjalanan juga bisa dibaca di Travel Tips dalam website Pegipegi.

Libur akhir tahun ini aku belum dapat ide. Kawah Ijen tetap menjadi salah satu tempat wisata yang kurekomendasikan sebagai destinasi libur tahun baru. Sepertinya aku perlu memeriksa aplikasi Pegipegi yang kuunduh cuma-cuma untuk mendapatkan inspirasi tujuan wisata dan mengetahui promo terbarunya. Wah tiket kereta sudah bisa dipesan nih dari artikel yang kubaca di Pegipegi untuk libur akhir tahun. Siap-siap notes untuk hitung bujet liburan dan mencatat beberapa inspirasi tempat wisata.

Kalau mau bepergian bisa baca dulu travel tipsnya pegipegi (screenshot web Pegipegi)
Kalau mau bepergian bisa baca dulu travel tipsnya pegipegi (screenshot web Pegipegi)
Kabut sudah mau turun, kembali ah (dokpri)
Kabut sudah mau turun, kembali ah (dokpri)
 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun