21 Juni, 49 tahun yang lalu, seorang putra terbaik bangsa Indonesia menghembuskan nafas terakhirnya tepat pukul 07.07 WIB, Minggu 21 Juni 1970 di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat, setelah menderita komplikasi penyakit yang cukup parah. Hari-hari terakhir Sukarno dihabiskannya dalam kesendirian, diasingkan oleh bangsanya sendiri. Ia meninggal dalam keadaan sakit.
Sebelumnya Sukarno menandatangani Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) yang kontroversial, yang isinya ---berdasarkan versi yang dikeluarkan Markas Besar Angkatan Darat--- menugaskan Letnan Jenderal Soeharto untuk mengamankan dan menjaga keamanan negara dan institusi kepresidenan. Supersemar menjadi dasar Letnan Jenderal Soeharto untuk membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan mengganti anggota-anggotanya yang duduk di parlemen.
Setelah pertanggungjawabannya ditolak Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pada sidang umum ke empat tahun 1967, Sukarno diberhentikan dari jabatannya sebagai presiden pada Sidang Istimewa MPRS pada tahun yang sama dan Soeharto menggantikannya sebagai pejabat Presiden Republik Indonesia.
Tahun 1966 terbit buku "Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia," oleh Cindy Adams. Di dalam buku itu banyak keluhan Bung Karno terhadap situasi terakhir politik dalam negeri.
"Aku tidak tidur selama enam tahun. Aku tak dapat lagi tidur barang sekejap. Kadang-kadang, di larut tengah malam, aku menelpon seseorang yang dekat denganku seperti misalnya Subandrio, Wakil Perdana Menteri Satu dan kataku... Untuk pertama kali dalam hidupku aku mulai makan obat tidur. Aku lelah. Terlalu lelah," ujar Bung Karno.
Bung Karno ingin mengatakan, bahwa masalah politik di saat-saat itu menggerogoti jiwanya. Sepertinya Bung Karno tidak mampu menghadapi gelombang cacian dan makian dari bangsanya sendiri. Inilah awal senja kehidupan Bung Karno, berteman dengan sepi.
Menjelang kejatuhan Bung Karno sebagai Presiden RI, Lembert J.Giebels, mantan anggota Majelis Rendah Parlemen Belanda, menulis dalam bukunya "Pembantaian yang Ditutup-tutupi Peristiwa Fatal di Sekitar Kejatuhan Bung Karno, " terjemahan dari judul aslinya "De Stille Genocide. De fatale gebeurtenissen rond de val de Indonesische President Sukarno."
Lembert menulis di halaman 232-244 buku itu dengan subbab "Akhir Sukarno." Dikelilingi oleh diplomat, jurnalis dan anggota staf Istana, Sukarno berlaku seakan-akan ia masih tetap seorang kepala negara yang maha kuasa. Namun gambar-gambar televisi mengungkapkan bahwa Sukarno menyadari bahwa ia hanya memainkan peran sebagai Presiden, tulis Lambert J. Giebels.
Kemudian diteruskan, "Pemirsa bisa melihat bagaimana Presiden secara demonstratif menandatangani surat surat di pangkuan sekretarisnya, dengan gelisah menghela asap rokoknya yang telah ia cabut dari kantong baju salah seorang yang berdiri dalam lingkaran itu... Dengan sebuah gerakan tangan tidak sabar."
Presiden Sukarno juga menyuruh pergi Menteri Luar Negeri Adam Malik, tanpa memandangnya. Sesudah itu ia menanggalkan baju seragamnya dan sambil di sana membetulkan lukisan yang miring dan meniup debu yang tidak ada dari bajunya, dengan baju kemeja dan bretel yang tergantung lepas, ia tampak menghilang dari layar televisi. Beban "psychologis," itulah sebenarnya yang dialami Sukarno di saat-saat kejatuhannya. Dia berjalan sendiri tanpa ada orang-orang yang ikut membantunya.
Melukiskan tentang hari Minggu siang, tanggal 21 Juni 1970 tentang tersiar berita Presiden Pertama RI, Ir. Sukarno meninggal dunia, Bambang Widjanarko melukiskan bahwa suasana waktu itu bagaikan mendengar guntur menggelegar di tengah siang hari yang terang, masyarakat sangat terkejut dibuatnya.
Hening sejenak bagaikan arwah sendiri meninggalkan raga, tak terasa air mata mengalir pelan yang akhirnya menderas lebat membasahi muka.
Bung Karno meninggal karena kesehatannya semakin hari semakin menurun. Sejak awal 1965, penyakitnya sudah hampir menggerogoti tubuhnya. Hal ini terungkap dari pernyataan Amarzan Loebis, wartawan senior yang sangat aktif meliput peristiwa di lingkungan Istana waktu itu:
"Tetapi sesungguhnyalah, terutama sejak awal 1965, kesehatannya (Sukarno) tak lagi bagus. Pada awal September tahun itu, ketika saya menyertai serombongan penghadap yang ikut sarapan pagi di beranda Istana Negara, kami menyaksikan berbagai suntikan, pil, kapsul dan madu Arab bolak-balik disodorkan oleh tim kesehatan kepresidenan yang mendampingi Bung Karno. Pada acara-acara malam pun, setelah acara resmi, Bung Karno lebih sering melepas sepatu dan tampaklah kakinya yang membengkak," ujar Amarzan Loebis.
Inilah gambaran selintas saat-saat sepi Bung Karno. Majalah "Tempo," edisi 26 Oktober 2003, halaman 71 memberi perhatian besar terhadap Bung Karno:
"...kesunyian seorang Bung Karno. Perintahnya tak dituruti, pidatonya hanya menjadi kembang api; membuncah lalu hilang bersama malam. Hampir dua tahun suara Bung Karno nyaris tak terdengar. Ia seperti tokoh dalam novel Gabriel Garcia Marquez: lelaki yang melewati waktunya dalam 100 tahun kesendirian."