Mohon tunggu...
Dasman Djamaluddin
Dasman Djamaluddin Mohon Tunggu... Wiraswasta - Saya Penulis Biografi, Sejarawan dan Wartawan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

I was born in Jambi (Sumatera Island) on September, 22, 1955. I am Biographer, Journalist and Historian. Now, I am is Executive Director of Research 11 March Order (Supersemar) History and Executive Director of Election Research in Indonesia. I had my early education in my home town. Graduated from elementary school (SD 9/IV), in Jambi, 1968. Graduated from Junior High School (SMP I), 1971, in Jambi. After that I continoud my Senior High School in Blora (the middle Java), graduated (SMA Negeri), 1974. In March 30, 1979, graduated from Cenderawasih University (Bachelor degree in law studies) in Papua (the east Indonesia). I then moved to the Andalas University (International Law Studies) but not finished (1980-1983). I then went to Jakarta to become a journalist. Besides that, I continoud my study at Indonesia University (1986-1987/Philosopy studies) in Jakarta, but only for one years, not finished. In August, 22, 2003, graduated from Indonesia University (Faculty of Law) and then master degree of History, January, 16, 2007 in University of Indonesia, Jakarta. As a journalist, in December 1992, I went to Rusia, Jordania and Iraq. I has been known as a biographer. My early as biographer, published in 1992, title "70 Tahun Achmad Tirtosudiro" (Jakarta: Intermasa, 1992) and "Grain of Rice B.M.Diah" (Jakarta: Pustaka Merdeka, 1992). B.M.Diah or Burhanuddin Mohammad Diah is a national figure and witness of history. B.M.Diah is well known and respectable person of public life of the Republic of Indonesia. B.M.Diah is a father figure of the Indonesia Press and Media, a diplomat and ambassador. He established the nationally famous news group "Merdeka" (I Oktober 1945), a man who spent part of his life in news paper. I also wrote the biography, titled:"Gunawan Satari, Fighter, Educate and Scientist" (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994). Gunawan Satari is well known a professor and secretary of research minister of BJ.Habibie. And then "The Late General Basoeki Rachmat and 11 March Order (Supersemar)" (Jakarta: PT.Gramedia Widiasarana Indonesia /Grasindo). First publish in August, 1998. Reprinted, in June, 2008.The late General Basoeki Rachmat is well known a witness of 11 March Order History. Together with M.Jusuf and Amirmachmud, he is as witness President of Republic of Indonesia Soekarno signed the document known 11 March Order (Supersemar) in Bogor Palace. After this letter and then Soeharto become the new president of Republic of Indonesia. In 1998, My book: "Saddam Hussein, Overcoming Chalenge "(Jakarta: PT.Penebar Swadaya, 1998) to get appreciation of the office of the President's Press Secretary of Iraq Republic. And then "Golkar, as Altenative Party" (Jakarta:Centre of Law Study of Indonesia University, 2003). Preface of Dean Faculty of Law Indonesia University: Prof.Abdul Bari Azed, SH. Sekber Golkar (known as Golkar) had been represented in Soekarno"s National Front. In 2012, I also wrote biography, titled: “Gen.Rais Abin, (December 1976 - September 1979) as Force Commander UNEF. “ or “Rais Abin, Panglima Pasukan Perdamaian PBB, 1976-1979 (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2012). Kurt Waldheim, Secretary-General said to Rais Abin: “During this period UNEF, under your leadership, has discharged with remarkable success the complex responsibilities assigned to it by the Security Council. You have performed the tasks entrusted to you, often in difficult circumstances, with exemplary efficiency, resourcefulness and dedication.” http://dasmandj.blogspot.com (http://dasmandjamaluddinshmhum.blogspot.com)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Setelah Tiga Tahun Berkunjung ke Irak

15 September 2017   09:22 Diperbarui: 15 September 2017   12:47 949
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari ini, 15 September 2017, tiga tahun yang lalu, tepatnya tanggal 15 September 2014, pesawat yang saya tumpangi Etihad Airways sudah mendekati Bandara Baghdad, ibu kota Irak.

Memang tidak seperti bandara internasional lainnya, suasana terasa agak sepi jika dibandingkan dengan bandara internasional lainnya yang sebelumnya saya kunjungi. Maklumlah sewaktu-waktu Bandara bisa saja dipakai oleh Angkatan Udara Irak, yang sejak kedatangan saya hingga hari ini sewaktu-waktu dipakai untuk mengusir kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS).

Bagaimana pun, kali ini ke Irak, saya bisa memakai pesawat jika dibandingkan perjalanan pertama ke Irak pada 13 Desember tahun 1992. Pada tanggal itu, meski tujuan utama saya ke Baghdad, Irak, tetapi langkah pertama saya tidak bisa langsung ke Baghdad seperti tahun 2014 itu. Saya harus menuju Yordania dulu. Dari sana, kemudian saya melalui darat naik taksi ke ibu kota Irak, Baghdad.

Jalan yang ditempuh waktu itu sekitar 885 kilometer yang menghabiskan waktu selama lebih kurang 13 jam. Itu pun melalui jalan datar, maklumlah melalui padang pasir yang sangat luas.Dahulu persoalan Irak adalah mengenai pemberlakuan Zona Larangan Terbang sepanjang garis paralel 36 di Utara Udara Irak dan 32 di Selatan Udara Irak.

Bukan hanya saya saja yang mengalaminya sebagai seorang wartawan, waktu itu di harian "Merdeka," pimpinanan Burhanuddin Mohamad Diah (BM Diah). Tetapi dari wartawan hingga kepala negara lain, harus melalui jalan darat.

Melalui surat BM Diah pula, saya diperkenankan masuk ke Irak oleh pemerintahan Presiden Irak Saddam Hussein.

Perjalanan saya ke Irak tahun 2014 karena diundang Duta Besar Indonesia untuk Irak waktu itu, yaitu Letjen TNI (Marinir/Purn) Safzen Noerdin.

Udara di kota Baghdad ketika itu, sangat panas. Saya dijemput di Bandara oleh staf Duta Besar. Dalam perjalanan ke Kedutaan Besar Indonesia, saya melihat masih ada gundukan tanah, akibat perang antara pasukan Amerika Serikat dan sekurunya melawan pasukan Irak yang setia kepada Presiden Irak Saddam Hussein. Pasukan Irak kalah total dan akhirnya Presiden Irak setelah melalui pengadilan, ia dianggap bersalah, karena selama pemerintahannya melakukan berbagai pembunuhan terhadap suku Kurdi dan kelompok Islam Syiah. Saddam Hussein tewas di tiang gantungan.

Perjalanan saya kali ini ke Irak dalam pengawalan militer Irak yang siap siaga di sudut kota. Foto Presiden Saddam Hussein yang ketika ke Irak tahun 1992, sudah tentu tidak ada lagi. Era Saddam Hussein telah berakhir.

Waktu saya banyak dihabiskan di Kedubes Indonesia di Baghdad. Dahulu di tahun 1992, saya hilir mudik di kota Baghdad, sekarang tidak mungkin. Bom-bom mobil hampir setiap hari meledak. 

Hari Jumat, tanggal 19 September 2014, pihak Kedubes memberitahu saya bahwa besok akan diajak ke Kufa (Kufah). Besok paginya sudah dipersiapkan mobil anti peluru, milik Kedubes Indonesia di Baghdad. Untuk menjaga berbagai kemungkinan yang terjadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun