Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Cerita tentang Hujan] Genangan Cap Go Meh

9 Februari 2020   06:08 Diperbarui: 9 Februari 2020   06:11 470
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh PublicDomainPictures dari pixabay.com

Langit dikurung awan-awan muram, mencurahkan hujan deras merajam punggung aspal. Tidak butuh lama jalanan basah, yang pada sebahagiannya ditutup genangan.

"Pyaaaar....!" roda depan sebuah sedan Jerman menerjang genangan, menyemburatkan air mengarah ke halte, tempat berteduh saat hujan tiba-tiba turun, yang dipenuhi para pengendara sepeda motor tak berjas hujan.

Aku terdiam saja, pasrah diguyur air jalanan, menatap kosong pada kendaraan abu-abu melaju cepat.

Tidak dengan pengendara lain, yang serempak meneriakkan sumpah serapah merutuk sepasang manusia di dalam mobil

Rasa dingin merayap. Resah berbelit-belit menyesaki pikiran ruwet.

Masih melekat dalam ingatan, kemarin pagi, "Sudah tahu musimnya, ya mbok siapkan jas hujan!". Aku menunduk diam, diceramahi atasanku karena telat masuk kantor.

"Ini sudah yang kesekian kalinya kamu terlambat...!" lanjutnya, meluapkan amarah lambat ditahan. Pulangnya, tanpa menunda, kubeli satu stel jas hujan.

Keesokan harinya aku demikian terbirit-birit berangkat, jas hujan baru dibeli tertinggal di atas meja, tidak kusimpan ke dalam bagasi sepeda motor.

Aku mengumpat, menyesali kecerobohan yang berulang-ulang.

Untunglah awan mendung tidak menumpahkan hujan, sehingga tidak merintangiku hadir tepat waktu di kantor.

Setelahnya, kali ini setengah hari kerja, aku bergegas menjemput seorang wanita yang belum lama kukenal. Yah... kurang lebih seminggu lalu.

Aku mengenalnya di sebuah pertokoan Cibinong. Wanita ramah, menyenangkan diajak berbicara, walau hanya sebentar. Ia harus melayani pengunjung lainnya.

Kenangan singkat, tapi cukup waktu merekam nomor telepon dan namanya: "Elis..", ucapnya pelan. Belakangan baru aku tahu dari percakapan melalui WA, nama sebenarnya adalah Euis.

Hatiku berbunga-bunga menemukan seorang wanita berwajah "crying face", paras ayu bermata pilu: sebagai hendak menangis, kendati tidak sedang bersedih.

Obsesi atas wajah sendu kutemukan padanya. Aku merasakan getaran saat menjabat tangan lembutnya. Selain itu, ehm....sulit dilukiskan. Kira-kira seperti semangkuk buah melon kupas baru dikeluarkan dari kulkas, segar, mengundang rasa untuk segera memakannya.

Lamunan segera kutepis, memacu sepeda motor menuju tempat kos Euis, yang pada hari Sabtu itu sengaja meminta off (libur) demi menyaksikan Bogor Street Festival Cap Go Meh.

Kami memilih sebuah halte agar bisa duduk sambil melihat arak-arakan keluar dari Wihara Dhanagun.

Bola mata Euis membesar, terkesima menikmati kemeriahan pawai barongsai, liong atau naga, dan pawai kesenian tradisional lain di sepanjang jalan Suryakencana.

Aku lebih terpesona memandang wajah elok itu, mengarunginya dalam sampan khayal. Sebatang rokok kunyalakan, kuhisap dalam-dalam lantas kurengkuh bahunya.

Sebuah tangan mungil menyibakkan rengkuhanku, tangan satu lagi menutup hidung dan tubuhnya bergerak menjauhiku, menyebabkan tanya di benak, "Kenapa?"

"Aku...aku, tidak ingin dekat rokok. Trauma..." mata sayu itu menjawab pilu menunjukkan ketidak-nyamanan. Kegelisahannya cukup menahanku untuk tidak mempersoalkan lebih lanjut.

Segera, sebatang di tangan dan dari saku baju, sebungkus rokok masih terisi setengahnya, kubuang ke tempat sampah. Sayang sih!

Insiden kecil itu agak mengganggu. Namun, kemudian aku kembali memandang wajah berbinar diterpa sinar matahari sore dan memeluknya hangat.

Sesekali kepalanya bersandar di dadaku, saat ia tertawa kecil melihat aksi lucu peserta pawai.

Kukecup rambutnya, terhirup aroma melati. Pelukanku semakin erat sampai dengan seluruh rangkaian acara tersebut berakhir.

Kegembiraannya tiada habis kendati telah tiba di tempat kos, ia terus bercerita tentang pengalaman indrawinya, tentang gelegar aksi peserta dan tentang kemeriahan yang baru pertama kali disaksikannya.

Euis bertutur gegap gempita, ketika sebuah kecupan manis pada keningnya menghentikan semua cerita. Mata sayu itu memandangku. Kucium pipi kiri yang merona merah.

Kucium pipi kanan, kudengar alunan nafas lembut. Bibirnya  merekah basah. Wajahnya seperti semangkuk buah melon kupas baru dikeluarkan dari kulkas, segar, mengundang rasa untuk segera memakannya.

Mendadak sebuah kesadaran meluluh-lantakkan angan dalam sampan khayal.

"Euis, aku harus kembali ke tempat tadi!", mata sayu itu terbeliak melihatku melompat lesat keluar kamar meninggalkan tanya besar.

Kesetanan, kupacu sepeda-motor yang berteriak-teriak kucambuk sepanjang perjalanan diantara makian penyesalanku.

Tadi, jam 3 sore halte itu adalah tempat paling romantis di tengah keramaian, sekarang menjadi ruang sepi. Aku segera menerkamnya, melongok ke dalam tempat sampah yang telah kosong. Seluruh persendianku lepas, tulang-belulang lemas.

Panik, kutanya pria berseragam kuning tentang sebungkus rokok dalam tempat sampah. Mukanya tercengang, ludahnya tertelan, lalu melengos melanjutkan pekerjaan menyapu jalan.

Aku mengumpat, menyesali kecerobohan yang berulang-ulang.

Sekali ini kecerobohan fatal: tadi, sebungkus rokok masih terisi setengahnya, kubuang ke tempat sampah. Di dalamnya kusimpan cincin kawin!

Langit dikurung awan-awan muram, mencurahkan hujan deras merajam punggung aspal. Tidak butuh lama jalanan basah, yang pada sebahagiannya ditutup genangan.

~~Selesai--

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun