Mohon tunggu...
Bona Ventura Ventura
Bona Ventura Ventura Mohon Tunggu... Guru - Kontributor buku antologi: Presiden Jokowi: Harapan Baru Indonesia, Elex Media, 2014 - 3 Tahun Pencapaian Jokowi, Bening Pustaka, 2017 | Mengampu mapel Bahasa Indonesia, Menulis Kreatif, dan media digital

#Dear TwitterBook, #LoveJourneyBook @leutikaprio

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Politisi & Puisi

10 Oktober 2014   21:16 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:34 357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio


Apakah masih ada fungsi orang menulis puisi? Apakah tak ada hal lain yang dapat dilakukan selain menulis puisi? Apakah dengan menulis puisi penyair bisa hidup layak? Mari tengok ke rak buku laris di toko buku, jarang terdapat buku puisi di sana. Rata-rata buku laris terdiri novel dan buku ”how to.” lalu, mengapa buku puisi masih dicetak? Mengapa masih ada penerbit yang tetap mencetak, meski sudah sadar konsekuensinya. Penjualan terbatas dengan segmen pembaca yang juga terbatas.

Sejatinya puisi memiliki efek yang baik untuk para pembaca. Ada ungkapan bahwa sebuah bangsa yang bar-bar atau manusia yang kasar bisa saja belum pernah membaca puisi dalam sejarah hidupnya. Seno Gumira Ajidarma dalam kata pengantar buku kumsi (kumpulan puisi) Renungan Kloset karya Rieke Dyah Pitaloka menulis bahwa setiap kali ada orang Indonesia menulis puisi, kita harus bersyukur, karena kalau toh ia tidak berhasil menyelamatkan jiwa orang lain, setidaknya ia telah menyelamatkan jiwanya sendiri.

Puisi memang tidak bisa menunda kematian manusia, tapi puisi jelas menunda kematian jiwa dalam diri manusia yang masih hidup. Hal ini dimungkinkan, karena dari sifatnya, puisi membebaskan diri dari kematian budaya. Mungkin itu salah satu alasan dari penerbit yang masih setia menerbitkan buku puisi, karena saat setiap satu buku puisi terbit, buku tersebut mengemban misi mulia: untuk membebaskan diri manusia dari kematian jiwa dan budaya. Pembaca dan penikmat puisi lambat laun jiwanya semakin lembut. Melalui kelembutan yang dimiliki, maka pembaca puisi akan memilih cara atau jalan damai dalam mengarungi hidupnya, bahkan bagi seorang sastrawan dari Bali, Oka Rusmini mengungkapkan bahwa menulis puisi baginya adalah semacam upacara penunda kematian. Dengan puisi ia berdialog dengan hidup, berkompromi dan berpikir tentangnya: menyadari bahwa ia benar-benar manusia. Mari mulai menulis minimal satu puisi di buku harian manual atau digital. Nikmatilah dan rasakan sensasi menulis dan membaca puisi. Minimal kita telah menyelamatkan jiwa sendiri.

Puisi dan Politik

Menulis puisi membutuhkan keheningan dan kedalaman permenungan. Sedangkan politik adalah dunia yang penuh hiruk-pikuk, kegaduhan dan beragam kepentingan atau agenda politik berseliweran. Lalu, bagaimana kaitan puisi dan politik dalam kehidupan? Goenawan Mohamad dalam esainya yang berjudulSeribu Slogan dan Sebuah Puisi mengungkapkan bahwa seorang tiran atau seorang Hitler setiap hari bisa saja membuat seribu slogan, tapi ia tidak akan sanggup membuat puisi yang sejati. Puisi dan politik bagai dua kutub yang sulit bertemu. Puisi mengandalkan keheningan, sedangkan politik mengandalkan pengerahan masa (hiruk-pikuk). Puisi berasal dari kemurnian terhadap permenungan suatu peristiwa kehidupan, sedangkan politik bersumber dari ragam kepentingan. Politik adalah seni kemungkinan. Tidak ada lawan atau kawan yang abadi dalam politik, yang ada hanya kepentingan.

Kini Indonesia bersiap dengan pemilihan presiden tahun 2014. Kehebohan sudah dimulai saat Joko Widodo (Jokowi) ditetapkan sebagai calon presiden yang diusung PDIP. Pemberian mandat tersebut diumumkan seminggu sebelum pemilu legislatif 9 April 2014. PDIP mendengarkan aspirasi masyarakat yang terekam dalam beragam survei. Permulaan Februari 2013, Pusat Data Bersatu (PDB) merilis hasil survei dari 1200 responden yang berasal dari 30 provinsi di Indonesia (Dinanta,2014,hlm.61). Hasil survei PDB menempatkan Jokowi di posisi teratas dengan 21,2%. Selain survei dari PDB, rata-rata hasil survei (LSJ, LSI, Pol-Tracking Institute, IRC dan LIPI) selalu menempatkan Jokowi di posisi teratas.

Berdasarkan beragam hasil survei tersebut, maka sangatlah wajar saat PDIP mencalonkan Jokowi untuk maju dalam pilpres 2014. Setelah pengumuman pencapresan Jokowi tersebut dimulailah beragam cara untuk melemahkan elektabilitasnya. Puisi merupakan salah satu amunisi yang digunakan untuk melemahkan kepopuleran Jokowi.

Berikut puisi berjudul Ra Iso Opo-opo yang dibuat oleh Fadli Zon, politikus dari Partai Gerindra untuk ”menyerang” Jokowi:

Ra iso opo-opo

Aku ra iso opo-opo/ seperti wayang digerakkan dalang/ cerita sejuta harapan/ menjual mimpi tanpa kenyataan.

Berselimut citra fatamorgana/ dan kau terkesima/ aku ra iso opo-opo/ menari di gendang tuan/melenggok tanpa tujuan/ berjalan dari gang comberan/ menabuh genderang blusukan/ kadang menumpang bus karatan/ di antara banjir dan kemacetan/ semua jadi liputan/ menyihir dunia maya/ dan kau terkesima/ aku ra iso opo-opo/ hanya bisa berkata ra popo (16 April 2014).

Puisi yang dibuat oleh Fadli Zon tersebut sempat menjadi pembahasan di media masa, karena puisi tersebut memang dibuat untuk secara tegas melemahkan popularitas Jokowi. Dalam puisi Ra Iso Opo-opo mengungkapkan bahwa sosok Jokowi merupakan capres boneka yang digerakkan oleh Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDIP. Puisi tersebut juga menyinggung blusukan Jokowi yang merupakan pencitraan semata. Padahal blusukan yang dilakukan oleh Jokowi merupakan salah satu gaya kepemimpinan sejak menjadi Walikota Solo dan Gubernur DKI Jakarta. Blusukan yang dilakukan Jokowi bukanlah pencitraan, karena melalui blusukan ia dapat mengenal masyarakat secara langsung dan menyerap beragam aspirasi langsung dari lokasi.

Jokowi merupakan sosok yang merakyat dan populer, karena gaya kepemimpinan horizontalnya. Ia tidak suka berdiam diri hanya menunggu laporan dari bawahan. Blusukan atau sidak yang dilakukannya merupakan cara ampuh untuk mengikis budaya melapor bawahan yang ABS (asal bapak senang). Kecintaan pendukung Jokowi pun ditunjukkan dengan dibuatnya puisi tandingan. Salah satu puisi tandingan dibuat oleh Afnan Malay. Berikut puisi berjudul Ra Tau Opo-opo karya Afnan Malay:

Ra Tau Opo-opo

Aku ra tau opo opo

Sekadar menyanyikan tembang

Mencuri sejumput perhatian

Merajutkan angan-angan

Melayang menembus cakrawala

Mungkin kau terpesona

Aku ra tau opo-opo

Menghimpun gandengan tangan

Melongok kiri kanan

Langkah gagah mendaku pahlawan

Menebar mantra sulapan

Mengajak terbang setinggi awan

Terdengar nyinyir pun berlebihan

Semuanya terasa instan

Menjungkir dunia makna

Mungkin kau terpesona

Aku ra tau opo-opo

Tapi merasa berbuat opo-opo

(18 April 2014)

Puisi berjudul Ra Tau Opo-opo yang dibuat oleh Afnan Malay mencerminkan bahwa popularitas Jokowi diperoleh dengan kerja keras bukan dengan cara instan seperti memasang iklan atau gambar wajahnya di berbagai jalan. Masyarakat sudah mengetahui rekam jejak dan prestasi Jokowi sejak menjabat Walikota Solo selama dua periode dan berlanjut terpilih sebagai Gubernur DKI Jakarta pada tahun 2012. Jokowi yang berlatarbelakang pengusaha sudah mengetahui kendala yang terkadang menghambat dunia usaha seperti proses perizinan dan pelayanan publik. Latar belakang pengusaha tersebut amat berbeda dengan politisi yang dari awal terjun ke politik. Dengan latar belakang pengusaha Jokowi mengetahui bahwa kepuasan konsumen merupakan hal utama, sedangkan politisi terkadang dalam merumuskan kebijakan lebih mengutamakan kepentingan partai atau pribadi. Politisi korup yang mengiklankan Katakan Tidak pada Korupsi merupakan contoh bahwa kepentingan pribadi dan partai lebih utama.

Gaya kepemimpinan horizontal Jokowi dengan ciri khas blusukan sebetulnya bukan sesuatu yang baru. Bung Karno, presiden RI pertama dan Sultan Hamengkubuwono IX saat menjadi wapres terbiasa melakukan turba (turun ke bawah) untuk langsung mendengar keluh-kesah atau permasalahan dalam masyarakat. Lalu, apa yang berbeda dengan blusukan Jokowi? Hal yang membedakan Jokowi dengan politisi lain adalah blusukan yang dilakukan merupakan gaya dalam kepemimpinannya. Blusukan Jokowi bukan untuk pencitraan, karena melalui blusukan ia dapat langsung menyerap aspirasi masyarakat tanpa melalui bawahan yang terkadang justru hanya menyampaikan laporan ABS.

Penutup

Sebagai makhluk berbudaya manusia tidak lepas dengan beragam proses kreativitas. Menulis puisi merupakan salah satu kemampuan produktif dalam berbahasa. Dibutuhkan kreativitas dan keheningan untuk menciptakan puisi. Puisi lahir dengan beragam tujuan dari hal yang positif hingga untuk kepentingan negatif, termasuk kampanye negatif di dalamnya. Hiruk-pikuk politik di Republik Indonesia melahirkan puisi dengan beragam tujuan. Ragam puisi W.S Rendra merupakan suara kegelisahan terhadap pembangunan yang tidak merata. Buku kumpulan puisinya dengan judul Potret Puisi dalam Pembangunan merekam kegundahan hati Rendra bahwa pembangunan semakin menimbulkan jurang antara kaum berpunya dengan kaum papa.

Ragam puisi Wiji Thukul (aktivis buruh yang hingga kini belum jelas keberadaannya akibat penculikan) merekam suara-suara ketertindasan. Sebagai buruh, Wiji Thukul mengetahui dengan persis betapa rentan posisi buruh berhadapan dengan pengusaha serta pemerintah. Puisi-puisi Wiji Thukul kerap dibacakan dalam beragam demonstrasi menentang otoriterianisme orde baru, bahkan salah satu kalimat puisinya menjadi slogan para aktivis, yakni hanya ada satu kata: LAWAN!

Puisi-puisi yang berasal dari perenungan mendalam terhadap suatu peristiwa kehidupan sungguh menguatkan kepada siapapun yang mendengar atau membaca. Publik akan mengetahui mana saja puisi sejati atau puisi karbitan. Dalam hiruk-pikuk politik Indonesia yang terkadang membuat kepala berkerut, publik punya penilaian, apakah puisi Fadli Zon berjudul Ra Iso Opo-opo dan Afnan Malay berjudul Ra Tau Opo-opo merupakan puisi sejati atau puisi karbitan? Sebab orang yang picik akan sulit membuat puisi sejati yang bersumber dari dalam hati.

* Pernah dimuat di Majalah Studium N0. 05, Juli 2014

Daftar Pustaka

Ajidarma, Seno Gumira. Kata Pengantar dalam Renungan Kloset, Rieke Dyah

Pitaloka (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008).

Dinanta, Rinandi. Rakyat Meminta Jokowi (Yogyakarta: Pustaka EA, 2014).

Muhamad, Goenawan. Seorang Penyair dan Serangkai Esai dalam Cinta di Negeri

Seribu Satu Tiran, Sitok Srengenge (Jakarta: Rajut Publishing, 2012).

Rendra, W.S. Potret Puisi dalam Pembangunan (Jakarta: Pustaka Jaya, 1990).

Thukul, Wiji. Aku Ingin Jadi Peluru (Yogyakarta: IndonesiaTera, 1999).

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun