Mohon tunggu...
BENTAR SAPUTRO
BENTAR SAPUTRO Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar di semestaNya

ketik huruf, angka dan tanda baca.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ya, Sama-sama (Memaafkan)

31 Juli 2015   08:46 Diperbarui: 12 Agustus 2015   04:30 6208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berawal dari perjalanan panjang yang penuh dengan perjuangan dan usaha yang sungguh-sungguh. Setelah melewati dalam kurun waktu satu bulan penuh menjalani kewajiban untuk menahan haus dan lapar bahkan menahan diri dari segala hawa nafsu yang buruk. Berikut serangkaian agenda-agenda yang menunjang semakin meningkatnya kualitas keimanan seseorang dalam bulan yang penuh hikmah dan ampunan. Setelah kesemuanya itu sudah dilalui dan bahkan dikerjakan dengan kesungguhan untuk kembali melahirkan sesuatu yang baru dalam diri manusia, tibalah manusia masuk ke dalam hari ‘kemenangan’. Ini merupakan bentuk hadiah dari Tuhan kepada manusia, setelah melalui perjalanan yang luar biasa yakni Hari Raya Idul Fitri. Semua menyambutnya dengan gegap gempita untuk merayakannya dengan penuh rasa syukur dan mendapatkan kemenangan di hari yang Fitri.

Dalam tradisi manusia Indonesia khususnya, ada yang menarik dalam rangka menyambut hari kemenangan. Mulai dari gema takbir yang terdengar dihampir setiap sudut lingkungan mereka yang merayakannya hingga hidangan-hidangan yang disajikan di hampir setiap rumah.

Hampir di setiap hari raya Idul Fitri kebanyakan orang mengucapkan permohonan maaf kepada sesama manusia yang lainnya. Ucapan tersebut dapat disampaikan secara langsung maupun disampaikan dengan memanfaatkan bebagai media yang ada saat ini. Saya juga sering mendapatkan hal yang sama, yakni ucapan hari raya idul fitri dan permohonan maaf. Baik secara langsung maupun dari berbagai media sosial, seperti sms, BBM, WA, Facebook dan lain sebagainya.

Dari semua ucapan-ucapan lebaran dan ucapan permohonan maaf, saya mencoba untuk memahami dan memaknai ucapan tersebut. Berikut penggalan kata (ucapan lebaran dan permohonan maaf) yang pernah saya kirim : “Salam. Selamat Idul Fitri. Mohon maaf lahir batin.” Berbagai balasanpun masuk setelah beberapa saat saya kirimkan. Ada yang membalas dengan kata-kata yang panjang, puitis, ke-arab-araban, berpantun dan masih banyak lagi. Entah itu hanya sekedar copy-paste atau justru langsung mem-forward sms dari sumber lain.

Bukan soal puitis, ke-arab-araban, atau forward. Saya sering mendapati kata-kata bahwa ketika saya mengucapkan kata maaf, hampir kebanyakan orang yang saya jumpai langsung menjawabnya dengan ucapan ya, sama-sama. Semuanya hampir mengatakannya seperti itu. Ini yang membuat saya berpikir lebih dalam, bahwa ketika meminta maaf yang saya sampaikan ke orang lain justru yang saya dapatkan hanyalah semacam pasrah-memasrahkan kesalahan dan permohonan maaf kembali dari lawan bicara saya. Bukannya memaafkan terlebih dahulu atas kesalahan saya yang sudah diperbuat (tentunya masih dalam konteks ucapan meminta maaf), tetapi kebanyakan dari mereka justru berbalik meminta maaf atas kesalahan mereka juga.

Sederhananya begini, bahwa ketika meminta maaf semestinya ada jawaban atas permintaan tersebut. Hanya ada dua kemungkinan jawaban yang dimaksud, yaitu DIMAAFKAN atau BELUM DIMAAFKAN.

Jawaban pertama ‘dimaafkan’, jawaban ini mengindikasikan bahwa dari komunikasi dua arah ini sudah memaafkan kepada orang pertama yang kemudian dilanjut oleh orang kedua untuk mengucapkan kata meminta maaf juga kepada orang pertama. Entah ikhlas atau tidak dalam hal memaafkan tadi, hanya antara mereka dan Tuhan yang tahu ke-ridha’an-nya. Sedangkan jawaban kedua ‘belum dimaafkan’, jawaban ini berarti ada salah satu pihak yang belum bisa menerima permintaan maaf (namun biasanya ini jarang terjadi di saat-saat lebaran). Kalaupun belum memaafkan, semestinya pula ada perjanjian atau kesepakatan-kesepakatan tertentu yang harus dibuat untuk dapat menebus atas kesalahan-kesalahan yang diperbuat.

Nah, dari semua ucapan permintaan/permohonan maaf yang dibalut dalam suasana lebaran dapat saya simpulkan sebagai berikut:

  • Setiap ucapan selamat lebaran semestinya juga dibalas dengan mengucapkan kembali selamat lebaran yang dimaksud, sekalipun sudah sama-sama tahu.

          Contoh sederhana : “selamat lebaran ya”. Dibalas dengan, “selamat lebaran juga ya”.

  • Setiap ucapan permintaan/permohonan maaf yang disampaikan, semestinya harus dijawab (ya, dimaafkan atau belum dimaafkan).

          Contoh sederhana : “mohon maaf lahir-batin ya”. Dibalas dengan, “ya, dimaafkan dan mari kita saling memaafkan. Mohon maaf lahir-batin juga ya” kemudian pastikan anda mendapatkan jawaban yang sama kira-kira begitu.

Lagi-lagi ini hanyalah opini sederhana saya saja, terserah Anda mau melakukan apa yang saya sarankan tadi atau justru mengabaikannya. Akhirnya, saya pribadi mengucapkan mohon maaf yang sedalam-dalamnya kepada Anda. Semoga bermanfaat.

 

Refleksi diri setelah Ramadhan, 6 Agustus 2014.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun