Mohon tunggu...
Muhammad Irfan Ayyubi
Muhammad Irfan Ayyubi Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Seorang bapak satu anak. Mahasiswa prodi Sastra Indonesia Universitas Pamulang

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Ruwet (Bagian 4)

4 September 2019   09:19 Diperbarui: 4 September 2019   09:28 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Bagian sebelumnya

....

"Sekarang, aku tanya sekali lagi, aku harap kamu jujur No, bicara yang benar seperti alamarhum bapakmu, jangan berbelit. Koperatif sedikit, aku masih menghargai Kang Yono, bapakmu itu sudah kuanggap sebagai kakakku ku sendiri. Jangan bikin keterangan palsu, nanti salah-salah ku jebloskan kamu ke penjara."

Pono tersudut. Peluh semakin membanjiri dahinya. Rambut gondrongnya diikat ke belakang, hawa semakin panas sampai tanpa sadar kaus hitam bersablon tulisan The Beatlesnya itu juga telah basah. Padahal baling-baling kipas angin besar yang  menggantung di langit-langit itu berputar dengan cepatnya, namun tetap saja atmosfer seketika terasa lebih panas daripada biasanya. 

Malam telah begitu larut, baru saja jam kuno berbandul yang bersandar pada dinding tengah ruang tamu itu berdentang sebelas kali. Ia sekarang berada di rumah Yu Darsih, di hadapannya kini empat orang sepuh duduk di sofa. Raut wajah mereka tegang. Daeng Andi di sisi kanan, Kapten Darso, suami Yu Darsih, masih menggunakan seragam lengkap polisinya dan sedari tadi menginterogasinya duduk di sofa panjang tengah. Sementara Kang Parto si hansip dan seorang lagi adalah bapak tukang ojek online duduk di sofa yang terpisah sedikit sebelah kiri. Di antara Pono dan ketiga orang tua itu hanya terpisah oleh meja kaca persegi panjang yang rangkanya dibuat dari kayu jati berukir dari jepara. Di atasnya ada empat cangkir kopi hitam pekat yang sudah dingin, asbak penuh puntung  rokok berbatang-batang, dan kepulan asap yang membumbung tinggi ke udara kosong dari rokok yang masih terbakar yang diselipkan pada jari-jari ketiga orangtua itu.

Pikiran Pono bingung, sial sekali rasanya ketiga bocah itu membawanya pada perkara pelik macam ini. Matanya sekali-sekali membuang pandang ke arah foto-foto keluarga Kapten Darso di dinding sebelah kanan. Di dekatnya ada pintu menuju kamar Yu Darsih. Didalamnya, tuan rumah sudah mengamankan bayi-bayi itu dalam kamarnya, mereka masih tertidur dengan nyenyaknya. Ia sudah kepergok basah. Barang bukti ada,  dengan kesaksian dari bapak tukang ojek online dan ditambahi oleh bumbu Yu Darsih bahwa pono terlibat sindikat perdagangan anak. Pono berpikir keras, dia harus mempertahankan alibinya.  


"Benar Paklik, mereka anak teman saya, ditipkan ke rumah sementara mereka berlibur ke Eropa selama tiga bulan." Pono berkata serampangan. 

"Mana buktinya? tak ada riwayat percakapan apa-apa di hp kamu tentang temanmu yang menitip anak itu." Kapten Darso terus mendesak, disesapnya kopi dingin itu dan kemudian menghisap rokoknya lagi.

"Justru itu Paklik, mana juga bukti bahwa saya sindikat? Ada tidak riwayat percakapan atau teleponnya?"

"Pasti sudah dihapus, kalian main rapih!" Bapak tukang ojek berlagak. Ikut menekan Pono. Mata pono menusuk mata bapak tua itu, menyebalkan sekali lagaknya. Bisa-bisanya ia menuduh yang bukan-bukan, batin Pono.

"Cukup pak, biar saya saja yang berbicara. Bapak kalo tidak diminta jangan bicara!" Damprat Kapten Darso pada bapak tukang ojek. Mulutnya pun terkunci

"Aku mohon Pono, aku janji bisa bantu kamu kalau kamu mau bicara jujur. Kamu tau kan, aku kenal betul Bapak-Ibumu, mereka orang baik-baik belaka." Kapten Darso terus membujuk sementara Pono masih bergeming.

Sementara itu, di luar rumah sana, menunggu banyak kepala-kepala manusia berjejalan. Kini bukan hanya warga RT 13 saja yang hadir. Melainkan warga satu kampung Sengon hampir semua datang menunggu di luar rumah Yu Darsih. Pagar dikunci dari dalam. 

Dua hansip anak buah Kang Parto ; Simin dan Tarjo, membantu menjaga jalannya interogasi. Satu-persatu tukang jualan keliling mangkal di sepanjang pinggir jalan itu ; dari mulai tukang kacang sampai nasi goreng, tukang kopi bersepeda, bakso malang, sate padang, mainan anak-anak, macam-macamlah. 

Mendadak seperti pasar malam dadakan. Beberapa muda-mudi yang pacaran memanfaatkan jajanan murah itu untuk makan bersama sepiring atau semangkuk berdua. Biar romantis katanya. Banyak bocah laki-perempuan di dekat lapangan yang kemudian memutuskan bermain petak umpet atau karet. Beberapa pemuda karang taruna mengusulkan untuk menonton film dari laptop menggunakan proyektor di pos ronda dekat situ, laptop dan proyektornya adalah inventaris karang taruna dari hasil sumbangan warga juga. 

 Tentu saja hal itu jadi hiburan sementara menunggu bagaimana hasil Pono diinterogasi. Tukang jualan keliling semakin banyak berdatangan, Tulang Nai, yang baru saja bawa panen durian dari kampungnya di Sumatera Utara langsung memarkir mobil bak terbuka untuk memanfaatkan situasi jadi tukang durian dadakan. Semakin larut semakin ramai.

Hampir subuh ketika kemudian Pono benar-benar merasa harus berkata yang sebenarnya. Ia sudah tidak tahan, matanya amatlah mengantuk meski sudah diganjal kopi tiga cangkir. Daeng Andi juga sudah mulai tertidur, Kang Parto yang amat bosan menunggu Pono bicara jujur dari jam satu pagi pamit berjaga di beranda main gaple dengan Simin dan Tarjo. 

Bapak tukang ojek online sudah dipersilahkan pulang dan akan dipanggil bila diperlukan. Kapten Darso minta diri sebentar untuk menggarap Yu Darsih di kamar belakang, sudah seminggu perwira itu tugas ke luar kota dan merasa kangen dengan sang istri. Sepertinya mereka amat sangat bergairah, suara rintihan Yu Darsih terdengar keluar meski pelan. Bagaimanapun garangnya saat berprofesi, seorang polisi juga manusia. Hal itu sangat dimengerti oleh Pono yang masih bujang kencur sekalipun.

Pasar malam dadakan sudah bubar dari jam dua, beberapa warga juga memutuskan pulang dan kembali esok saja kalau-kalau sudah ada informasi terbaru. Sisa dari keramaian itu hanyalah tingal Beberapa pemuda karang taruna dan warga yang masih asik menonton film Warkop DKI, bertahan begadang. Bergelas-gelas plastik penuh kopi, kacang dan kepulan asap rokok jadi pemandangan biasa.

Pono bangkit dari duduknya, memberanikan diri melangkah, mengetuk kamar belakang tempat Kapten Darso dan Yu Darsih sedang berada berduaan.

"Maaf Paklik Darso, saya mengganggu,. saya.. Pono.. mengaku."

Suara Pono diikuti bunyi gedubrakan kecil, tampak seperti seseorang melompat dari ranjang ke lantai. Sejurus kemudian pintu terbuka dan terlihat kepala Kapten Darso menyelip dari celah pintu yang terbuka itu. Rambut halus dikepalanya terlihat memutih, di bagian depan sudah polos, hanya tersisa samping dan belakang. Wajahnya dipenuhi Guratan tua. Dengan sorot mata tajam tapi hangat ia menatap Pono.

"Pono, ngger[2].. kenapa baru mengaku.. sebentar aku pakai pakaian dulu, duduklah yang tenang." Perintah Kapten Darso, yang langsung diikuti Pono melangkah gontai menuju ruang tamu. Dalam hati Pono bertanya-tanya, darimana aku harus memulai ceritanya?

Keduanya kini berhadapan lagi di ruang tamu. Posisinya masih sama, namun kini Kapten Darso hanya memakai oblong putih ketat yang menunjukkan lekuk tubuh atletisnya meski usianya sudah lebih dari separuh abad. Perutnya tak buncit, tanda ia abdi Negara anti makan barang haram. Sejak dahulu ia sudah jadi karib ayahnya. Sang kapten melihat anak muda dihadapannya, seperti melihat karibnya, Kang Haji Yono waktu muda. Tetes air matanya tak terasa membasahi pelupuk matanya. Mengingat jauh, bayangannya menerobos jauh ke masa lampau, ketika ia masih muda bersama Yono. Ketika Darso belum jadi Polisi, dan Yono belum jadi Haji. Usia Darso hanya berbeda dua tahun, mereka duduk di Sekolah Lanjutan Tingkat Atas yang sama, di kelas yang sama, sama-sama pula mengejar seorang gadis jelita. Jumiyah namanya.

"Kenapa kamu harus jadi sindikat penjual anak Pono... Kalau kurang biaya sementara Ibumu bekerja di Jeddah, kamu bisa minta padaku, aku sedari kamu kecil juga sudah menggendongmu ngger... Bikin malu kamu.. bikin malu bapak Ibumu, bikin malu paklikmu sendiri...." Nada Kapten Darso menyiratkan penyesalan yang mendalam.

"Tapi.." Pono mencoba menyela, tapi Kapten Darso terus berbicara dengan lirih, air matanya berderai-derai.

"Bapakmu itu kan Kiai, Haji, orang terpandang di kampung ini, sarung yang kupakai ini saja pemberian bapakmu dari madinah, bahkan sebelum kampung ini sebagiannya jadi komplek, kakekmu itu juga kiai tersohor betul, buyutmu itu pernah jadi murid Sunan Kudus... Duh gusti... Pono...Pono.. kalaulah kamu jadi pemberontak, ikut isis atau ikut komunis sekalipun aku turut bangga kamu punya keberanian menyandang ideologi, meski kita berseberangan, tapi kamu malah jadi penjual anak-anak..."

"Anu.. Tapi saya.."

"Tapi saya apa, Pono... ngger..ngger... Kamu itu harusnya kasihan sama Ibumu, coba toh dia susah-susah jadi TKW di negeri orang sana, kamu sudah bujang begini, harusnya mencukupi ibumu.. tapi bukan dengan uang haram begini Pono..."

Yu Darsih yang mendengar rintihan suaminya segera menghampiri ruang tamu, masih dengan daster abu-abu motif kembang ia duduk di samping sang suami. Yu Darsih memijit-mijit pundak Kapten Darso. Pono makin merasa tidak enak dengan pemandangan ini.

"Pono, ngger, kalau melakukan sesuatu itu, mesti diperhitungkan baik buruknya dahulu, jangan merusak nama baik orangtuamu nak." Yu Darsih menimpali sang suami.

"Siapa yang merusak nama baik orangtua bulik?"

"Loh kamu tadi katanya mengaku, kamu mengaku jadi sindikat perdagangan anak kan?"

"Bukan."
"Lantas?"

Bersambung

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun