"Pono, ngger[2].. kenapa baru mengaku.. sebentar aku pakai pakaian dulu, duduklah yang tenang." Perintah Kapten Darso, yang langsung diikuti Pono melangkah gontai menuju ruang tamu. Dalam hati Pono bertanya-tanya, darimana aku harus memulai ceritanya?
Keduanya kini berhadapan lagi di ruang tamu. Posisinya masih sama, namun kini Kapten Darso hanya memakai oblong putih ketat yang menunjukkan lekuk tubuh atletisnya meski usianya sudah lebih dari separuh abad. Perutnya tak buncit, tanda ia abdi Negara anti makan barang haram. Sejak dahulu ia sudah jadi karib ayahnya. Sang kapten melihat anak muda dihadapannya, seperti melihat karibnya, Kang Haji Yono waktu muda. Tetes air matanya tak terasa membasahi pelupuk matanya. Mengingat jauh, bayangannya menerobos jauh ke masa lampau, ketika ia masih muda bersama Yono. Ketika Darso belum jadi Polisi, dan Yono belum jadi Haji. Usia Darso hanya berbeda dua tahun, mereka duduk di Sekolah Lanjutan Tingkat Atas yang sama, di kelas yang sama, sama-sama pula mengejar seorang gadis jelita. Jumiyah namanya.
"Kenapa kamu harus jadi sindikat penjual anak Pono... Kalau kurang biaya sementara Ibumu bekerja di Jeddah, kamu bisa minta padaku, aku sedari kamu kecil juga sudah menggendongmu ngger... Bikin malu kamu.. bikin malu bapak Ibumu, bikin malu paklikmu sendiri...." Nada Kapten Darso menyiratkan penyesalan yang mendalam.
"Tapi.." Pono mencoba menyela, tapi Kapten Darso terus berbicara dengan lirih, air matanya berderai-derai.
"Bapakmu itu kan Kiai, Haji, orang terpandang di kampung ini, sarung yang kupakai ini saja pemberian bapakmu dari madinah, bahkan sebelum kampung ini sebagiannya jadi komplek, kakekmu itu juga kiai tersohor betul, buyutmu itu pernah jadi murid Sunan Kudus... Duh gusti... Pono...Pono.. kalaulah kamu jadi pemberontak, ikut isis atau ikut komunis sekalipun aku turut bangga kamu punya keberanian menyandang ideologi, meski kita berseberangan, tapi kamu malah jadi penjual anak-anak..."
"Anu.. Tapi saya.."
"Tapi saya apa, Pono... ngger..ngger... Kamu itu harusnya kasihan sama Ibumu, coba toh dia susah-susah jadi TKW di negeri orang sana, kamu sudah bujang begini, harusnya mencukupi ibumu.. tapi bukan dengan uang haram begini Pono..."
Yu Darsih yang mendengar rintihan suaminya segera menghampiri ruang tamu, masih dengan daster abu-abu motif kembang ia duduk di samping sang suami. Yu Darsih memijit-mijit pundak Kapten Darso. Pono makin merasa tidak enak dengan pemandangan ini.
"Pono, ngger, kalau melakukan sesuatu itu, mesti diperhitungkan baik buruknya dahulu, jangan merusak nama baik orangtuamu nak." Yu Darsih menimpali sang suami.
"Siapa yang merusak nama baik orangtua bulik?"
"Loh kamu tadi katanya mengaku, kamu mengaku jadi sindikat perdagangan anak kan?"
"Bukan."
"Lantas?"
Bersambung