Aku menoleh dan menatap sosok jubah hitam duduk di seberang ruang rapat, duduk di lantai. Sabit bergagang panjang di tangan, menyeruput kopi hitam.
Aku rebah kembali bersandar ke kursiku dan menghirup udara untuk mengisi paru-paru."Aku ... aku tak siap untuk mati."
"Siapa yang mengatakan sesuatu tentang mati?" kata Malaikat Maut meletakkan cangkirnya di atas meja. Dia menatap sabit di tangan kirinya lalu tertawa terbahak-bahak. "Ah. Maaf soal ini. Aku kerja paruh waktu sebagai pengganti sementara karena dia sedang cuti."
Aku menghembuskan napas lega. "Kamu kerja sambilan sebagai Kematian? Apa yang kamu lakukan di akhir pekan? Menunggu sangkakala berbunyi?"
Pemeran-Pengganti-Malaikat-Pencabut-Nyawa terkekeh. "Itulah yang aku tunggu. Tidak seperti semua yang berada di dalam ruangan ini. Kawan, kau punya jiwa. "
Aku mengikuti arah pandangan Pemeran-Pengganti-Malaikat-Pencabut-Nyawa.
Nia, Kevin, Nono, dan lainnya berlutut dan membeku, saling terhubung dengan sulur-sulur serupa tumbuhan rawa. Nyala api warna-warni tipis mengendap di atas kepala mereka seperti jaring laba-laba dan memantul di pemukaan lumpur di bawahnya. Aku melihat ke bawah dan gumpalan asap pelangi melayang dari bibirku. "Apakah itu ...?"
"Betul. Kau punya bakat. Sinisme, pragmatis, humor, dan sarkasme memiliki kekuatan untuk menyelamatkan Dunia Lain. Duniaku. Rawa berlumpur yang kau lihat di ruangan ini."
"Oh. Begitu rupanya. Aku mengerti. Aku bisa menyelamatkan mereka yang tidak mati dan dunia lain hanya dengan menjadi sarkastik?"
"Joni."
"Bukan. Nick. "