Mohon tunggu...
Hasto Suprayogo
Hasto Suprayogo Mohon Tunggu... Konsultan - Hasto Suprayogo

Indonesian creative designer & digital marketing consultant | astayoga@gmail.com | http://www.hastosuprayogo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Slamet dan Patok Makam yang Dipenggal

19 Desember 2018   02:56 Diperbarui: 19 Desember 2018   13:26 1236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Makam Slamet - Tribunnews

Mereka lupa, bahwa tindakan menggergaji patok makam lantaran perbedaan agama menyibak borok hipokritas yang ada.

Ketiga hegemoni dan represi mayoritas itu nyata. Sebagaimana klaim 'persetujuan' keluarga korban atas pemotongan yang dibuktikan dengan pernyataan tertulis istri almarhum.

Warga nampaknya alpa keluarga korban adalah minoritas, 1 dari 3 keluarga minoritas di antara ratusan warga mayoritas. Mereka sedang berduka dan terpaksa atau dipaksa menerima perlakuan macam itu.

Bagi yang tak pernah hidup dan tinggal di suatu kawasan sebagai minoritas mungkin tak akan paham. Bagaimana rasanya hidup dalam bayang-bayang ketakutan. Bagaimana musti merepresi diri sendiri, mengikuti kemauan mayoritas, atas nama menjaga harmoni.

Keempat negara dan pemerintah dalam kasus ini gagal menjaga hak serta martabat warganya. Akan lebih gagal lagi jika tidak ada tindak lanjut mengatasi masalah ini.

Kelima, perbuatan ini bisa dibilang penistaan agama. Apa sebab? Patok berbentuk salib adalah simbol agama yang resmi diakui tak hanya oleh negara namun juga dunia.

Penggergajiannya sama saja menistakan simbol agama tersebut. Bayangkan bagaimana marah, terluka, dan terhinanya saudara-saudara kita yang mengimaninya?

Slamet menambah daftar panjang praktek intoleransi di negeri ini. Slamet mungkin sudah dimakamkan, keluarganya mungkin sudah merelakan, istri dan anaknya mungkin sudah memaafkan, namun hal itu tidak menjadikan masalah ini selesai begitu saja.

Ada PR besar bangsa kita. PR tentang toleransi. PR tentang inklusifisme. Ada tantangan besar bangsa kita. Tantangan bernama intoleransi. Tantangan berupa eksklusifisme.

Jangan sampai ada Slamet Slamet yang lain. Jangan sampai hal memalukan macam ini mengoyak lagi benang-benang kebangsaan kita. Jika tidak, bisa-bisa ramalan Indonesia punah terwujud nyata.

Tabik!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun