Mohon tunggu...
Aryadi Noersaid
Aryadi Noersaid Mohon Tunggu... Konsultan - entrepreneur and writer

Lelaki yang bercita-cita menginspirasi dunia dengan tulisan sederhana.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

(Catatan Tepi) Mimbar untuk Negeri

26 Februari 2017   00:54 Diperbarui: 26 Februari 2017   16:00 426
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Inspirasi paling mendalam yang saya dapat mengenai kehidupan politik dan bernegara adalah ketika menunaikan shalat Jumat di satu Masjid bernama Masjid Sultan Abu Bakar kesultanan Djohor Malaysia.

Saat itu politik Malaysia sedang bergejolak, Datuk Seri Mahathir Muhammad yang tengah berkuasa sedang berseteru hebat dengan Wakilnya Datuk Seri Anwar Ibrahim. Tuduhan sodomi serta korupsi dituduhkan pada Awar Ibrahim sehingga menjungkalkan Anwar Ibrahim dari kursi Timbalan Perdana Menteri.

Malaysia terbelah, partai baru muncul sebagai rival UMNO untuk memberikan jalan perlawanan yang legal bagi perlawanan oposisi. Isu sodomi sangat membuat publik tidak percaya yang cenderung menganggap hal itu adalah desain politik yang keji dan sebagian lagi percaya sodomi dan korupsi memang terjadi berdasarkan keterangan sumir baik dari media yang dikontrol pemerintah maupun dari mulut kemulut. Sosial media belum semassive sekarang ini kalau tidak bisa dibilang memang belum ada.

Seorang supir taksi bahkan membahas ini dengan saya saat mengantar ke masjid tempat saya berniat menunaikan shalat jumat. “Semoga Malaysia tak gaduh lagi, InsyaAllah!” begitu harapannya ketika pintu membuka dan saya meninggalkannya dengan beberapa uang ringgit sesuai Argo meter.

Dalam politik pusat yang gaduh dimana kedai-kedai kopi ramai menggunjingkannya, Shalat jumat memberikan jeda kesejukkan bagi kebutuhan ibadah umat muslim. Hamparan jamaah menunggu adzan dan menunaikan shalat sunnah sebelum khatib naik ke mimbar.

Khutbah pertama disampaikan, khatib menghimbau jamaah untuk kembali pada beberapa aturan Islam mengenai perdagangan, mengenai kehidupan saling membantu dalam ekonomi yang halal. Khutbah menjadi satu hal yang sakral dalam shalat jumat karena tak satupun Jemaah diperbolehkan berbicara, semua harus mendengar, jangankan menyanggah, mengobrol pada saat khutbah saja bisa mengurangi keshahihan shalatnya, begitulah konon adab dalam shalat jumat. Meski khatib sangat berkuasa, bagusnya khatib tidak mengaduk-aduk emosi jamaah dengan isu politik dalam khutbahnya sehingga kekhusukan dalam diam para jamaah lebih mengena mencerna segala nasehat agama untuk kepentingan realitas dunia.

Lalu khotib menutup khutbah pertama menuju khutbah kedua. Dalam khutbah kedua, Khatib mengajak seluruh jamaah berdoa, beliau sembari terisak kecil berdoa untuk keselamatan para jamaah dengan rangkaian doa untuk negeri Malaysia, untuk keseluruhan para Sultan yang menghuni tiap-tiap Negara bagian. Ia menyebut satu persatu nama para sultan, para permaisuri, para kerabatnya agar diberi nikmat sehat dan nikmat selamat. Terakhir dalam doanya yang tercekat saya masih sedikit mengingat apa yang disampaikan olehnya:

“Ya Allah berilah kesempatan Malaysia terus Berjaya. Berilah kesehatan pada pemimpin kami, limpahkan kesabaran kepada Datuk Mahatir serta kekuatan bathin bagi Datuk Seri Anwar Ibrahim. Jadikan putera terbaik Malaysia ini menjadi sahabat selalu, sahabat yang bekerja sama membantu Malaysia berjaya. Jika kesalahan ada diantara salah satu dari mereka ampunilah salah satunya, jika kesalahan ada pada keduanya maka ampunilah keduanya. Kami rakyat Malaysia memohon padamu ya Allah agar kami tak berpihak pada kesalahan dan tidak meninggalkan kebenaran. Hanya Engkau yang tahu kemana kami harus berpihak dan kami berserah kepadaMu agar negeri tercinta kami tidak dipenuhi oleh pertikaian!”

Ribuan jamaah masjid sultan mengamini, suaranya syahdu dan saya meyakini negeri Malaysia seketika diselimuti oleh harapan kebaikan mesti hanya datang dari sebuah doa di satu bangunan tua yang indah bernama masjid Sultan Abu Bakar.

Khutbah lebih dari sepuluh tahun lalu ini tiba-tiba terbersit dalam ingatan ketika saya terpekur mendengar suara meledak-ledak dari sebuah khutbah jumat sebuah masjid disalah satu pinggiran kota Jakarta. Khatib mencerca beberapa pemimpin negeri Indonesia yang tampak dalam isinya tak ia sukai, jamaah dipaksa mengamini segala doa pribadinya yang berharap keburukan akan terjadi pada pemimpin yang tak ia sukai. Jamaah hanya memiliki kewajiban untuk tidak berbicara satu katapun selama khutbah dilangsungkan, begitulah adab shalat jumat yang harus dijalankan.

Negeri muda Malaysia memang tak sebesar negeri Indonesia tetapi pengalaman di satu masjid mereka menunjukkan pada saya bahwa segenap anggota bangsanya memilih mendoakan kebaikan bagi bangsanya dan abai pada kebencian terhadap tokoh-tokoh yang secara politis berbeda dari para penyampai syiar Islam pada mimbar-mimbar yang dipercayakan oleh umat bagi mereka untuk menyampaikannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun