Mohon tunggu...
Aryadi Noersaid
Aryadi Noersaid Mohon Tunggu... Konsultan - entrepreneur and writer

Lelaki yang bercita-cita menginspirasi dunia dengan tulisan sederhana.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

(Catatan Tepi) Manchester Arndel-Manchester Arena, Siapakah Si Kambing Hitam?

24 Mei 2017   14:14 Diperbarui: 24 Mei 2017   22:32 502
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ada dua hal yang menarik bagi saya ketika gerbong Virgin ‘Trans Penin’ yang membawa kami dari Kota kecil Grimsby ke Kota Manchester menyentuh ujung track di stasiun Manchester Picadilly.  Dua hal itu adalah  Klub sepakbola besar dunia dan Tragedi Bom di Manchester Arndale.

Dua kesebelasan yang dimiliki kota dengan sebagian besar penduduknya  berdarah Irlandia ini tak pelak menjadi daya tarik tersendiri dan amat sangat sayang jika harus melewatkan waktu di Manchester tanpa mengunjungi  dua kandang The Red Devil dan Citizen.  Satu hal lagi yang berkaitan dengan sepak bola adalah peristiwa pengeboman di Manchester city centre saat berlangsungnya Piala Eropa di tahun 1996.

Dua hal ketertarikan itu saya ceritakan kepada seorang penjaja Koran diseberang hotel Thistle tempat saya menginap saat mencoba mencari peta cetak lokal kota Manchester.    

“Old Trafford sangat famous tak mungkin anda nyasar, tapi kalau ingin ke lokasi pengeboman euro cup dulu cukup dekat dari sini, baiknya jika bertanya saat mencari nanti  anda cukup bilang saja  ingin ke Machester Arndale dan Jangan singgung-singgung soal Bom. Kita ini Muslim dan harus hati-hati , terkadang akan salah dimengerti,” pesan lelaki imigran pemilik kios berjanggut tipis putih yang mengaku bernama Labon dengan helaan nafasnya yang nampak sesak karena tubuhnya yang tambun. Berbicara di Inggris raya bukan serba bebas, maka tak heran bila didinding pusat peribadatan agama yang dianggap berpotensi perlu diawasi akan tertulis “Pembicaraan anda akan direkam di tempat ini” yang terpampang disetiap dinding. Saya memahami dan akan mentaati pesan baik Labon.

Shalat subuh setelah malam pertama di Manchester saya tunaikan dikamar hotel yang sempit dengan dengung lembut heater yang menghembuskan kehangatan. Siang hari saya memiliki janji untuk pergi bersama dengan teman yang juga dari Indonesia untuk berkunjung  ke Old Trafford tetapi waktu antara subuh dan saat English breakfast ada waktu luang untuk menyelami kota Manchester.  Lift hotel dengan arsitektur gaya Romawi saya masuki sendirian dan melintasi lobby untuk menembus kota Manchester yang masih belum tersirami sinar matahari dan jutaan penduduk Manchester masih terlelap tidur. Angin dingin menyambut tubuh saya di tepi Portland Road lalu menyusuri Market street  yang dipenuhi pertokoan beraneka produk, satu dua gelandangan beringsut keluar dari kotak-kotak telephone membawa bawaan mereka setelah semalaman mencoba menahan angin dingin malam dengan meringkuk didalamnya. Kota besar selalu menyisakan kekalahan bagi sekian banyak penghuninya, selalu ada yang kalah semodern apapun sebuah Negara.

Tepat ketika tiba dimana jalur trem berbelok kearah timur di Fountain High street saya berhenti dan mengusap kedua telapak tangan bergantian menahan dingin angin fajar. Kepulan uap air yang keluar dari nafas menghalangi pandangan saya yang berusaha merekam segala pandangan yang saya tengah lihat. Tak ada yang tersisa dari tragedy pemboman itu, semua sudah berubah menjadi shopping mall terbesar di kota Manchester dan lampu-lampu yang berjajar indah dengan hiasan beraneka warna memberikan jejak-jejak cahaya sebelum tergantikan oleh bias sinar matahari pagi. Satu dua orang  Nampak menyusuri jalan dengan santai.

Belajar dari pesan Labon tak satupun orang yang berani saya dekati untuk bertanya seberapa hebatnya peristiwa itu terjadi. Saya berkeliling memutari jalan corporation street dan kembali melalui New cathedral street lalu menghabiskan waktu lima belas menit untuk kembali mendekati kios dimana saya temui Labon yang sedang menghirup kopi paginya sambil tangannya memindahkan beberapa Koran cetak pagi ketempatnya masing-masing. Ia tersenyum ramah pada saya dan mengucapkan salam.

“Sudah ke Manchester Arndale? Dekat kan!” serunya menyambut saya.

“Ya dekat sekali, mungkin dari tempat ini dulu tahun 1996 kita bisa lihat bagaimana hebatnya tragedy itu ya?”  Labon menggeleng dan meneruskan hirupan uap kopinya.

“Tidak, saat itu saya sudah ada disini. Semua wilayah sini dikosongkan dan kami tak melihatnya langsung karena polisi meminta kami pergi sejauh mungkin,”

“Bagaimana bisa?”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun