Mohon tunggu...
Arjeli Syamsuddin
Arjeli Syamsuddin Mohon Tunggu... Buru Serabut, CSR -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tembok Bisu di Bibir Musi

15 April 2017   22:37 Diperbarui: 16 April 2017   08:00 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tembok Bisu di Bibir Musi….

Berdiri aku di pelataran itu, tiga langkah lagi aku ke bibir sungai,  langkah kaki terhalang coran semen menyerupai bangku bangku panjang setinggi dada orang dewasa. Warna nya dibiarkan seperti onggokan tanah kering sangat bersesuaian dengan warna aliran sungai  didepan nya, sedikit lebih jernih apabila di musim kering. Dan keruh kecoklat coklatan di musim hujan. Dua musim pemberi warna sungai itu.

 Suasana sore itu, memang cuaca agak mendukung untuk berlama lama disitu, sekedar mengamati, orang orang berlalu lalang, sambil mengajak keluarga. Ada banyak jajanan sederhana dijajahkan disini, namun didominasi oleh gelaran kursi kursi plastik atupun lesehan yang menyajikan Mie Tektek.

Masih ingat dengan Mie tektek orang orang menyebutnya. Menu mie bercampur dengan kecamba digonseng dengan garam. Kata Tektek sendiri diambil dari hasil suara pukulan ringan pada punggung kuali kuping, alat pengoreng. Dahulu seingatku di jalan Ario Dilah, nama tempat aku dan teman teman ngekos dahulu, mie tektek sebagai tamu malam  yang bikin kelenger.

Upps !, aku melompat sambil membalik badan 180 derajat hingga pandangan ku tertuju pada tembok dinding setinggi tiga kali ukuran badan orang dewasa. Bercat putih sudah agak sedikit terkelupas karena cuaca, tertulis dengan jelas di tembok itu, nama sebuah tembok Sejarah, “Benteng Kuto Besak”.

Aku berhadap hadapan dengan Bekabe. Lalu menebarkan pandangan ke arah pukul Tiga namun tidak mengubah posisi duduk, sambil kaki ku berayun ayun ku topang dua tangan ke kedua bahu, ada bangunan modern pada pandangan datar. Fries, coke, fried chicken, daftar menu dalam asumsiku karena di situ ada logo hurup A symbol & W ditancapkan diatas pelataran nya.

Lalu mataku tertuju pada pandangan jauh atas penyedia menu modern itu. Ada dua bangunan yang mirip pilar seperti menjulur ke langit. Namun, itu merupakan bagian atas dari bentuk melengkung bangunan penghubung  seberang ilir dan seberang ulu. Ramai sekali kendaraan roda empat dan roda dua berseliweran diatas nya.

Tampak sangat kokoh dan mata kameraku turun pelan dan pelan, serta pelan lagi. Enam tiang penyangga berdiri sangat kokoh tertancap didasar sungai. Tetap saja, kaki besar bangunanan itu tidak menggangu geliat perdagangan di wilayah ini. Batu fosil penghasil  bara api dalam  Tug Boat berukuran 300 feet masih bisa berlalu lalang di bawah nya. Bangunan hadiah, belas kasihan, atau mungkin juga permintaan maaf pemerintah Jepang. Apapun asal usul nya, tetap dia menjadi icon.

Dan bukan dibuat buat atau di ada adakan. Ya, falsafah hadiah selalu dielu elukan? Adakah yang lebih membakar gelora jiwa muda seperti tercatat sebagai “Perang Lima Hari Lima Malam di kota ini?”

“Seperti tangguh nya “Pulo Kemaro” menjadi benteng pertahanan penggempur kapal kapal asing yang berusaha merensek masuk wilayah ini”.

Seperti perdebatan kemarin malam, “Bukan hadiah nya namun dibalik hadiah itu, ada pengorbanan jiwa jiwa sakit hati karena martabat terjajah” “Kesenjangan tercipta oleh kesemenaan bangsa bangsa penjajah”.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun