***
Segalanya sudah dipersiapkan. Undangan, sewa gedung, dekorasi dan lainnya. Hari bahagia itu akan segera tiba. Tapi aku merasa limbung. Hubunganku dengannya sudah tak sama. Hampir tak ada kata. Badai itu masih belum reda. Meski tak datang memporakporanda secara nyata.
"Lisa, kamu bahagia?" tanya Ibu sembari memeluk pundakku.
"Ia, Bu. Lisa bahagia," balasku dengan suara sedikit tertahan.
"Kamu nanti jadi istri harus nurut sama suami ya, Nduk? Kamu harus membuat suamimu selalu merasa nyaman di dekatmu," nasehatnya.
"Insya Allah, Bu. Doakan Lisa ya, Bu?"
Ada yang mengusik di relung hatiku. Entah apa? Kosong. Semua seakan tak bermakna apa pun. Seharusnya aku bahagia karena hari pernikahanku segera tiba. Tapi ada sesuatu yang mengganjal di pikiranku. Kediaman Ivan. Bisa jadi. Dua bulan lalu entah kenapa Ivan berubah. Dia berbeda. Sangat berbeda. Dingin, angkuh, seperti tak menginginkanku sama sekali.
"Di mana Lisa?"
Aku terperanjat dari lamunanku. Itu suara Ivan. Tentu saja aku mengenal suara itu. Tapi untuk apa dia ke sini? Ini bukan saatnya dia datang. Segala keperluan pernikahan sudah diatur oleh kedua pihak keluarga. Tidak ada yang perlu diurusi lagi. Tinggal menunggu waktu tiba saja.
"Lisa, aku mau bicara," ucap Ivan kemudian menyeret lenganku.
"Kenapa, Van?" tanyaku penasaran. Kenapa juga ia  membawaku ke luar rumah.
"Aku ingin pernikahan kita batal," ucapnya spontan.
"Apa? Batal? Maksudmu apa bicara seperti itu, Van?"