Mereka menyangka, perempuan itu  setegar batu karang. Padahal sejatinya dia hanya sedang menjalankan kewajiban. Ibu mana tak susah dengar kesah buah hatinya. Gelombang pasang diterjang, onak duri dilalui, demi buah hati.
Darah, air mata tak dirasa mengalir begitu saja. Rasa sakit dilupa demi anaknya. Adakah yang lebih berharga dari jiwa seorang bocah bagi bunda?
Dia  tinggalkan sepotong hatinya untuk  Al Amin. Digayutkan rindunya demi perjumpaan di Prenduan yang entah kapan akan ditakdirkan. Do'a- do'a ini tak henti dia panjatkan. Bila-bila masa memperjalankan. Ingin rasa dia bertahan di sana. Namun serah ini begitu kuatnya.
Menyerah perempuan itu dalam kalah. Diambil anaknya pulang, pada saat belum usai perjuangan. Lemahnya terkuak dalam tangis berkepanjangan. Dia  masih perempuan. Dengan tangis dan derai air mata tak bertuan. Baginya, bila ini dinilai keputus asaan tak mengapa.
 Masih dia rindukan dada untuk sandar kepala. Dengan usap cinta, mengingat belahan jiwa. Aku menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Betapa dia masih perempuan dengan rasa kehilangan.Â
****
Salam hormat perempuan itu untuk Al Habib Walidil Kutub. Lelaki indah yang menghiasi tanah Prenduan. 12022019