Mohon tunggu...
Angdrico
Angdrico Mohon Tunggu... Freelancer - Manusia.

A lifetime learner. Staying at Bandung, studying at ITB. 082118040289

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mau Sampai Kapan, Mar?

30 Januari 2020   00:28 Diperbarui: 30 Januari 2020   01:43 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sore itu, kelas usai lebih awal. Pak Karto memulangkan kami lebih awal karena tugas yang diberikan beliau dapat kelas kami selesaikan dengan cepat. Beliau pun menutup kelas hari ini dengan pujian kepada Mutia, mahasiswa serbabisa di kampusku yang lagi-lagi selesai paling cepat, jauh lebih cepat dari mahasiswa lainnya. Mutia memanglah wanita superior.

Bukan hanya menjadi mahasiswa berprestasi se-fakultas Ekonomi, wanita manis itu juga memiliki startup pakaian muslimah yang cukup terkenal. Mutia pun aktif berkegiatan di himpunan kampusku. Tak salah, banyak yang naksir sama cewe yang satu ini. Aku pun mengambil mata kuliah pilihan ini karena aku tahu, ada Mutia didalamnya. Aku tahu dari sahabat Mutia yang juga sahabatku, Putri. Pengisian kartu rencana studi pun mendadak berubah plan-nya kala itu.

Lalu akupun langsung mengemas perlengkapanku dan bersiap-siap pulang ke kontrakanku. Seperti biasa, aku selalu menyempatkan diri untuk melihat Mutia mengenakan masker dan helmnya di parkiran motor. Entah mengapa, teman-temanku tak pernah menyadarinya, Mutia juga. Padahal, aku sudah melakukannya sejak awal semester ini, tapi teman-temanku tidak pernah menyadarinya, tidak seperti dalam FTV-FTV.

Ya, aku sudah mengagumi Mutia sejak dulu. Aku mengenalnya dari Putri. Aku langsung kagum padanya sejak detik pertama aku mengenalnya. Mutia sangatlah berbeda dari wanita lain menurutku. Ia benar-benar seorang wanita berdikari. Kartini-nya Generasi Z sih menurutku. Pribadinya yang inspiratif serta pemikirannya yang sangatlah dewasa sudah cukup untuk menjadi alasanku untuk menaruh rasa kagum padanya. Ia sangat aware akan isu-isu sosial di sekitar.

Kepedulian sosialnya pun juga  tinggi, memperjuangkan hak-hak penyandang disabilitas, paham betul akan isu mental illness yang sekarang sedang "marak-maraknya" terjadi, serta kepribadian-kepribadian lain yang semakin membuatku merasa kalau aku ini sangat out of her league. Ditambah lagi, Juli ini Mutia sudah akan lulus. Aku? Boro-boro. Harus menambah 1 tahun lagi sisa hidup di kampusku ini. Hanya seorang mahasiswa biasa tanpa kelebihan apapun. Selera tinggi, daya tarik rendah. Dasar aku.

Selepas pulang, aku beberes diri dan kembali rebahan di kontrakanku. Scrolling twitter sudah menjadi kebiasaanku. Apalagi home-nya Mutia. Aku bahkan mengaktifkan notifikasi tweet darinya. Kalau urusan Mutia, aku harus jadi yang pertama. Sehabis upload instastory pun hal yang kutunggu-tunggu adalah view dari Mutia. Sembari berharap kalau Mutia akan membalasnya. Namun, belum sekalipun Mutia mengabulkan keinginanku, hehe. 

Hari ini, Mutia cuma me-retweet berita tentang seorang wanita yang dipandang berbeda karena cadarnya. Biasanya sih, Mutia pasti sudah membuat thread baru yang ia isi dengan buah pemikirannya yang sangat cemerlang itu. Mungkin, hari ini Mutia lelah. Aku juga kok, Mut. Lelah menanti, mau sampai kapan rasa ini ada padaku?

Aku hanya lelah akan perasaan ini. Aku tidak tahu apakah aku harus "maju" atau "mundur". Aku bahkan tidak tahu apakah aku suka, kagum, naksir sayang, jatuh hati, atau cinta pada Mutia. Aku benar-benar tidak bisa mendefinisikan rasa ini. Satu hal yang pasti, Mutia sangatlah berbeda daripada Wina, mantanku yang sifatnya sangat berbanding terbalik dengan Mutia. Inilah yang awalnya men-trigger perasaanku pada Mutia.

Ibarat kalian kalau tinggal di tempat kumuh, ketika kalian melihat sebuah rumah mewah, pasti kalian akan tertarik padanya. Begitupula denganku. Seharusnya aku langsung masuk ke rumah itu, bukan? Namun nyatanya, aku tidak berani masuk. Aku tidak tahu harus melangkah kemana. Aku hanya terhenti disini, suffering from this loneliness. 

Sudah terlalu menikmati "cinta sendirian" ini. Entah menikmati atau menderita, akupun tak tahu. Ketidakberanian untuk mendekatinya sudah semakin mendarah-daging sehingga aku sudah merasa bodoh. Yang kupikirkan hanyalah perasaanku kepadanya. Aku tak peduli akan balasan dari Mutia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun