Mohon tunggu...
Andri Saleh
Andri Saleh Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Aku bukanlah siapa-siapa, hanyalah seorang lelaki 32 tahun, suami dari seorang istri, bapak dari dua anak. Aku pun bukan seorang penyair, hanyalah seorang pemimpi yang menuliskan mimpi-mimpinya dalam bentuk coretan di atas kertas :-)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sepatu Bola

9 April 2012   05:25 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:51 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Aku dan adikku, Sani, merengek. Ibu yang mendengar rengekan kami hanya bisa terdiam. Beliau mungkin bingung harus berbuat apa. Wajar saja, kami minta dibelikan sepatu bola. Setelah Bapak meninggal tiga tahun yang lalu, hidup kami memang pas-pasan. Jangankan untuk membeli sepatu bola, untuk makan saja dicukup-cukupkan. Malah, kami sering melihat ibu berpuasa hari Senin dan Kamis.

"Sudah. Jangan minta macam-macam", begitu jawaban ibu setiap kami merengek.

Aku dan Sani tak bisa berbuat apa-apa kalau ibu sudah bicara seperti itu. Kasihan, ibu selalu murung dan tampak sedih.

Tahun ini Liga Indonesia musim pertama sedang bergulir. Hampir di semua media membahas sepak bola, mulai dari televisi, koran, tabloid, majalah, sampai radio. Benar-benar demam sepakbola.

Teman-teman di sekitar rumah pun tak mau ketinggalan. Mereka berlomba-lomba membeli kostum tim kesayangannya. Tidak hanya itu, mereka membeli perlengkapan sepakbola seperti sepatu bola, skin decker (pelindung tulang kering), sarung tangan kiper, dan yang lainnya. Bagus-bagus, dan tentunya sangat mahal harganya. Aku dan adikku iri pada mereka. Inilah yang membuat kami merengek pada ibu.

***

Hari ini adalah hari yang tak mungkin dilupakan. Bayangkan saja, aku dan Sani mendapat sebuah amplop berisi uang. Uang itu adalah pemberian kerabat kami - kami menyebut mereka "Kakak". Katanya, uang itu khusus untuk membeli sepatu bola untuk kami berdua! Kami benar-benar senang, bahagia tak terkira.

Akhirnya, kami membeli sepatu bola. Dua pasang, sepasang untukku dan sepasang lagi untuk adikku. Sisa uangnya kami belikan kaos kaki, kostum, dan skin decker. Lengkap sudah. Meskipun kualitasnya tak sebagus punya teman-teman kami dan kombinasi warnanya berantakan - kaos warna kuning, celana biru muda, kaos kaki biru tua, dan sepatu hitam corak hijau - aku tak peduli. Begitu juga adikku, tak mau ambil pusing dengan warna. Yang terpenting, kami bisa bermain sepak bola bersama teman-teman kami.

Kami kecanduan bermain sepak bola. Malah, aku dan Sani bercita-cita menjadi pemain sepak bola profesional. Kami pun mendaftar di Sekolah Sepakbola Bandung, sebuah sekolah sepak bola di bawah naungan Divisi Persib Bandung. Uangnya? Lagi-lagi diberi oleh kakak-kakak kami. Di tempat itulah kami benar-benar digembleng dari fisik sampai teknik bermain bola. Benar-benar melelahkan tapi sangat menyenangkan.

Di tempat itu kami mempunyai banyak teman baru. Salah satunya adalah anak lelaki bertubuh tegap, tinggi besar, dan berambut cepak. Namanya Cecep. Aku, Sani, Cecep, dan teman lainnya mempunyai mimpi yang sama, menjadi pemain sepak bola profesional. Karena itulah, kami giat berlatih. Apalagi, aku dan Sani tak ingin mengecewakan kakak-kakak kami yang telah memberikan sepatu bola ini.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun