Mohon tunggu...
Andi Wi
Andi Wi Mohon Tunggu... Penulis - Hai, salam!

Bermukim di Cilongok - Banyumas - Jawa Tengah. Kamu bisa mulai curigai saya melalui surel: andozshort@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Secangkir Teh yang Tak Pernah Bersedih

19 September 2017   20:51 Diperbarui: 19 September 2017   21:59 2662
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi://www.instagram.com/winonanielsen/

Pertengahan April di siang hari yang tak terlalu panas. Aku memutuskan menemaninya makan di sebuah kedai tempat langganan biasa kami bertemu. Dia terus membujukku agar datang tepat waktu dan paling penting: sendirian. Aliana bilang ini adalah hari terakhir kami bisa ketemu. Itu adalah isi pesan terakhirnya yang singkat. Akan tetapi, sesingkat pesan itu pula aku menjawab, "Bukan bermaksud mengecewakanmu, " kataku sambil menggaruk ujung hidung sembari mengetikkan kata-kata berikutnya, "Tapi aku harus menemani teman sekamarku dulu."

Itu adalah alasan pertamaku.

Teman sekamarku baru putus cinta dengan pacar sepuluh tahunnya, dan dia belum bisa berhenti menangis sejak satu jam lalu. Dia pasti sangat kecewa ketika melalui proses itu. Sempat aku mengira, mungkin, ini adalah pengalaman pertamanya patah hati, hingga dia cuma mampu berpikir satu-satunya yang dia perlukan saat ini adalah menangis.

Pengalaman pertama yang berujung pahit memang sangat menyakitkan.

Aku pernah. Suatu kali digigit seekor anjing gila. Rasanya betul-betul sangat menyakitkan sampai-sampai aku ingin melaporkannya ke kantor polisi. Tapi di suatu hari yang baru, aku justru mendatangi anak anjing itu dan menantangnya untuk menggigitku lagi.

Rasa yang kedua, tak lebih menyakitkan ketimbang rasa yang pertama.

Dan, meskipun, teman sekamarku tidak mengelak kalo dia memang baru putus dengan pacarnya yang sudah dia cintai melebihi dirinya sendiri. Selama sepuluh tahun--waktu yang sangat lama. Aku sendiri pun belum tentu bisa melakukannya--tapi dia jelas-jelas mengelak alasannya menangis bukan itu.

Dia bercerita. "Tadi sepulang dari stasiun bertemu pacarku, maaf, maksudku mantan pacarku. Aku berjalan menyusuri sebuah pedesaan yang indah dan sangat asri dan udara yang sangat cocok untuk dihirup paru-paru seluruh manusia di dunia, aku tak sengaja menyaksikan sebuah rumah kecil. Dengan teras kecil yang melindunginya. Dengan pagar rapi dan dengan sebuah pohon rindang yang dikelilingi dua bocah dibawahnya," kata teman sekamarku itu sambil mengelap ingus dengan ujung bajunya sebelum dia kembali terisak.

Aku langsung memahami alasan temanku itu menangis. Dan berusaha tidak ingin terlihat menuntut penjelasan berlanjut -yang lebih masuk akal. Misalnya, "Terus apa yang bikin kamu nangis?" Tidak. Bagiku penjelasannya sudah terlalu cukup untuk dipahami. Masalahnya jika aku terus menuntut penjelasan teman sekamarku itu, aku takut kalau selain melukai perasaannya, juga, aku secara tak langsung akan mengingat diriku sendiri di masa lalu dan itu hanya akan membuat diriku sendiri terluka.

Jadi aku memutuskan tidak berkata lebih banyak dari pada yang diperlukan. Kukira dia hanya butuh seorang teman. Bukan doa-doa penenang untuk menghibur sosoknya yang rapuh dan sedang ditinggalkan.

Alasan kedua, aku berniat membuatkan teh hangat untuknya. Ya, aku memang berpikir, mungkin usahaku tidak akan membawanya ke arah yang lebih baik. Tapi setidaknya, dia tidak akan merasa kehausan sementara mata dan hidungnya terus mengeluarkan cairan asin dari dalam lubang tubuhnya.

Aku bangkit dari kursi malasku, menepuk pundak teman sekamarku sekali dan pergi ke meja dapur. Namun, sial, stok persediaan gula pasir kami habis. Di sana cuma ada teh kantong yang acuh sebagaimana ia diciptakan. Maka, aku untuk memenuhi kebutuhan itu, aku memutuskan pergi ke warung lima puluh meter dari kamar kontrakan kami, ditambah lima puluh meter lagi untuk kembali mencangking satu kilogram gula pasir ke dapur kami. Namun ketika entah kenapa, ketika aku kembali ke kamar, teman sekamarku itu, sudah tak ada. 

Ah. Mungkin dia sedang berjalan-jalan sebentar untuk memulihkan air matanya.


Tak apa. Aku akan tetap membuatkan secangkir teh untuknya.

Aku menjerang air, membuat secangkir teh hangat untuknya dan meninggalkannya di dekat meja dekat televisi. Rencanaku sederhana, nanti, setelah dia merasa lelah jalan-jalan di siang pertengahan April yang tak terlalu terik dan kembali ke kamarnya, dia bisa langsung menikmati teh hangat buatanku itu. Dan teh hangat itu bisa menemainya di kamar, setelah dia kembali, sebagai teman, atau wakil, selagi aku pergi.

Tiga alasan itu kurasa cukup. Kini saatnya pergi.

***

Aku turun dari angkot 5B berwarna merah tua. Membayar ongkos tiga ribu rupiah, lalu berjalan pendek-pendek ke kedai makan yang sudah dijanjikan Alina menemuiku. Lantas membuka pintu kedai makanan itu, hingga... tiba-tiba seorang perempuan 25 tahun-an menyembul dari balik pintu kaca gelap secara gaib.

Dia Alina.

Aku meraih pergelangan tangannya. Lantas buru-buru minta maaf. Akan tetapi sebelum aku sempat membuka mulut, Alina segera menegurku dengan suara ketus. Mengatakan, "Ah. Telat lagi ya?"

Aliana mengibaskan tangan kirinya. Gerakan meloloskan jeratanku. Kemudian perlahan-lahan dia menghembuskan napas menyerah. "Kalau kau terus bersikap seperti ini, Flu, tak akan ada orang yang mau berurusan denganmu."

Aku tahu sudah membuatnya menunggu selama tiga puluh menit. Aku menjelaskan alasanku terlambat dengan terpatah-patah. Dan menambahkan, "Aku memang selalu payah dalam hal persiapan. Tapi ini tak akan terjadi kalau kamu tidak buat acara mendadak."

Alina mengenakan kaos abu-abu berlapis kemeja lengan panjang yang digulung sampai sikunya. Celana jeans panjang hitam. Dan sebuah kalung kupu-kupu mengilap yang menjuntai di antara dadanya, yang membuatnya nampak makin cantik. Seharusnya kalau dia tahu, dia tak perlu menambahkan pernak-pernik cilddish itu. Karena dia sudah sangat cantik tanpa embel-embel yang menyertainya.

"O, kini kau mulai mencari kebenaran melalui kesalahan-kesalahanmu, Flu?"

"Sama sekali tidak. Aku tak mau bertengkar denganmu. Maafkan aku."

"Kenapa?" Aliana berjalan menjauh dariku. Menjauhi pintu kedai itu.

Aku mengikutinya. Berjalan di belakangnya.

"Kenapa? Kenapa kau tak mau bertengkar denganku?"

"Kau tahu alasannya."

"Ah," suara itu lagi. "Kapan sih. Aku bisa benar-benar memahamimu. Aku sudah bilang kan, aku tak peduli apa yang sedang dan akan kaulakukan. Tapi apa susahnya sih, meluangkan waktumu yang sedikit itu untukku, hingga, aku tak perlu salah paham memahamimu kalau kamu ini kekasihku!"

"Aku selalu ada waktu untukmu. Tapi kadang-kadang aku ingin kamu ingat dan menganggapku sebagai binatang ternak yang mesti bekerja di ladang orang lain."

Aku menjajarkan langkah kakiku supaya bisa berjalan beriring di sampingnya.

"Oh. Kita tak sedang membicarakan pekerjaanmu. Tapi alasanmu terlambat hari ini."

"Aku sudah menjelaskannya. Tapi kamu tak mau dengar. Kamu selalu mengungkit-ngungkit kesalahanku di masa lalu."

Kami terus berjalan tanpa tahu kemana tujuan kami.

"Nah. Untuk kedua kalinya. Kau mencari kebenaranmu sendiri atas kesalahanmu sendiri."

"Astaga. Aku sama sekali tidak berniat seperti itu. Aku tak ingin bertengkar denganmu."

"Kenapa?"

"Karena bertengkar denganmu hanya akan membuatku putus asa."

Kami terus berjalan. Aliana berjalan memimpin namun mendadak dia menghentikan langkahnya. Namun aku baru sadar ketika orang di sampingku sudah tak ada. Aku memutar leherku menengok dia yang di belakang. "Ada apa?" tanyaku.

Aliana membatu di tempatnya berdiri. Dari tempatku berdiri, Aliana masih seperti dua tahun lalu pertama kali kukenal, dia selalu nampak anggun dan tenang. Hari itu, aku berjanji pada diriku sendiri tak akan menyakiti perempuan yang sudah dikirim Tuhan untuk untukku. Namun hari ini pula, aku sendirilah yang melanggar janji itu dengan mudah. 

Aku memandangi Aliana seperti air bening di tengah-tengah danau. Yang permukaannya bergelombang, namun kedalamannya susah ditebak. Dan itu membuatku ingin sekali terjun menyelaminya.

Angin April berhembus di antara kami. Aliana berjalan mendekat ke arahku. Dia melingkarkan lengan tangannya ke bahuku. Dia memelukku singkat, lalu bergeming dihadapanku beberapa saat, sampai dia yakin harus mengatakan sesuatu.

Aku menunggu dia mengatakan sesuatu. Aku tidak menunggu dia mengatakan sesuatu. Tapi pada akhirnya aku tahu, inilah yang akan dikatakannya, "Kalau begitu kita tak perlu repot-repot bertengkar lagi."

Dia memang mengatakannya, dari kejauhan, sebelum akhirnya dia membelok dan masuk ke dalam sebuah gang kecil. Dia menambahkan dengan suara lirihnya kepadaku, memutar lehernya, memutar bola matanya ke arahku, "Itu kan, yang kamu mau?"

***

Aku memutar gagang pintu kamar kontrakanku. Teman sekamarku, tidak ada di dalam kamar. Teh hangat yang kubuat satu jam lalu untuknya, masih utuh di tempatnya pertama kali berdiri. Mungkin ia sudah bertambah dingin, dari detik ke detik. Tapi aku tahu, keadaannya tetap lebih baik dari detik ke detik. Secangir teh tak pernah mengatakan dirinya bersedih, diminum atau tak diminum.

Aku mengelus kuping cangkir teh itu yang masih berada di atas tatakannya. Seakan-akan sedang menyelipkan rambut panjang seseorang yang mengganggu wajah cantiknya. Namun entah kenapa, perasaan-perasaan dasarku tiba-tiba saja muncul begitu saja, begitu kuat. Hatiku sakit, membayangkan secangkir teh itu adalah Aliana. Membayangkan yang baru saja terjadi.

Aku memutar gagang pintu kamar kontrakanku dari luar, dan memutuskan meniru tindakan yang dilakukan seseorang yang baru saja ditinggalkan dan patah hati.

Selasa, 14 September 2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun