"Aku sudah menjelaskannya. Tapi kamu tak mau dengar. Kamu selalu mengungkit-ngungkit kesalahanku di masa lalu."
Kami terus berjalan tanpa tahu kemana tujuan kami.
"Nah. Untuk kedua kalinya. Kau mencari kebenaranmu sendiri atas kesalahanmu sendiri."
"Astaga. Aku sama sekali tidak berniat seperti itu. Aku tak ingin bertengkar denganmu."
"Kenapa?"
"Karena bertengkar denganmu hanya akan membuatku putus asa."
Kami terus berjalan. Aliana berjalan memimpin namun mendadak dia menghentikan langkahnya. Namun aku baru sadar ketika orang di sampingku sudah tak ada. Aku memutar leherku menengok dia yang di belakang. "Ada apa?" tanyaku.
Aliana membatu di tempatnya berdiri. Dari tempatku berdiri, Aliana masih seperti dua tahun lalu pertama kali kukenal, dia selalu nampak anggun dan tenang. Hari itu, aku berjanji pada diriku sendiri tak akan menyakiti perempuan yang sudah dikirim Tuhan untuk untukku. Namun hari ini pula, aku sendirilah yang melanggar janji itu dengan mudah.Â
Aku memandangi Aliana seperti air bening di tengah-tengah danau. Yang permukaannya bergelombang, namun kedalamannya susah ditebak. Dan itu membuatku ingin sekali terjun menyelaminya.
Angin April berhembus di antara kami. Aliana berjalan mendekat ke arahku. Dia melingkarkan lengan tangannya ke bahuku. Dia memelukku singkat, lalu bergeming dihadapanku beberapa saat, sampai dia yakin harus mengatakan sesuatu.
Aku menunggu dia mengatakan sesuatu. Aku tidak menunggu dia mengatakan sesuatu. Tapi pada akhirnya aku tahu, inilah yang akan dikatakannya, "Kalau begitu kita tak perlu repot-repot bertengkar lagi."