Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Artikel Utama

Secangkir Teh yang Tak Pernah Bersedih

19 September 2017   20:51 Diperbarui: 19 September 2017   21:59 2662 13
Pertengahan April di siang hari yang tak terlalu panas. Aku memutuskan menemaninya makan di sebuah kedai tempat langganan biasa kami bertemu. Dia terus membujukku agar datang tepat waktu dan paling penting: sendirian. Aliana bilang ini adalah hari terakhir kami bisa ketemu. Itu adalah isi pesan terakhirnya yang singkat. Akan tetapi, sesingkat pesan itu pula aku menjawab, "Bukan bermaksud mengecewakanmu, " kataku sambil menggaruk ujung hidung sembari mengetikkan kata-kata berikutnya, "Tapi aku harus menemani teman sekamarku dulu."

Itu adalah alasan pertamaku.

Teman sekamarku baru putus cinta dengan pacar sepuluh tahunnya, dan dia belum bisa berhenti menangis sejak satu jam lalu. Dia pasti sangat kecewa ketika melalui proses itu. Sempat aku mengira, mungkin, ini adalah pengalaman pertamanya patah hati, hingga dia cuma mampu berpikir satu-satunya yang dia perlukan saat ini adalah menangis.

Pengalaman pertama yang berujung pahit memang sangat menyakitkan.

Aku pernah. Suatu kali digigit seekor anjing gila. Rasanya betul-betul sangat menyakitkan sampai-sampai aku ingin melaporkannya ke kantor polisi. Tapi di suatu hari yang baru, aku justru mendatangi anak anjing itu dan menantangnya untuk menggigitku lagi.

Rasa yang kedua, tak lebih menyakitkan ketimbang rasa yang pertama.

Dan, meskipun, teman sekamarku tidak mengelak kalo dia memang baru putus dengan pacarnya yang sudah dia cintai melebihi dirinya sendiri. Selama sepuluh tahun--waktu yang sangat lama. Aku sendiri pun belum tentu bisa melakukannya--tapi dia jelas-jelas mengelak alasannya menangis bukan itu.

Dia bercerita. "Tadi sepulang dari stasiun bertemu pacarku, maaf, maksudku mantan pacarku. Aku berjalan menyusuri sebuah pedesaan yang indah dan sangat asri dan udara yang sangat cocok untuk dihirup paru-paru seluruh manusia di dunia, aku tak sengaja menyaksikan sebuah rumah kecil. Dengan teras kecil yang melindunginya. Dengan pagar rapi dan dengan sebuah pohon rindang yang dikelilingi dua bocah dibawahnya," kata teman sekamarku itu sambil mengelap ingus dengan ujung bajunya sebelum dia kembali terisak.

Aku langsung memahami alasan temanku itu menangis. Dan berusaha tidak ingin terlihat menuntut penjelasan berlanjut -yang lebih masuk akal. Misalnya, "Terus apa yang bikin kamu nangis?" Tidak. Bagiku penjelasannya sudah terlalu cukup untuk dipahami. Masalahnya jika aku terus menuntut penjelasan teman sekamarku itu, aku takut kalau selain melukai perasaannya, juga, aku secara tak langsung akan mengingat diriku sendiri di masa lalu dan itu hanya akan membuat diriku sendiri terluka.

Jadi aku memutuskan tidak berkata lebih banyak dari pada yang diperlukan. Kukira dia hanya butuh seorang teman. Bukan doa-doa penenang untuk menghibur sosoknya yang rapuh dan sedang ditinggalkan.

Alasan kedua, aku berniat membuatkan teh hangat untuknya. Ya, aku memang berpikir, mungkin usahaku tidak akan membawanya ke arah yang lebih baik. Tapi setidaknya, dia tidak akan merasa kehausan sementara mata dan hidungnya terus mengeluarkan cairan asin dari dalam lubang tubuhnya.

Aku bangkit dari kursi malasku, menepuk pundak teman sekamarku sekali dan pergi ke meja dapur. Namun, sial, stok persediaan gula pasir kami habis. Di sana cuma ada teh kantong yang acuh sebagaimana ia diciptakan. Maka, aku untuk memenuhi kebutuhan itu, aku memutuskan pergi ke warung lima puluh meter dari kamar kontrakan kami, ditambah lima puluh meter lagi untuk kembali mencangking satu kilogram gula pasir ke dapur kami. Namun ketika entah kenapa, ketika aku kembali ke kamar, teman sekamarku itu, sudah tak ada. 

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun