Mohon tunggu...
Alipir Budiman
Alipir Budiman Mohon Tunggu... Guru - hanya ingin menuliskannya

Bekerja sebagai pendidik di MTs Negeri 1 Banjar (dahulu namanya MTs Negeri 2 Gambut) Kabupaten Banjar, Kalsel. Prinsip saya: Long Life Education. Gak pandang tuanya, yang penting masih mau belajar, menimba ilmu. Gak peduli siapa gurunya, yang penting bisa memberi manfaat dan kebaikan...

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kesiapan Guru Menghadapi Pembelajaran Jarak Jauh

24 Maret 2020   04:41 Diperbarui: 10 April 2020   21:49 1764
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Virus Corona, yang pada mulanya hanya muncul di Wuhan, China, ternyata, telah menyerang hampir seluruh negara di dunia, tak terkecuali di Indonesia. Berdasar data kawalcovid.id, penderita Covid hari Senin (16/3) 134, Selasa (17/3) 172, Rabu (18/3) 227, Kamis (19/3) 309, Jumat (20/3) 369, Sabtu (21/3) hingga Minggu (22/3/20, pukul 09.07 WIB), total penderita berjumlah 450 orang. Sedang pasien meninggal berjumlah 38 orang.

Dampak pandemi ini, telah memukul perekonomian secara global. Rupiah Indonesia yang selama 3 bulan lebih bertengger di kisaran Rp 13.000,- kini menyentuh level terendahnya, Rp15.925 (perdagangan Jumat, 20/3/20). 

\Selain itu, dunia pendidikan pun terdampak langsung oleh pandemi ini. UNESCO mengatakan, hampir 300 juta siswa terganggu kegiatan sekolahnya di seluruh dunia dan terancam hak-hak pendidikannya di masa depan.

Sekolah Ikut Terdampak

Sekolah, dimana setiap harinya akan berkumpul, bertemu muka dan berinteraksi antara guru dan siswa, jika tidak di lockdown, maka akan menjadi gerbang  masuk dan   tersebarnya virus Corona. 

Siswa yang berinteraksi di sekolah, tentu saja berinteraksi dengan keluarga di rumah. Sementara keluarga di rumah, juga banyak berinteraksi dengan masyarakat umum, dan sangat memungkinkan membawa virus hingga ke kamar mereka. 

Orangtua menularkan virus ke anak, dan anak membawa dan menularkan lagi ke sekolah, akhirnya dalam waktu yang singkat, penderita Covid akan sangat banyak.

Memutus mata rantai penyebaran virus dengan meliburkan sekolah, merupakan langkah terbaik. Hal ini juga dilakukan negara lain. 

Pembelajaran dengan tatap muka, akan diganti dengan pembelajaran berbasis online. Hanya saja, yang patut dipertanyakan: begitu kebijakan pembelajaran online digaungkan, sejauhmana kesiapan para pendidik untuk menyukseskan pembelajaran online ini? 

Belajar Online

Di kalangan perguruan tinggi, pembelajaran online mungkin bukan hal baru, karena banyak perguruan tinggi sudah menerapkan perkuliahan berbasis e-learning ini. 

Sementara di tingkat sekolah, pembelajaran lebih bersifat tatap muka dan berinteraksi langsung dengan siswa. Pemanfaatan komputer hanya lebih bersifat pemanfaatan media pembelajaran. Apalagi banyak sekolah --terutama SD dan SMP-- yang melarang siswanya membawa HP ke sekolah, dengan berbagai alasan yang tentu menyudutkan siswa.

Kumunculan virus Corona ini, akan "memaksa" guru mengoptimalkan pembelajaran berbasis online, karena untuk bertatap muka langsung tidak memungkinkan. Karenanya, suka tidak suka, mau tidak mau, guru terpaksa mengajak siswa menggunakan HP atau laptop di rumah. 

Sementara itu, tentu tidak semua siswa memiliki laptop. Berbeda dengan HP, hampir semua siswa memilikinya. Jadi, begitu istilah belajar online dimunculkan, maka HP akan menjadi media utama yang akan digunakan.

Selama wabah pandemi global ini terjadi, banyak aplikasi yang menyediakan ruang belajar gratis untuk siswa dan guru. Hal ini patut diacungkan jempol untuk penyedia layanan ini, seperti  Ruang Guru, Zenius, Sekolahmu, Bahaso, Kelas Pintar, dan Quipper.  

Mereka telah siap dengan berbagai konten pembelajaran untuk semua tingkatan kelas, mulai dari materi, video pembelajaran, hingga kumpulan soal. 

Sementara Microsoft dengan Office 365 dan Google melalui G Suite for Education (Classroom) menyediakan fasilitas yang dapat dimanfaatkan oleh guru dan siswa, misalnya membuat kelas belajar, menyusun materi, mengirim tugas, memeriksa dan skor hasil tugas, dan sebagainya.

Kesiapan Guru

Namun yang menjadi permasalahan di negara kita adalah, sejauh mana kompetensi guru-guru dalam hal penguasaan terhadap teknologi. Apakah mereka cepat tanggap dalam menghadapi situasi seperti ini?

Penguasaan teknologi untuk pendidikan dan pembelajaran di daerah kita cukup lambat, sehingga begitu muncul kejadian yang begitu cepat, banyak guru yang tidak sigap menanganinya. 

Tidak bisa dipungkiri, masih banyak guru-guru yang belum familiar dengan teknologi informasi. Mereka memiliki HP yang cukup canggih, namun masih belum bisa memanfaatkan fasilitas yang dimiliki, selain untuk foto selfi dan meng-uploadnya ke media sosial, mem-forward tulisan, gambar, atau video lucu. Sangat jarang memanfaatkan HP-nya sebagai media pembelajaran.

Memang, tidak semua guru seperti itu, masih banyak juga guru yang selalu meng-update dan meng-upgrade kemampuan, wawasan, dan pengetahuannya. Hanya saja, kalau dipersentasekan secara umum, mungkin nilainya lebih kecil.

Sesaat setelah siswa diliburkan, giliran guru sibuk mencari pola pembelajaran online. Banyak guru yang hanya memberi tugas (PR) untuk siswa dan dikumpul pada saat turun sekolah. Siswa hanya membaca, tanpa ada penjelasan atau pun tanya jawab. Kalaupun menggunakan internet, paling hanya info lewat WhatsApp, sebagai tanda online.

Guru yang tidak terbiasa dengan pembelajaran dalam jaringan, tentu saja ini akan kebingungan. Guru seperti ini benar-benar merasa seperti libur belajar, karena selama ini, pembelajaran di kelas banyak yang bersifat konvensional, dan berpusat pada guru. Guru juga merasa puas dengan menggunakan metode yang selama ini dijalankan, tanpa mencoba untuk mengembangkan metode yang saat ini berkembang.

Perkembangan teknologi informasi yang begitu cepat juga membuat guru merasa kesulitan beradaptasi, sehingga malas untuk belajar.

Amalis Styaningrum dan Mila Krismawati Paseleng, pernah meneliti hambatan guru dalam pengintegrasian TIK di sebuah SMP di Kabupaten Magelang Jawa Tengah. Keduanya meneliti sarana dan prasarana sekolah, fasilitas teknologi pribadi guru, kemampuan guru menggunakan fasilitas, serta penerapannya dalam pembelajaran. 

Guru di sekolah tersebut 86% memiliki laptop tetapi tidak semua menggunakannya untuk pembelajaran. 47% memiliki HP dengan fitur canggih, tetapi hanya 9,5% yang menggunakannya untuk pembelajaran. 57% memiliki internet di rumah, dan 43% memilih buku sebagai media pembelajaran. Hanya 14% guru yang memanfaatkan aplikasi pendidikan dalam pembelajaran.

Apa yang terjadi di sekolah tempat penelitian di atas, juga merepresentasikan sekolah-sekolah di Indonesia pada umumnya. Fasilitas, kemampuan guru, keterbatasan waktu, serta faktor umur guru adalah beberapa hal yang saling berpengaruh dan berdampak pada kemampuan guru untuk menggunakan teknologi. 

Fasilitas pribadi guru yang tidak memadai tentu akan menghambat peningkatan kemampuan menguasai teknologi untuk pendidikan. Meski dana sertifikasi telah digelontorkan, tapi kenyataannya banyak guru memanfaatkannya untuk keperluan lain. 

Faktor umur membuat guru tidak memiliki motivasi untuk menggunakan dan mempelajari teknologi yang berkembang. Keterbatasan waktu juga akan menghambat guru dalam mengintegrasikan teknologi.

Untuk   itu, sudah saatnya sekolah-sekolah melakukan pendampingan maupun pelatihan yang tidak hanya sekadar menjalankan proyek ataupun program, tetapi benar-benar bisa meningkatkan kemampuan guru secara mumpuni. 

Kepala sekolah juga harus berpikir visoner sehingga mampu membawa sekolah sanggup menghadapi situasi global, yang bisa datang dengan tiba-tiba, seperti situasi hari ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun