Mohon tunggu...
Mohamad NurAlief
Mohamad NurAlief Mohon Tunggu... Freelancer - pelajar

Random person with random background and random interest https://ca-lis.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Opini di Tengah Pandemi

12 Mei 2020   07:57 Diperbarui: 12 Mei 2020   07:50 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ditengah Pandemi

Bulan ke - 2 berkegiatan dari rumah.

Mulai terbiasa rasanya

Sepertinya memang benar kalau kita manusia terbiasa dengan adaptasi, setidaknya untuk 2 bulan terakhir di sebagian besar bagian di Indonesia. Negara masih nampak setengah hati ditengah masyarakat yang mulai hati - hati dengan situasi sekarang.

Pemerintah terkesan tidak punya sikap tegas setidaknya di depan publik. Sekarang kanan besok kiri. Hari ini tak boleh bekerja besok boleh bekerja. Dan lain sebagainya.

Secara umum, negara sudah memfasilitasi masyarakat yang sedang beradaptasi dengan pandemi melalui apa yang disebut dengan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). 

Beberapa minggu diawal masa pandemi ini, pemerintah hanya melakukan himbauan mengenai social distancing, pakai masker, dll. Usaha pemerintah dengan hanya melakukan himbauan rasa - rasanya bertolak belakang dengan kelakuan pemerintah dalam beberapa waktu sebelum pandemi ini yang boro - boro memberi himbauan mengenai kebijakan - kebijakan yang memberi dampak kepada masyarakat, alih - alih diam dan tiba - tiba muncul ditengah publik sedang siap mengesahkan kebijakan - kebijakan tersebut. 

Masyarakat rasanya kadung lelah dengan kelakuan pemerintah yang acuh terhadap rakyatnya dan semena - mena membuat aturan dan kebijakan yang merugikan rakyat. 

Kelakuan itu juga yang bisa jadi membuat masyarakat yang selama ini lelah diacuhkan negaranya melakukan balas dendam ketika negara tiba - tiba datang ke tengah masyarakat lalu menghimbau tanpa memberi ketetapan sebagaimana sebuah pemerintah yang seharusnya bekerja. 

Pemerintah yang pada dasarnya memiliki kuasa untuk melakukan perintah malah menggunakan pendekatan persuasif yang lamban. Seakan - akan nampak agar bisa terlihat humanis tapi pada kenyataannya malah terlihat setengah hati melakukannya.

Setelah beberapa minggu, akhirnya pemerintah baru mau tergerak untuk melakukan perintah melalui kebijakan PSBB. Kebijakan ini diambil setelah waktu yang cukup lama karena perlu adanya pertimbangan sana - sini karena ini kebijakan yang murni baru karena kondisi pandemi ini. 

Padahal, negara ini katanya punya instrumen untuk mengambil kebijakan yang terkait dengan kondisi seperti ini, yaitu aturan mengenai karantina wilayah. Namun entah apa yang menjadi pertimbangan pemerintah ditengah situasi yang tidak karuan, mereka malah

"Meracik bumbu dari bahan mentah padahal di meja sudah siap bumbu siap saji yang tinggal butuh sedikit tambahan bahan lainnya"

Ya, intinya pemerintah memutuskan melakukan PSBB dan masyarakat memang sepatutnya harus mematuhi aturan tersebut.

PSBB ini diterapkan dalam penerapan yang terfokus dalam wilayah - wilayah tertentu yang memang diperlukan untuk melakukan PSBB ini. Pemerintah memang tidak mengambil langkah seperti negara - negara lain yang melakukan lockdown secara nasional. 

Pada dasarnya, PSBB ini mengizinkan untuk berkegiatan dengan syarat - syarat tertentu sehingga tidak seketat lockdown di negara lain. Secara teori, PSBB ini cukup baik, namun implementasi nya masih jauh dari harapan. 

Dalam kasus PSBB ini, masyarakat masih banyak yang tidak patuh dan diperparah oleh pemerintah yang masih tidak tegas. Tidak tegasnya pemerintah dapat dilihat dimana pemerintah di depan publik kerap kali memberi kebijakan yang kontradiktif antar lembaga yang membuat masyarakat menjadi korban akibat ketidakcakapan pemerintah dalam memerintah. Dan selama 2 bulan ini kita dipertontonkan silang pendapat yang membuat masyarakat mengerutkan dahi ditengah kehidupan yang semakin tidak pasti.

Beberapa problem dalam PSBB ini adalah mobilitas masyarakat yang tidak dikontrol dengan baik. Contoh paling nyata adalah bagaimana aktivitas di commuter line. Moda transportasi ini memang dilematis, di satu sisi rawan menjadi pusat penyebaran virus, di sisi lain ini adalah moda transportasi yang efisien dalam mobilitas masyarakat JABODETABEK. 

Pemerintah daerah sudah berulang kali berteriak mengenai moda transportasi ini. Hal ini bukan tak berdasar, mereka berteriak karena sudah beberapa kali ditemukan penumpang yang positif covid - 19 yang menggunakan moda angkutan ini. 

Belum lagi acap kali terjadi penumpukan penumpang di stasiun dan di gerbong sampai berhimpit - himpitan tanpa mempedulikan himbauan jaga jarak. 

Kebijakan dimana armada kereta dibatasi jumlahnya tanpa dibarengi dengan ketegasan pemerintah dalam membatasi mobilitas warganya mengakibatkan teori mengenai jaga jarak terkadang tidak berlaku di moda transportasi ini. 

Walau sekarang mulai diperketat mengenai penumpang yang boleh menggunakan armada ini, namun tanpa adanya pengawasan berupa testing terhadap penumpang secara kontinu, moda transportasi ini masih menyimpan bom waktu yang dapat memperkeruh situasi ditengah pandemi ini.

Selain terkait dengan PSBB, masalah lain yang muncul adalah bagaimana testing dan data mengenai orang yang terkait dengan virus covid - 19 ini masih amburadul. 

Jumlah orang yang positif terus meningkat diiringi jumlah korban meninggal pun tetap meningkat. Di sisi lain, jumlah pasien yang sembuh memang terus meningkat.

Namun hal tersebut juga masih dibayang - bayangi dengan jumlah PDP dan ODP yang terus meningkat juga. Semua data ini menyimpulkan bahwa Indonesia belum aman dan malah menjurus ke arah yang mengkhawatirkan. 

Kenapa mengkhawatirkan? Data yang ada masih belum update dengan kondisi terbaru. Hal ini bukan tanpa alasan, mulai dari sampel yang diambil sampai keluar hasil diagnosanya memerlukan waktu yang panjang. 

Hal tersebut diakibatkan keterbatasan alat test, keterbatasan laboratorium, keterbatasan tenaga ahli di laboratorium, dan juga karena alur birokrasi yang masih rumit padahal semua hal ini butuh waktu secepat mungkin. 

Implikasi dari permasalahan tersebut mengakibatkan data yang ada sekarang diragukan keakuratannya. Ada kemungkinan banyak korban meninggal yang wafat akibat covid - 19 namun belum diuji sampel, ada juga korban meninggal yang sebelumnya sudah diuji sampel namun belum keluar hasil sampelnya sampai korban meninggal sehingga tidak terdata sebagai korban covid - 19, dan ada juga orang yang telah pulih dari covid - 19 ini namun tidak terlacak karena tidak diuji.

Akibat kemungkinan - kemungkinan yang ada mengakibatkan data covid -19 yang disebarkan pemerintah kemungkinan besar belum akurat dan belum real time.

Selain mengenai teknis dalam pendataan covid - 19 yang menjadi masalah, bagaimana pemerintah menyampaikan kebenaran datanya juga menjadi masalah.

Di awal pandemi ini muncul di Indonesia, pemerintah banyak menutupi data - data yang ada sehingga terkesan perkembangan pandemi ini tidak terlalu mengkhawatirkan. 

Dengan dalih agar tidak membuat warga panik, malah membuat warga was - was dan khawatir karena data yang dimunculkan pemerintah tidak sesuai dengan data yang sebenarnya. 

Bahkan saat pandemi seperti ini pun, pemerintah masih harus ditekan oleh rakyatnya untuk mengungkap data yang sebenarnya karena mulai menimbulkan keresahan. Akhirnya, pemerintah mulai membuka data - data yang dimilikinya setelah mendapat tekanan publik. 

Bagaimana pemerintah berkomunikasi menjadi tanda tanya besar seakan - akan setengah hati mengawal pandemi ini. Komunikasi ini diperparah oleh ucapan - ucapan pejabat publik yang terkesan tidak mendidik, bahkan seorang menteri kesehatan yang seharusnya menjadi lentera ditengah kegelapan ini malah membuat suasana menjadi semakin runyam dengan ucapan - ucapan nya yang tidak mencerminkan dirinya sebagai menteri kesehatan.

Problema yang telah disebutkan sebelumnya hanya menjadi contoh kecil ditengah menumpuknya problema yang muncul di tengah bangsa ini akibat pandemi. Baik PSBB maupun mengenai pendataan masih menjadi problem yang belum terpecahkan masalahnya.

Kalau mengenai PSBB, kedepannya pemerintah harus memerintah dengan tegas mengimplementasikan aturan - aturan PSBB. Sudah bukan saatnya pemerintah melakukan pendekatan persuasif. Pemerintah juga harus menjalani konsekuensi dari PSBB ini dengan melindungi masyarakat yang rawan miskin sampai sangat miskin. 

Menjalani konsekuensi ini jauh lebih baik daripada membiarkan virus ini dibiarkan diberi kesempatan tersebar ditengah masyarakat dan mengakibatkan kerugian yang semakin parah. 

Dalam PSBB ini juga, karena fokus PSBB ini terfokus ke daerah - daerah, maka pemerintah harus tegas dalam membatasi mobilitas antar daerah. Selain itu, pemerintah daerah juga harus tegas menindak pelanggaran yang ada di dalam daerahnya masing - masing. 

Jangan ada lagi mobilitas antar daerah yang longgar seperti di commuter line atau di tempat lainnya. PSBB ini yang pada dasarnya mengizinkan warganya berkegiatan harus melokalisasi mobilitas warganya agar meminimalisir mobilitas lintas daerah baik antar kota/kabupaten apalagi antar provinsi.

Pembatasan mobilitas ini juga harus disertai dengan pengujian sampel yang lebih masif dan lebih cepat agar penyebaran lokal dari virus ini dapat dideteksi dan dapat diantisipasi lebih lanjut. 

Pemerintah daerah harus menyiapkan pusat - pusat konsentrasi penanganan pandemi agar orang yang mulai dari terduga sampai positif dapat dipantau secara langsung dan tidak memberi peluang untuk menyebarkannya di tengah masyarakat. 

Hasil dari pengujian ini juga harus disajikan dalam hasil pengujian di setiap daerah, mulai dari data hasil pengujian dari tingkat provinsi sampai tingkat kelurahan/desa. 

Sehingga hasil data ini dapat menjadi acuan dalam penentuan pelonggaran PSBB di setiap daerah. Pelonggaran yang dimaksud adalah pelonggaran kegiatan di dalam daerah yang dimana daerah tersebut memiliki penurunan kasus/bahkan nihil kasus. Namun penjagaan lintas daerah di perbatasan kota/kabupaten bahkan provinsi tetap harus diperketat.

"Jadi karena PSBB ini berfokus ke daerah - daerah, maka penerapan relaksasi PSBB nya juga harus berbasis ke daerah - daerah, bukan malah relaksasinya bersifat nasional. Karena kalau itu terjadi maka keberhasilah PSBB di suatu wilayah akan menjadi sia - sia."

Jadi, berapa lama lagi kita harus di rumah? Ini tergantung bagaimana kita dan pemerintah menyikapinya......

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun