Mohon tunggu...
Cerpen

Cerpen | Kelam

20 Maret 2017   09:07 Diperbarui: 20 Maret 2017   09:16 482
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tampaknya langit sedang tidak bersahabat dengan mentari. Ia lebih memilih awan untuk menyelimuti wajahnya dan menutup rapat cahaya mentari. Siang ini gelap, segelap hidupku. Aku duduk termenung di samping nisan Ayah yang sudah rapuh dimakan rayap dan hanyut bersama kenangan yang kelam. Kusematkan setangkai mawar merah diatas nisannya, kuharap ayah menerimanya dengan senang hati. Daun-daun mulai jatuh dari tangkainya. Angin menyapu wajahku dengan rintik hujan yang semakin deras. Tubuh mungilku basah kuyup. Aku ingin menangis. Semua ini berawal dari wanita janda yang tak berhati itu.

Namaku Juni. Waktu itu, aku masih duduk di bangku sekolah dasar. Aku adalah salah satu siswa teladan di sekolah. Aku selalu meraih prestasi di bidang akademik maupun non akademik. Ayah selalu membanggakanku kepada teman-teman pejabatnya, hingga mereka selalu memujiku. Ibu pun tidak mau kalah, ya lebih tepatnya almarhum ibuku. Ia selalu menceritakan segala prestasiku kepada teman-teman arisannya. Oh tidak, aku merindukan kebanggaan mereka terhadapku. Semua itu hilang setelah ibu meninggal karena mengidap penyakit tumor otak. Ibu pun tidak sempat melihatku lulus dengan nilai tertinggi di sekolah. Setelah itu, semua hilang, semua berubah tidak karuan.

Pagi itu, sinar mentari menembus celah-celah jendela kamarku, ditemani udara dingin yang seakan membawakan salam ibu dari surga. Kulihat jam sudah  menunjukkan tepat pukul 6.00.

 “Ya Tuhannn, matilah aku.” Segera ku raih handuk  dan mandi.

Setelah ibu meninggalkan aku dan ayah, kondisi rumah tak terkendali. Pekerjaan ayah tak terurus. Prestasi ku menurun drastis. Tapi, tak sedikitpun terlintas dipikiranku untuk mencari pengganti ibu. Namun, ayah berpikir sebaliknya. Ayah memperkenalkanku kepada teman kerjanya. Namanya Diana, dari penampilannya ia tidak memiliki sifat keibuan, malah seperti perempuan malam yang biasa menjual murah dirinya kepada laki-laki yang hanya ingin memuaskan nafsunya. Namun, aku percaya bahwa ayah tidak seburuk itu dan bisa jadi penilaian ku terhadap Diana salah. Akhirnya aku pun membuka hati untuk beralih ke kehidupan yang lebih baik, walaupun masih ada sedikit rasa tidak rela.

Ayah memutuskan untuk menikah dengan Diana ketika aku duduk di bangku SMP. Semua berjalan dengan baik, manis pada awalnya. Sejak itu aku mulai memanggilnya Ibu.

“Maafkan aku ibu, aku tidak bermaksud mengkhianati ibu.”

Pernikahan ternyata hanyalah formalitas, bukan janji suci yang benar-benar mengikat satu sama lain. Mulailah cek cok perang mulut, banting membanting semua barang, tidak ada yang mau mengalah. Semakin membesarkan suaranya, semakin banyak barang berterbangan. Apalah dayaku yang selalu mendengarkan semua itu.

Semua kacau. Perusahaan ayah bangkrut, saham ayah yang tersebar disemua perusahaan tiba-tiba menurun, dan ayah menjadi tersangka korupsi. Ibu semakin menjadi-jadi, semua barang melayang setiap ayah pulang. Satu kali ayah menjawab, seratus kali ibu bertanya. Lebih baik aku mati, daripada hidup tak dianggap.

 “Tuhaaaannn, aku ingin bertemu Ibu di surga!!!!”

Lari aku menuju kamar mandi, kubiarkan air shower membasahi tubuhku. Kugoreskan pisau tajam membelah pembuluh nadiku. Darah segar mengucur tak henti. Biarkan saja. Aku tidak peduli, aku hanya ingin bertemu ibu di surga. Walaupun ini adalah cara yang mustahil, tapi setidaknya aku tidak tersiksa dengan pertengkaran mereka yang seperti petir yang saling menyambar satu sama lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun