Mohon tunggu...
Bagoes Agus
Bagoes Agus Mohon Tunggu... -

orang biasa dan biasa-biasa saja

Selanjutnya

Tutup

Money

Reshuffle Fungsi Perum Bulog Dalam Stabilkan Harga

18 Juni 2015   08:08 Diperbarui: 20 Juni 2015   02:44 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Pada tahun 2003, Presiden Megawati merombak bentuk Bulog dari yang sebelumnya lembaga pemerintah nondepartemen (LPND) menjadi perum. Presiden Megawati melihat Bulog harus diselamatkan. Apabila tetap sebagai LPND, Bulog hanya menjadi lembaga di tingkat pusat, sedangkan cabangnya di provinsi dan kabupaten diserahkan kepada pemerintah daerah, seperti Badan Koordinasi Keluarga Bencana Nasional (BKKBN). Perum Bulog diberi waktu lima tahun untuk menyiapkan diri menjadi perusahaan yang kegiatannya tidak tergantung dari tugas pemerintah. Namun, sampai detik ini, Perum Bulog kegiatannya masih menggantungkan diri pada tugas-tugas pemerintah. Di lain pihak, kompetitor Bulog bergerak dengan cepat berkembang dan sekarang sudah mulai ”mendikte” pasar. Buktinya, ketika Presiden Jokowi mengeluarkan Inpres No 5 Tahun 2015 dengan menetapkan harga pokok pembelian (HPP) untuk gabah kering panen Rp 3.700 per kilogram, mereka memasang harga di atas Rp 4.000. Ketika pengadaan seret, pemerintah panik dan akhirnya berujung pada penggantian direksi Perum Bulog yang baru bekerja tiga bulan setelah Inpres Perberasan terlambat diteken.

Pada dasarnya fungsi Bulog ada empat macam, yaitu (1) awalnya sebagai penyedia pangan/beras bagi pegawai pemerintah, TNI/Polri, dan buruh perkebunan sejak zaman Belanda sampai tahun 1999; (2) sebagai stabilisator harga sejak 1969 sampai kini; (3) ditambah lagi sebagai stok penyangga yang secara resmi diumumkan mulai tahun 1973 jumlahnya minimal tiga bulan kebutuhan dan lebih diperjelas penganggarannya tahun 1985; (4) sebagai penyedia beras untuk keluarga miskin mulai tahun 1998 sampai sekarang. Keinginan Presiden Jokowi untuk merombak fungsi Bulog mungkin dilatari juga oleh ”aspek lain” setelah melihat Bulog mendapat kesulitan untuk membeli beras dalam negeri dan ”dipermainkan” oleh pasar beras pada Februari 2015. Dengan semakin kompetitifnya pasar gabah/beras di dalam negeri, sebenarnya persoalan jaminan harga untuk petani produsen sudah selesai. Falsafah dasar kerja Bulog the buyer of the last resort atau pembeli terakhir apabila sudah tidak ada pembeli lagi, maka tugas pemerintah selesai. Namun, karena Bulog perlu menjaga stok cadangan minimum dan pemerintah telanjur mengeluarkan pendapat tidak ada impor beras, akhirnya pemerintah bingung sendiri. Bulog pun akhirnya dipaksa membeli 4 juta ton beras walaupun harganya sudah tak cocok lagi. Sebenarnya keadaan Bulog yang sulit membeli gabah/beras sudah dirasakan sejak tahun 2005. Ketika itu harga beras mulai terus-menerus bergerak naik. Karena itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam kurun 2004-2009 menaikkan HPP rata-rata 15 persen per tahun. Saat ini harga beras di Indonesia sudah dua kali harga beras di Bangkok dan 2,5 kali harga beras di Vietnam, sedangkan subsidi sektor pertanian per hektar juga sudah melebihi negara maju. Tragisnya lagi, semua itu tidak dirasakan oleh petani.

Bagaimana keluar dari karut-marut keadaan ini? Pertama, fungsi Bulog untuk menjaga harga di tingkat petani sudah tidak relevan lagi, dan juga harga berasnya sendiri di dalam negeri sudah demikian tinggi. Daripada membatasi gerak Perum Bulog untuk membeli gabah/beras, maka mulai sekarang diumumkan tidak ada inpres perberasan lagi. Bulog dibiarkan bertarung di pasar sehingga akan diketahui harga pokok secara riil. Misalnya nanti harga pokok Bulog Rp 10.000 per kilogram dan kemampuan pemerintah memberikan subsidi untuk raskin dan operasi pasar hanya Rp 5.000, maka harga jual Bulog adalah selisihnya. Oleh karena Bulog merupakan pembeli terbesar, agar tak terjadi eskalasi kenaikan harga, maka diberikan panduan kapan Bulog berhenti membeli gabah/beras, misalnya kenaikan harga eceran tidak boleh lebih dari 20 persen dari rata-rata harga yang lalu.

Kedua, Bulog diberi otoritas penuh untuk menentukan besaran impor dan kapan harus impor, di mana ini sudah barang tentu atas keputusan presiden. Penentuan kebutuhan impor tidak perlu melibatkan kementerian pertanian yang sudah pasti pendapatnya bias. Termasuk penentuan impor beras kualitas khusus hanya melalui Bulog, walaupun nanti izinnya dari menteri perdagangan. Yang diperbolehkan berbicara soal impor beras hanya Presiden. Masalah seperti ini pasti banyak yang tidak sepakat, tetapi jika mau efektif mengendalikan beras, sistemnya harus seperti itu. Ketiga, Bulog diberi kewenangan penuh untuk melakukan operasi pasar beras, tidak harus melibatkan kementerian perdagangan dan pemerintah daerah. Sistem seperti yang ada selama ini tidak efektif menekan harga, terlalu banyak birokrasi dan wacana. Cara ini pun pasti tidak disenangi oleh kementerian perdagangan dan pemerintah daerah. Sekali lagi yang dihadapi adalah pasar dengan perilaku yang selalu mengambil keuntungan di antara keruwetan. Untuk itu pemerintah harus mempunyai kriteria yang jelas kapan Bulog harus melakukan operasi pasar, misalnya kalau harga sudah naik 20 persen.

Keempat, agar tugas Perum Bulog efektif dan tidak terlalu menabrak kesepakatan antara regulator dan operator, jabatan direktur Perum Bulog dirangkap badan yang mengurus cadangan pangan. Sebenarnya, sesuai dengan UU Pangan No 18 Tahun 2102, belum terdapat lembaga yang menangani masalah cadangan pangan, diversifikasi pangan, dan pembinaan pola kebiasaan makan. Oleh karena itu, agar lebih fokus, disarankan dibentuk Badan Koordinasi Cadangan Pangan yang tugasnya mengoordinasikan cadangan pangan pemerintah dan membina cadangan pangan masyarakat, termasuk memantau cadangan pangan masyarakat. Apabila Kepala Badan Koordinasi Cadangan Pangan merangkap jabatan sebagai Dirut Perum Bulog (dua tangan satu kepala), maka fungsinya mirip Bulog pada zaman Soeharto yang kuat dan dapat bertindak cepat. Sesuai dengan UU Pangan yang baru, diamanatkan untuk membentuk lembaga pangan. Namun, berdasarkan pengalaman, badan baru pangan selalu menimbulkan friksi dengan Bulog, belum lagi friksi dengan kementerian yang lain. Sesuatu yang ideal belum tentu dapat berjalan dengan baik. Fungsi ”baru” Bulog yang kelima adalah sebagai ”penyeimbang” swasta, seperti dilakukan Conasupo (Bulog-nya Meksiko) tahun 1980-an, yaitu sebagai countervailing agent menghadapi kuatnya swasta. Kalau hanya menambah komoditas atau mengganti direksi tanpa otoritas, dipastikan tidak akan efektif. Fungsi baru Perum Bulog memerlukan penguasaan stok yang lebih besar, dan mendapat prioritas dalam impor. Semoga perombakan perum Bulog dapat menjalankan fungsinya dengan baik dan membantu pemerintah meringankan tugasnya dalam memajukan perekonomian di tanah air.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun