Mohon tunggu...
Sri Wintala Achmad
Sri Wintala Achmad Mohon Tunggu... Penulis - Biografi Sri Wintala Achmad

SRI WINTALA ACHMAD menulis puisi, cerpen, novel, filsafat dan budaya Jawa, serta sejarah. Karya-karya sastranya dimuat di media masa lokal, nasional, Malaysia, dan Australia; serta diterbitkan dalam berbagai antologi di tingkat daerah dan nasional. Nama kesastrawannya dicatat dalam "Buku Pintar Sastra Indonesia", susunan Pamusuk Eneste (Penerbit Kompas, 2001) dan "Apa dan Siapa Penyair Indonesia" (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam buku: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018). Sebagai koordinator divisi sastra, Dewan Kesenian Cilacap periode 2017-2019.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Petromak dan Kucing Hitam

28 April 2018   16:31 Diperbarui: 30 April 2018   16:23 2944
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. (pixabay.com)

DENGAN petromak warisan mendiang ayahnya, Baya masih dapat bernapas. Meskipun zaman berubah cepat seperti disulap seorang pesihir sakti. Setiap malam, Baya selalu menyusuri pematang sawah. Menyuluh belut buat dijual keliling menjelang matahari lahir dari rahim malam.

Sepulang menjual hasil kerja, Baya selalu menyempatkan minum secangkir kopi dan mengisap sigaret yang disiapkan istrinya. Menik yang telah menggunakan separuh rumah Baya di dekat terminal kecil pinggiran kota Ayodyakarta sebagai warung pelacuran.

"Penghasilanmu hari ini lumayan, Kang?"

"Berkat doamu, penghasilan yang kudapat lebih dari cukup." Baya menyeruput kopi yang masih mengepulkan asap. Sigaret diisapnya kuat-kuat. Seperti bos besar, Baya menghempaskan asap sigaret dari mulutnya. Di kursi panjang ruang tamu, Baya mengecup kening Menik dengan mesra. "Bagaimana dengan penghasilanmu semalam, Nik?"

"Sial! Selepas Kang Baya meninggakan rumah, Jarkisah yang kedatangan tamu bulanannya mendadak pulang ke kos. Sri Koplak keluar dengan kenalan barunya. Zainab teler berat karena baru terserimpung persoalan dengan suaminya. Tinggal Rulyati, Yanti, Minuk, dan Kasimah. Dagangan peyot yang tak laku di pasaran.

"Jangan marah, Nik!" Baya mengusap-usap rambut istrinya yang lurus panjang sampai ke pinggang. "Rezeki memang gampang-gampang susah dicari. Pakailah yang duaratus ribu buat kebutuhan kita hari ini. Aku gunakan yang seratus ribu ini saja."

"Buat mabuk dengan Kang Togok. Tobil, dan Macan? Awas!"

"Buat isi dompet. Segeralah ke pasar! Hari berangkat siang."

Menik tersenyum. Mengambil empat lembar limapuluh ribuan di atas meja. Mencubit lengan kekar Baya yang ketiaknya menyeruakkan bau tak sedap. "Tidak usah ngluyur! Tidur saja! Wajahmu tampak pucat."

Baya mengangguk patuh seperti budak dengan nyonya besarnya. Bersama istrinya yang tengah bergegas pergi ke pasar. Baya beranjak dari kursi. Menuju kamar tidur dengan membawa petromaknya. Sebelum merebahkan tubuh, Baya meletakkan petromak di atas almari kayu.

Dalam keletihan, mata Baya yang belum mau dipejamkan itu menatap petromak di atas almari. Petromak itu mengingatkan Menik. Mantan pelacur yang ditemuinya setahun silam sewaktu tergeletak pingsan di gubuk tengah hamparan sawah seusai diperkosa tujuh preman terminal. Baya selalu meneteskan air mata bila teringat pertemuan pertamanya dengan Menik. Karenanya, Baya semakin menyayangi petromak yang telah berjasa besar dalam kehidupannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun