Mohon tunggu...
Abraham FanggidaE
Abraham FanggidaE Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Abraham FanggidaE

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Hasil Sensus Penduduk 2010 Tanpa Rekayasa?

5 Juli 2010   03:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:05 5518
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_185529" align="alignright" width="300" caption="Ilustrasi/Admin (Kompas/Andreas Maryoto)"][/caption]

Badan Pusat Statatisk (BPS) minggu lalu mengeluarkan press release hasil Sensus Penduduk (SP) 2010. Jumlah penduduk Indonesia kini mencapai 237 juta jiwa. Apakah data ini sebgai data terpercaya, jauh dari perekayasaan data? Informasi di bawah ini yang saya alami sendiri, memberikan justifikasi pribadi, ada kecenderungan perekayasaan data. Tetapi tentu kasus yang saya alami tidak dapat digeneralisir. Hasil SP 2010 saya menerima, sebagai hasil terbaik SP 2010.

Saya akan mundur sedikit ke belakang sebelum menganalisis lebih lanjut. Teringat saya, ketika sosialisasi SP 2010 1 s/d 31 Mei 2010, antusiasme besar pemerintah kepada masyarakat nampak sekali. Agar masyarakat memberikan data yang benar kepada petugas SP 2010. Ajakanbaik ini seharusnya didukung seluruh rumah tangga, tentu dengan bantuan petugas SP yang paham benar akan tugasnya. Data yang benar dipastikan membantu kelancaran pembangunan.

Menurut saya kini, kesadaran masyarakat menyukseskan SP 2010 makin baik ketimbang SP sebelumnya. Masyarakat akan membantu pemerintah dengan memberikan data yang benar kepada petugas sensus yang mendatangi setiap rumah tangga sensus.

Kesadaran masyarakat membantu menyukseskan SP 2010 beralasan. Petugas SP 2010 hanya bertugas mencacah data-data kependudukan dan tidak terkait dengan pendataan misalnya untuk menentukan besar kecilnya pajak bagi setiap rumah tangga. Masyarakat maklum tugas terkait perpajakan misalnya, adalah tugasnya instansi lain, dalam hal ini Kementerian Keuangan cq Ditjen Pajak.

Petugas SP yang pernah dipersepsikan keliru, dianggap sama dengan petugas atau penagih pajak, adalah masa lalu Indonesia yang dijamin tak akan terulang kembali dalam SP 2010. Masa lalu itu kelam, di mana anggota keluarga harus berbohong ketika memberi data, takut akan konsekuensi yang merugikan mereka. Bahkan dulu ada keluarga yang menghindar tidak mau menerima petugas sensus.

Dengan perubahan kesadaran masyarakat yang membaik ini, masyarakat menaruh harapan, moga-moga hasil SP 2010 terhindar dari perekayasaan data. Sekecil apapun rekayasa data selain tidak elok dalam pandangan masyarakat, yang jelas merugikan kepentingan perencanaan pembangunan yang multidimensional dan makin kompleks. Tetapi siapa yang bisa menjamin tidak terjadi rekayasa data? Menurut informasi pada kompleks perumahan tertentu di Bekasi petugas SP 2010 belum bisa mendata karena penghuni rumah dalam kompleks selalu tidak berada di tempat ketika didatangi. Apakah petugas bisa sabar menghadapi tekanan seperti itu, sedangkan seorang petugas ditargetkan mendata antara 100 s/d 200 rumah tangga sensus? Ataukah keputusan akhir, misalnya minta data saja ke RT/RW?

Secara deskriptifsetiap SP baik itu di masa lalu maupun SP 2010 merupakan kegiatan pengumpulan data mengenai karakteristikpenduduk Indonesia. Secara umum SP yang diselenggarakan pemerintah dapat disebut sebagai penghitungan atau pendataan seluruh penduduk. SP 2010 khususnya, bertujuan untuk mendapatkan data dasar kependudukan berupa jumlah dan karakteristik penduduk seperti: nama, pendidikan, jenis kelamin, kelahiran, kematian, dll. Hasil SP 2010 nantinya bermanfaat untuk menyusun statistik kependudukan sampai dengan wilayah administrasi terkecil. Hasil SP 2010 juga digunakan untuk menghitung proyeksi penduduk di masa datang yang sangat dibutuhkan dalam penyusunan rencana dan evaluasi pembangunan.

Awalnya menurut BPS dalam pencacahan penduduk ini BPS menyiapkan 40 pertanyaan kepada responden. Pertanyaan dalam sensus memerhatikan rekomendasi dari PBB dan kondisi di lapangan dari masyarakat kita. Petugas pencacahan pun telah dilatih selama tiga hari direkrut darimereka yang bertempat tinggal sekitar lokasi penugasan, dengan maksud agar lebih mengenal lokasi pencacahannya.

1 Mei pagi hari pertama SP 2010 petugas mendatangi kediaman keluarga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Cikeas Bogor. Melalui layar televisi masyarakat mengetahui petugas pencacahan mengajukan 34 pertanyaan kepada presiden dan keluarganya. Informasi tersebut bisa dilihat sebagai bentuk sosialisasi karena sebelumnya masyarakat banyak yang belum mengetahui ada 34 pertanyaan yang akan ditanyakan petugas pencacahan.

Tetapi realitas di lapangan ternyata berbeda seperti pencacahan di rumah presiden di Cikeas. Ternyata ada rumah tangga sensus yang tidak diberikan 34 pertanyaan seperti yang disampaikan kepada keluarga presiden. Timbul pertanyaan, apakah formulir yang diajukan kepada setiap rumah tangga/keluarga sensus desainnya berbeda? Apakah formulir pendataan BPS dalam SP 2010 tidak distandardisasi dan berlaku sama bagi seluruh rumah tangga sensus, jadi formulir untuk keluarga presiden berbeda dengan formulir bagi keluarga Indonesia yang lain? Jawabannya tidak mungkin. Kekeliruan terletak pada petugas pencacahan SP 2010.

Berikut penulis menyampaikan dua kasus dari lapangan, dua kasus ini kisah nyata yang memberi indikasi petugas SP 2010 tidak menjalankan sensus penduduk sebagaimana seharusnya.

Kasus pertama, terjadi pada 1 Mei sekitar pukul 11.00 siang di mana seorang kepala keluarga di Jakarta, berpendidikan pascasarjana, didatangi dua petugas mengenakan blazer dan topi seragam resmi SP 2010. Sebelum mendata petugas menunjukkan identitas resmi. Petugas awalnya meminta data penduduk dengan hanya mengajukan pertanyaan singkat: berapa jumlah penghuni dalam rumah ini. Setelah itu petugas minta lagi untuk melihat kartu keluarga (KK), tetapi karena KK sulit dicari dalam waktu singkat maka petugas mengatakan tidak masalah. Hanya dalam tempo sekitar sepuluh menit pencacahan pun dinyatakan selesai. Kata petugas, informasi yang dibutuhkan dianggap cukup.

Singkatnya atau “kilat” sekali proses pencacahan, hanya sekitar sepuluh menit, bagi responden merasa ini bagus sebab tidak bertele-tele. Tapi pada sisi lainnya, dan ini lebih penting, apakah substansi data yang diperlukan dalam SP 2010 hanya dicacah dengan metoda sederhana itu? Mengapa 34 pertanyaan seperti yang diajukan kepada keluarga presiden di Cikeas tidak ditanyakan kepada responden ini dan keluarganya?

Responden terdidik saja diperlakukan tidak benar oleh petugas pencacahan, karena tidak memberikan 34 pertanyaan yang seharusnya. Bagaimana dengan responden yang pendidikannya rendah? Pada kasus pertama ini selesai mencacat jawaban singkat tersebut kedua petugas berpamitan lalu bergabung dengan tiga rekan yang sudah menunggu di luar halaman untuk melanjutkan tugas pencacahan.

Betapa mengherankan proses pencacahan yang sedemikian buruk, lalu bagaimana kualitas data yang dihasilkan nantinya? Apalagi petugas pun tidak mencatat nama keluarga yang didata (apa diperlukan?), tidak mencatat usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan anggota keluarga, dan agama yang dianut dari keluarga ini. Tentang agama responden ini kelakar ibu rumah tangga ringan tapi nyelekit, karena petugas melihat ada salib di tembok bisa saja ia yakin ini keluarga Kristen atau Katolik. Semoga yang diisi petugas adalah jawaban yang benar. Wah berabe, kan?

Kasus kedua yang tidak kalah serunya dialami satu keluarga yang tinggal dalam komplek perumahan kelas atas di Bumi Serpong Damai (kota BSD) Kabupaten Tangerang Selatan, Provinsi Banten. Pengamanan komplek ini terjamin baik karena anggota satpam siaga berdinas 24 jam sehari, satpam selalu berjaga-jaga di gerbang masuk komplek, jadi tidak setiap orang bebas masuk keluartanpa menunjukkan indentitas sah dan maksud kunjungan.

Pemilik rumah merasa kaget ketika sore hari pulang kerja, ternyata jendela rumahnya sudah ditempelkan stiker SP 2010. Bapak “A” memastikan yang menempel stiker tersebut adalah petugas SP 2010 karena hanya mereka yang memilikinya. Bapak “A” menyesal, khawatir petugas SP 2010 tidak kembali mendatakan keluarganya dalam pemahamannya jika stiker sudah ditempelkan berarti rumah tangga tersebut resmi selesai dilakukan sensus penduduk.

Pemilik rumah pun teringat pesan pastor dalam khotbah kebaktian minggu di gereja antara lain mengatakan jika Anda didatangi petugas SP 2010, kemukakan identitas bahwa Anda Katolik. Pesan pastor ini beralasan sekali sebab dalam wilayah pelayanannya yang merupakan lokasi tinggal jemaatnya, tidak satu pun ada warga beragama Katolik di situ, yang ada hanya beragama Kristen. Dugaan pastor petugas SP tidak tahu atau hanya “ngarang”, tidak bisa membedakan warga yang beragama Kristen atau Katolik semuanya disebut Kristen

Setidaknya akan timbul pertanyaan, juga implikasi penting dari dua kasus memprihatinkan dari lapangan tersebut. Pertama, data penting antara lain struktur penduduk berdasarkan usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, agama yang seharusnya terdatakan petugas SP 2010 dari setiap rumah tangga sensus terlewatkan. Kedua, bagaimana BPS bisa menyimpulkan dengan benar SP 2010 telah berhasil mengetahui, menganalisis, dan menampilkan data kependudukan yang terpercaya, validasinya tinggi jika sumber data primer yang dicacah petugas langsung dari 65 juta rumah tangga sensus kurang/tidak sesuai yang direncanakan?

Mungkin banyak kasus lain terjadi yang versinya berbeda atau mirip dengan dua kasus tersebut, namun kekeliruan, kesengajaan, bekerja asal-asal petugas pencacahan memang mengkhawatirkan sebab bisa terjadi distorsi signifikan atas data terkait struktur penduduk, usia, pendidikan, dan agama, serta kondisi sosial ekonomi masyarakat.

Kita mendukung tekad pemerintah bahwa SP 2010 adalah SP modern yang tentunya hasil akhirnya menampilan data valid yang terpercaya melalui kinerja petugas yang bekerja keras, jujur, memiliki rasa tanggungjawab. Data yang dikumpulkan oleh 700.000 petugas SP 2010 dari penduduk Indonesia begitu penting karena inilah sumber data yang dipergunakan dalam pengambilan keputusan pada berbagai kebijakan dan program pembangunan ekonomi, kesehatan, sosial, pendidikan, keagamaan, pertahanan dan keamanan negara dan kepentingan lainnya yang terkait dengan membangun bangsa dan negara.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pembiayaan SP 2010 sebesar Rp 3, 3 triliun yang didanai melalui APBN, di samping itu perencanaan SP 2010 ini Sensus Penduduk merupakan kegiatan pengumpulan data mengenai karakteristik (ciri) penduduk Indonesia.

Secara umum Sensus Penduduk dapat disebut sebagai penghitungan atau pendataan seluruh penduduk Indonesia.

Sensus Penduduk tahun 2010 (SP2010) bertujuan untuk mendapatkan data dasar kependudukan berupa jumlah dan karakteristik penduduk seperti: nama, pendidikan, jenis kelamin, kelahiran, kematian, dll.

Hasil SP2010 bermanfaat untuk menyusun statistik kependudukan sampai dengan wilayah... (bekerjasama dengan lembaga internasional seperti United Nations Fund For Population Activities (UNFPA).

Nah, seluruh masyarakat berharap agar hasil SP 2010 dijauhkan dari perekayasaan. Indonesia adalah negara berpenduduk terbesar nomor empat di dunia setelah Cina, India, Amerika Serikat. Negara kita harus memiliki data terpercaya agar berbagai program mampu menggiring pencapaian hasil akhir yaitu menyejahterahkan seluruh rakyat, seperti yang terus menerus dan secara bertanggungjawab sedang dijalankan oleh pemerintah dari tiga negara terbanyak penduduk di dunia tersebut.

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun