Wilayah tanah persekutuan adat Halehebing, yang kini menjadi kecamatan Mapitara itu sebenarnya terdiri atas 2 wilayah persekutuan besar yang kemudian disatukan yakni persekutuan Hale dan persekutuan Hebing. Persatuan 2 tanah persekutuan adat ini kemudian dikenal dengan nama persekutuan tanah adat Halehebing.Â
Sumber penuturan tua adat Bapak Jakobus Djaro, (seorang guru dan kepala sekolah di desa Egon Gahar) mengatakan wilayah adat persekutuan Halehebing sudah sejak lama dikuasai oleh 3 kekuatan kekuasaan utama yang seimbang yakni:Â
(1). Moang Bapa Botha da Iry (Ama Puu/Laki Puu 1) sebagai pemangku tuan tanah besar, sebagai penguasa tanah persekutuan Halehebing, merupakan bangsawan No. urut 1.
(2). Moang Kaka Bully sebagai aparatur pemerintah adat.
(3). Kapitan Leo Jarang sebagai wakil pemerintahan Selbsbestuur dari Sikka.Â
Tiga kekuasaan inilah yang membentuk dan mewariskan tata susunan organisasi tradisional masing-masing dan mendominasi kekuasaan di wilayah tanah persekutuan adat Halehebing hingga saat ini.Â
Tiga kekuasaan ini membentuk tritunggal dan menjadi 3 batu tungku pemerintahan adat tanah persekutuan Halehebing.Â
Sejak kehadiran Kapitan Leo dalam tanah persekutuan, ekspansionisme tanah persekutuan adat dilakukan hingga wilayah Doren. Oleh karenanya wilayah persekutuan Helehebing mencakapi wilayah Doren atau kekapitanan Doren.
Bahkan wilayahnya membujur hingga ke Glak. Sebagai sebuah kawasan berbahasa Sikka-krowe  kelompok 3 penguasa tanah persekutuan ini menghidup secara lengkap berbagai ritus adat.

 Berbagai rituspun telah dibuat umumnya berisi lakon atas berbagai drama untuk seninya bertahan hidup misalnya: ritus pertanian, ritus inisiasi, ritus menanak padi, dll. Inilah ritus melakonkan berbagai siklus hidup manusia terhadap alam baik di darat, laut, lembah dan gunung-gemunung.Â