Benar saja, saat aku bertamu ke rumah Bu Wati, suasana sangat mendukung. Langit terlihat begitu cerah, tuan rumah juga mempunyai waktu yang longgar.
Hm ... kebetulan sekali, sorakku dalam hati.
"Assalamualaikum. Maaf, Bu, mengganggu sebentar," kataku mencoba menyelami hati janda beranak dua itu.
"Ya, Bu, ada yang bisa saya bantu?" tanyanya dengan ramah.
Aku menjadi kikuk ingin menyampaikan maksud kedatanganku.
"Ehm ... begini, Bu, tapi maaf. Sebenarnya sudah sejak kemarin, saat Ibu sering  memberikan oleh-oleh atau makanan pada keluarga saya, ada rasa yang kurang ngeh di hati. Ya, wajar saja, kan Bu. Njenengan seorang janda, kaya, cantik, dan dekat dengan suami orang. Saya,  kan,  menjadi waswas. Jangan-jangan ada sesuatu yang disembunyikan di antara Ibu dan suami saya. Saya ingin penjelasan, Bu, jadi tidak membuat hati saya selalu merasa takut kehilangan. Oh, ya, saya juga ada sebuah foto sebagai bukti." Aku pun menunjukkan foto yang tersimpan di ponsel.
Bu Wati tampak serius mencerna dan mendengar tiap kalimat yang kusampaikan.  Perempuan itu mengamati foto itu  dan tersenyum.
"Gimana, Bu, kok malah tersenyum. Ada apa sebenarnya dengan suami saya?"
Aku makin tidak sabar dengan jawaban Bu Wati.
"Bu, apakah Pak Haris tidak pernah bercerita? Sudah beberapa waktu yang lalu, sebenarnya, kami ada kongsi bisnis. Pak Haris ikut menyumbang sahamnya. Makanya kami sering bertemu, membicarakan bisnis tersebut. Alhamdulillah akhir-akhir ini perkembangannya cukup bagus."
"Lho, kok Mas Haris selalu diam saja, ya. Huh, kenapa diam-diam nggak pernah bercerita padaku?"