Mohon tunggu...
Zuni Sukandar
Zuni Sukandar Mohon Tunggu... Guru - Seorang guru SLB

Lahir di Magelang, 20 Mei 1971, SD-SMP di kota yang sama, S-1 di Jogjakarta, saat ini mengajar di SLB Maarif Muntilan sebagai guru tunanetra.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rindu Ibu

14 Maret 2021   13:13 Diperbarui: 14 Maret 2021   13:16 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Jika Bapak sudah naik pitam seperti itu, aku dan saudara-saudaraku hanya diam, tetapi tidak tega melihat perlakuan  kasar yang dialamatkan ke Ibu. Ingin membela Ibu, malah dimarahi Bapak.

Ibu, perempuan desa yang lugu, hanya  terlihat diam, tetapi gigih mencari rezeki. Selain itu, Ibu membantu Bapak mencukupi kebutuhan rumah tangga dengan berjualan kecil-kecilan di rumah. Perlakuan demi perlakuan yang diterima dari Bapak membuat Ibu justru makin kuat. Ibarat tanah, semakin diinjak-injak maka akan semakin keras.

Sampai aku dewasa seperti sekarang ini, ada sedikit rasa takut memiliki pacar. Takut seandainya nanti diperlakukan seperti Ibu. Mungkin ini terlalu berlebihan, tetapi pengalaman telah mengajarkanku untuk lebih berhati-hati dalam memilih calon pendamping hidup.

"Nduk, tolong belikan obat  sakit kepala di warung sebelah. Kepala Ibu rasanya nyut-nyutan," perintah Ibu padaku hampir setiap hari.

Biasanya Ibu minum obat sakit kepala yang dijual bebas,  seminggu sampai beberapa kali. Aku menjadi khawatir, jangan-jangan nanti kebal terhadap obat. Jika tidak membeli obat yang berupa puyer, kepala Ibu diikat dengan selendang ukuran kecil yang biasa untuk membedong bayi. Mungkin dengan cara seperti itu akan mengurangi rasa sakit kepalanya.

"Bu, mbok jangan sering mengkonsumsi obat sakit kepala. Tidak baik lho," kataku suatu hari.

"Aduh kepala Ibu hampir setiap hari pusing, Na. Jika tidak diobati tambah sakit dan tidak dapat bekerja."

Kupikir karena Ibu hampir setiap hari mendapat perlakuan kasar dari Bapak seperti ditempeleng, sehingga kepalanya ada gangguan.

Pagi ini, tiba-tiba aku merasa sangat rindu  dengan perempuan yang telah melahirkanku. Rindu untuk menemuinya meski dalam mimpi. Meski kini sudah berbeda alam, tetapi belaian sayangnya nggak mungkin terlupa. Perempuan yang telah mengajarkanku untuk tetap tegar, meski badai kian banyak menerpa. Tetap tenang meski dalam lautan gelombang, itulah Ibu.

Kuraih foto keluarga yang terpampang di dinding kamar indekostku. Terlihat wajah Ibu yang teduh, meski sebenarnya hatinya banyak terluka.

"Na, meski Bapakmu sering melukai Ibu, tapi kau harus tetap hormat padanya. Kau ada di dunia ini,  karena dia. Bapakmu memang begitu orangnya, tetapi sebenarnya baik hatinya," kata Ibu ketika aku sering protes terhadap perlakuan Bapak yang kasar terhadap Ibu. Sebagai anak, wajar jika tidak setuju dengan sikap Bapak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun