Mohon tunggu...
Zuni Sukandar
Zuni Sukandar Mohon Tunggu... Guru - Seorang guru SLB

Lahir di Magelang, 20 Mei 1971, SD-SMP di kota yang sama, S-1 di Jogjakarta, saat ini mengajar di SLB Maarif Muntilan sebagai guru tunanetra.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kenduri

28 September 2020   22:26 Diperbarui: 28 September 2020   22:28 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sebuah notifikasi WA masuk di HP-ku. Ada pesan dari keponakanku yang mengundang untuk kenduri besuk sore sekitar pukul empat. 

[Saya mau mengantar undangan kenduri, tapi malah hujan, Lek. Jadi sebelum undangan datang, saya foto dulu undangannya, ya.]

Kujawab pesan itu cukup singkat, ya, terserah saja.

Hujan pun reda. Undangan kenduri itu pun telah sampai ke tanganku. Cepat kutemui suamiku untuk memberikan kabar padanya. Biasanya dia lupa jika tidak diingatkan ketika ada undangan.

"Mas, jangan lupa besuk ada undangan kenduri di rumah Nurjanah."

Suamiku tidak menjawab, dan hanya memandangi kertas undangan yang telah dipegannya.

"Malu, Mas jika tidak datang, karena masih keluarga dekat."

Undangan kuselipkan pada paku khusus  di tembok yang biasanya digunakan untuk pengingat acara atau undangan yang wajib dihadiri. 

Hari Senin seperti yang tertera di undangan, suamiku sepulang kerja bersiap-siap untuk menuju ke tempat kenduri. Kali ini dia berangkat lebih awal, karena takut terlambat. Lagi pula ini di tempat saudara, hukumnya wajib hadir, agar tidak menimbulkan fitnah.

Ada pengalaman buruk tentang undangan kenduri. Pernah beberapa kali aku mengudang saudara, entah karena terlalu sibuk atau berbarengan dengan acara lain, dan tidak pernah dapat menghadiri undangan yang disampaikan. Akhirnya kakakku sebagai anggota keluarga yang dituakan, memutuskan untuk tidak lagi mengundang orang tersebut. Dengan nada marah, kakakku bersumpah tidak akan pernah mengundangnya lagi.

"La wong diundang itu karena masih saudara,  diuwongke, eh kok ya beberapa kali undangan tidak pernah hadir tanpa alasan apa pun. Ya, sudah besuk tidak akan pernah lagi mengundangnya."

Kejam sebenarnya, tetapi memang tipe kakakku agak pendendam, jadi mungkin sikapnya sudah merupakan harga mati yang tidak dapat ditawar lagi.

***

"Mas, jangan-jangan kendurinya berupa sembako ya," ucapku sekenanya beberapa menit sebelum suamiku pergi untuk kenduri di rumah Nurjanah.

Seperti biasa, suamiku hanya menatapku, dan tidak ada jawaban dari mulutnya.

Aku sengaja tidak memasak untuk berbuka sore ini, karena berharap mendapat nasi kenduri dari Nurjanah. Aku pun juga sudah berjanji pada  ibu-ibu  untuk bezuk ke beberapa anggota perkumpulan yang sedang sakit, jadi hanya memasak air saja untuk membuat teh hangat.

Aku nggak masak saja, ah, kan ada kenduri, bisik hatiku yang terlalu berharap mendapat nasi untuk berbuka nanti.

Menjelang magrib, aku baru pulang dari bezuk. Betapa kagetnya diriku, mendapatkan suamiku dan anak-anak yang berbuka puasa menggunakan nasi bungkus. Perlahan kudekati mereka. Kulihat anak-anakku makan dengan nasi padang, dengan lauk kesukaannya.

"Lo, kan mendapat kenduri, kenapa berbuka pakai nasi bungkus?" tanyaku keheranan.

Suamiku hanya tersenyum kecil, sambil terus menikmati nasi bungkusnya.

"Mas, memang kendurinya berupa sembako, ya? Kok berbuka pakai nasi bungkus?"

Suamiku tidak mau diganggu saat berbuka, dan hanya menunjukkan tas kresek besar  warna putih yang di dalamnya tampak beberapa sembako seperti minyak goreng, beras, telur, mie instan, mie kering, biskuit, gula dan teh, dengan wadah panci plastik besar.

"Astaghfirullah!"

Akhirnya suamiku dan anak-anak pun tertawa, melihat kebodohanku yang tidak masak sore, dan terlalu berharap mendapat nasi kenduri.

"Wah, kecewa berat, ternyata sembako. Untung saja dekat dengan warung nasi padang, ya, jadi bisa langsung membeli nasi untuk berbuka."

"Makanya, Bu, hati-hati jika bicara, tadi kan kamu bilang jangan-jangan berupa sembako, nah jadi beneran, kan?"

Magelang, 28 September 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun