Mohon tunggu...
Zuni Sukandar
Zuni Sukandar Mohon Tunggu... Guru - Seorang guru SLB

Lahir di Magelang, 20 Mei 1971, SD-SMP di kota yang sama, S-1 di Jogjakarta, saat ini mengajar di SLB Maarif Muntilan sebagai guru tunanetra.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pesona Selebrita

15 September 2020   22:40 Diperbarui: 15 September 2020   22:56 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Assalamuallaikum," kusapa anak-anak dan suamiku yang sudah lebih dulu sampai di rumah. Kedua anakku menyalami dengan hangat. Walaupun cuaca siang tadi cukup panas, namun lelahku sepulang dari kantor hilang setelah mendapatkan kabar dari Nindia, teman sebangku di masa SMP.

Segera aku berjalan ke kamar.

Kuletakkan tas kantor warna hitam di atas meja rias. Sengaja kusenderkan tubuhku - yang masih lusuh, kotor, serta berbau debu di kursi kayu bermotif  flora untuk beberapa saat, sambil menunggu hilangnya keringat di kulit. Suamiku, Mas Hanan seperti biasa, menyambut dengan membawa segelas teh  hangat kesukaanku.

            "Waallaikum salam.  Pulang lebih awal,  ya, Bu?" tanya Mas Hanan sambil menyodorkan gelas teh besar bergagang itu di atas meja rias.

            "Ya, tadi beberapa pekerjaan  kusisakan untuk besok. Mas, boleh tanya sesuatu nggak?"

            "Serius,  amat. Ya bolehlah.  Kenapa nggak, untuk istri tercinta," rayuan gombal suamiku mulai meluncur deras.

            Kubuka pesan aplikasi WhatsApp yang berasal dari Nindia, lalu kuberikan padanya.

Mas Hanan  memberikan isyarat padaku agar duduk  lebih mendekat padanya.

            Perlahan Mas Hanan membaca pesan itu.

            "Reuni SMP?" tanya Mas Hanan sambil membuka kaca matanya.

            "Ya, Mas. Boleh ikutan nggak?"

            "Kamu yakin bisa jaga diri? Nanti ketemuan dengan pacar SMP?" ledek Mas Hanan serasa ingin tahu hatiku.

            "SMP belum punya pacar, Mas. Nggak seperti Mas Hanan dulu yang setia, alias setiap tikungan ada." 

Kubalas ledekan Mas Hanan dengan satu pukulan telak. Akhirnya Mas Hanan pun tertawa.

            "Aku boleh ikut nggak itu besok pas reunian?"

            "Mengapa nggak?  Ya boleh,  dong.  Sekalian aku kenalkan sama teman-temanku semasa SMP dulu, Mas."

            Mas Hanan mungkin ada rasa khawatir.  Teringat sekian tahun yang lalu ketika dia mendekatiku, ternyata dirinya tidak sendirian.  Akhirnya teman _SMA-ku yang bernama Latif dan Mas Hanan bertemu secara pribadi. Entah apa yang dibicarakan, yang jelas kini Latif tidak pernah lagi menghubungi.

Kaus seragam reunian berwarna merah dengan lis hitam  bergambar angka kelulusan dan logo khusus itu kini telah di tangan, setelah aku mentransfer sejumlah uang untuk biaya reuni dan pembelian kaus tersebut.

            Kugantungkan kaus reuni di rak lemari pakaian. Sementara itu, kulihat Mas Hanan yang hari ini nampak kelelahan, sedang berbaring di tempat tidur sambil menekan-nekan bagian depan  kepalanya, mungkin tensinya turun. Perlahan kudekati pria itu. Sambil membantu memijit beberapa bagian tubuhnya, aku pun kembali mengulang rencana reuni besok.

            "Besok jadi ikut kan, Mas?"

            "Waduh, sorry, ternyata aku ada janjian dengan Pak Soni besok pada jam yang sama. Gimana,  kamu kecewa, Bu?"

Aku terdiam sejenak. Ada rasa kecewa pada keputusan  Mas Hanan yang lebih mementingkan pekerjaan daripada membahagiakan istrinya. Wajah sedikit kutekuk, mendengar jawaban suamiku, namun akhirnya aku pun dapat menerima alasannya.

            "Ya, sudahlah,  aku sendirian. Tapi antar aku sampai lapangan sekolah, ya, karena teman-teman nanti berkumpul di sana," pintaku pada Mas Hanan malam itu.

            "SSS-lah."

            "Apaan, tuh?"

            "Selalu Siap Sedia."

            Aku pun terkekeh mendengar singkatan yang ngawur dari suamiku.

***

            Peserta reuni sudah berkumpul. Semua berwajah ceria. Momen ini sangat istimewa karena baru pertama kali diadakan setelah dua puluh tahun tidak saling bertemu. Beberapa wajah memang nampak kukenal baik, tetapi banyak juga yang harus main tebak-tebakan karena tidak saling kenal, atau beda kelas.

Reuni diadakan di sebuah taman yang menyediakan sarana untuk kegiatan outbond.

Peserta dibagi dalam beberapa kelompok dengan berbagai permainan yang membutuhkan kebersamaan, kerja sama maupun kecekatan. 

Gelak tawa pun selalu muncul pada permainan itu. Benar-benar lupa  segalanya. Lupa masalah, lupa punya hutang, lupa punya anak dan suami. Layaknya menjadi anak-anak sewaktu SMP, guyonannya pun kembali seperti anak kecil.  Mungkin inilah salah satu nilai positif reuni yang dapat meningkatkan kekebalan tubuh karena ada rasa bahagia.

            Nindia mendekatiku usai outbond. Penampilannya sungguh luar biasa,  sampai aku pun tidak lagi mengenalnya. Benar-benar sempurna! Dulu memang Nindia terlihat biasa saja, sebagai anak seorang petani. Namun kini, dia menjadi istri seorang pengusaha katering terkenal di beberapa kota. Pantas saja penampilan wanita itu terlihat sempurna. Tubuhnya langsing, dengan  wajah elok bersapu make up menarik.  Aksesoris yang dikenakannya semua bermerek terkenal.

Rupanya Nindia sangat menyadari bahwa dirinya menjadi pusat perhatian pada saat reuni itu. Semua mata tertuju padanya, dari ujung rambut sampai ujung kaki. Setiap langkahnya bak peragawati yang berlenggak-lenggok di atas  catwalk. Suara hak sepatunya yang cukup tinggi menambah anggun  penampilannya. Aku terpana melihat penampilannya yang sangat berbeda saat ini.

            "Hey, Rin, jangan bengong begitulah melihatku. Aku jadi salting, nih," tampik Nindia padaku sambil merapatkan duduknya.

Masih dalam seribu pesona Nindia, kutatap sahabatku  yang kini duduk berdekatan, tanpa memberikan kesempatan mataku untuk berkedip.

            "Habis dirimu begitu cantik, bak bidadari yang turun ke bumi. Jangan-jangan kamu sekarang jadi artis ya, Nin?" pujiku pada Nindia tak henti-henti.

Pipi Nindia nampak memerah mendapat pujian yang bertubi-tubi dariku. Berkali-kali rambutnya disibakkan karena dipermainkan angin.

            "Ah, ngaco kamu tuh. Mimpi apa aku jadi artis?" kata Nindia sambil mengaca membetulkan beberapa riasan wajahnya yang agak pudar terkena keringat dan debu.

            "Eh, benerlah. Kamu toplah, pantas jadi artis," kataku sambil mengacungkan kedua jempol jari tanganku pada Nindia. Perempuan berkulit putih itu hanya tersenyum tersipu.

            Nindia memang dulu dekat sekali denganku. Selain teman sebangku, kami  juga sering  bercerita. Meski sekarang telah menjadi orang kaya, tetapi dia tidak lupa denganku yang biasa-biasa saja. Bahkan, dengar-dengar  biaya reuni ini juga banyak disokong oleh Nindia.

Kehadiran Nindia bagiku merupakan inspirasi yang akan mengubah duniaku menjadi luar biasa, dan tidak pernah terpikirkan sebelumnya.

Beberapa saat setelah Nindia berbincang denganku, tiba-tiba saja terbersit di benakku untuk menyampaikan keinginanku.

            "Jujur, Nin, aku pengin sekali sepertimu. Tampil maksimal dan terlihat hebat," kataku penuh harap tanggapan dari Nindia.

Mata Nindia yang lentik, menatapku lekat-lekat. Tangannya meraih tanganku, dan digenggamnya erat, mungkin ingin tahu kesungguhan ucapanku yang baru saja kusampaikan.

            "Kamu mau? Bisa kok."

            "Gimana caranya?" tanyaku tidak percaya.

Kembali Nindia memoleskan lipstik warna merah menyala di bibirnya, lalu menyimpannya kembali di tas tangan  model terbaru warna senada dengan kausnya.

            "Ya ikuti aku saja. Lama-lama kamu pasti bisa."

            Kini aku mulai tergoda dengan apa yang dikatakan Nindia. Perempuan mana, sih, yang tidak terpesona dengan segala kemewahan dunia yang diinginkan? 

Aku ingin sekali mengubah penampilanku yang biasa-biasa saja.

            Reuni kali ini benar-benar telah membuka mataku, bahwa aku harus berubah menjadi seperti Nindia, minimal mengikuti jejaknya.

***

            "Gimana reuniannya? Seru?" tanya Mas Hanan ketika menonton acara TV malam itu ditemani secangkir kopi yang baru saja kuseduh.

Kusenderkan kepalaku di bahu Mas Hanan. Dengan malas,  kuambil remote TV, akhirnya pilihan jatuh pada acara humor. Mas Hanan mengelus kepalaku penuh manja.

            "Wah, seru banget. Bahkan, aku bertemu Nindia, teman sebangku dulu. Hm ... penampilannya membuatku iri."

            "Iri gimana maksudmu?" tanya Mas Hanan penuh rasa penasaran, sampai mengubah posisi duduknya.

            "Ya, begitulah. Semua yang didambakan perempuan sudah dia miliki. Makanya aku ingin sekali dekat dengannya, Mas. Oh ya, besok kan libur, Nindia mengajakku  berbelanja, Mas. Boleh kan?"

            "Terserah kamu saja, yang penting jaga diri baik-baik."

***

            Hampir seminggu tiga kali Nindia selalu ke mal. Ada saja barang yang dibelinya, semua bermerek terkenal. Aku  pun selalu diajak ketika berbelanja. Tidak jarang aku  mendapatkan barang yang sama. Harga barang-barang itu bagiku cukup mahal.  Bahkan, gaji suamiku sebulan tidak cukup untuk membeli pernik-pernik yang biasa dipakainya.

Di ruang keluarga, ketika Mas Hanan membolak-balik koran  edisi terbaru yang sedang dibacanya, kudekati dengan hati-hati, karena takut mengganggu aktivitasnya. Dengan segenap keberanian yang ada, aku mencoba mengutarakan keinginanku untuk mengikuti program kecantikan seperti saran Nindia.

            "Mas Hanan senang,  toh, jika melihatku tambah cantik, putih mulus, dan tubuhku kembali langsing?"

            "Ya jelas, toh,  Bu. Laki-laki mana sih yang nggak suka lihat perempuan cantik. Hanya laki-laki bodoh yang membiarkan pemandangan indah berlalu begitu saja."

Kuminta dengan lembut, koran yang masih dipegangnya. Kulipat dan meletakkannya di atas meja. Kupegang tangan Mas Hanan dengan lembut. Kupermainkan jari-jarinya.

            "Kemarin aku sudah konsultasi ke dokter kecantikan, seminggu sekali aku harus ke klinik, Mas. Katanya kulitku kering, jadi harus melakukan perawatan. Nanti setelah selesai disambung lagi dengan program lain."

            "Terus berapa biayanya?"

Mas Hanan, mengelus rambutku dengan penuh kasih.

            Aku menyebutkan sejumlah uang yang harus dikeluarkan setiap kali perawatan. Mas Hanan nampak terperangah. Sesaat dia diam terpaku mendengar penuturanku. Raut mukanya seketika berubah. Tiba-tiba Mas Hanan berdiri dan suaranya menjadi agak parau, mungkin menahan rasa marah yang disembunyikan dengan apa yang kusampaikan, aku pun dilepaskan begitu saja.

            "Bu, apa nggak lebih baik cari tempat perawatan yang harganya tidak terlalu tinggi? Gaji sebulanku saja nggak cukup untuk perawatanmu. Belum lagi biaya hidup kita, SPP anak-anak, arisan, kegiatan sosial, dan  lain-lain. Terus kita apa harus ngutang ke sana ke mari untuk mencukupi kebutuhan hidup? Apalagi aku harus mengirim uang untuk Ibu di kampung."

            "Kan, tadi Mas Hanan sendiri yang bilang senang melihat istrinya cantik. Kenapa sekarang jadi aku yang salah!"

Aku dan Mas Hanan, tiba-tiba terlibat saling adu pendapat. Suhu di ruang itu seakan meninggi.

            "Bu, tahu nggak. Tuh,  KD sekian juta hanya untuk giginya, untuk alisnya, untuk tubuhnya, tapi kan dia punya duit untuk memenuhi semuanya. Lah, aku ini siapa, coba?  Hanya pegawai kecil, gaji pas-pasan. Untuk hidup saja hanya bisa  sederhana. Jadi maaf-maaf sajalah jika keinginanmu konsultasi-konsultasi itu tidak dapat kupenuhi, " kata Mas Hanan sambil mengacungkan jarinya.

            Dari nada bicaranya yang tinggi , Mas Hanan terlihat  sangat marah dengan segala keinginanku yang hanya membuang-buang waktu, tenaga, dan terutama uang yang tidak sedikit. Tangannya berkacak pinggang, sambil berjalan mondar-mandir. Aku pun terlibat diskusi yang tidak membuahkan hasil.

Dengan berbagai pertimbangan, Mas Hanan tetap tidak menyetujui rencanaku.  Ada rasa dongkol di hatiku.

            "Ah, Mas Hanan selalu membuatku kecewa!" protesku sambil membuang muka membelakangi suamiku.

Tak kuasa menahan kekecewaan , bulir bening pun menetes membasahi pipiku.

Ada rasa bersalah Mas Hanan,  terhadapku. Dia mendekatiku.  Diraihnya tubuhku yang tertunduk di sudut sofa ruang keluarga. Matanya menatapku teduh. Dihapusnya airmataku dengan jari-jarinya. Suaranya kini lebih lembut.

            "Mari kita lihat diri kita, Bu. Aku dulu mendekatimu karena darimulah banyak kutemukan mutiara. Penampilan yang sederhana, sopan, taat, dan tidak neka-neka. Jangan hanya melihat dari luar, Bu. Kita, kan,  nggak tahu juga Nindia itu sebenarnya gimana."

            Aku dan Mas Hanan memang jadi jarang berkomunikasi dengan baik sejak  reuni tempo hari. Mas Hanan sangat menentang  jika jejak Nindia kuikuti. Banyak alasan dikemukakan, dan ujung-ujungnya memang uang. Padahal Nindia sebenarnya hanya ingin membantuku untuk  dapat tampil lebih prima.  Akan tetapi, bagaimana pun, aku adalah seorang istri, yang harus taat pada suami. Rida suami menjadi jalan meraih surga-Nya. Apapun yang kulakukan harus mendapat restu suami.

           

Sementara itu, tidak disangka-sangka, grup WhatsApp SMP selalu ramai sampai larut malam,  semenjak reuni diadakan.  Gosip terbaru pun muncul, tentang Nindia. Komentar teman-teman di grup pun bermacam-macam.  Maklum saja, karakter mereka juga berbeda, Nindia pun tidak membantah kondisinya. 

            Kupandangi ponsel dengan geleng-geleng kepala.

            "Pantas saja materi seakan dia tidak masalah, tetapi harus berbagi kasih dengan perempuan lain yang menjadi istri suaminya juga? Oh, no!" bisik hatiku.

            "Kok bengong, Bu? Ada apa?"

            Mas Hanan meletakkan koran yang sedang dibacanya. Rupanya  dia memperhatikan keanehan sikapku sejak terdengar suara notifikasi ponsel. Dia mengetahui perubahan mimik  yang tidak mampu kusembunyikan segera. Mas Hanan makin penasaran pada sikapku, akhirnya dia pun bertanya tentang isi pesan ponselku.

            "Ah, nggak apa-apa, kok. Hanya ikut prihatin saja, ternyata Nindia menjadi istri ketiga."

            "Loh, kan diperbolehkan, toh?" tanya suamiku penuh selidik untuk mengetahui sikapku.

            "Tapi, aku secara pribadi, sangat tidak setuju, dengan berbagai alasan pun, kecuali jika sudah meninggal."

            Mas Hanan hanya tertawa.

            "Kenapa, Mas? Lucu ya?" tanyaku agak tersinggung.

            "Nggaklah, Bu. Yang terlihat  indah, kadang dapat membuat kecewa, kan? Terus jadi perawatan nggak, nih?"

Dengan senyum nakal, kucolek Mas Hanan, karena kutahu dia hanya sekedar menggodaku.

            "Mungkin belum ya, Mas. Ntar Mas Hanan punya rezeki lebih, aku akan minta perawatan, ya. Tapi yang jelas perlu dirawat hatimu, Mas, agar tidak melihat pemandangan indah yang ada di luar."

            "Ah, kamu tuh ada-ada saja."

            Mas Hanan menggamit kedua tanganku, kemudian menatap lekat-lekat. Dari sorot matanya terlihat ketulusan cinta  yang tidak pernah pudar ditelan waktu. Sebuah kecupan manis mendarat di keningku. Aku pun memeluknya erat-erat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun