"Wah, seru banget. Bahkan, aku bertemu Nindia, teman sebangku dulu. Hm ... penampilannya membuatku iri."
      "Iri gimana maksudmu?" tanya Mas Hanan penuh rasa penasaran, sampai mengubah posisi duduknya.
      "Ya, begitulah. Semua yang didambakan perempuan sudah dia miliki. Makanya aku ingin sekali dekat dengannya, Mas. Oh ya, besok kan libur, Nindia mengajakku  berbelanja, Mas. Boleh kan?"
      "Terserah kamu saja, yang penting jaga diri baik-baik."
***
      Hampir seminggu tiga kali Nindia selalu ke mal. Ada saja barang yang dibelinya, semua bermerek terkenal. Aku  pun selalu diajak ketika berbelanja. Tidak jarang aku  mendapatkan barang yang sama. Harga barang-barang itu bagiku cukup mahal.  Bahkan, gaji suamiku sebulan tidak cukup untuk membeli pernik-pernik yang biasa dipakainya.
Di ruang keluarga, ketika Mas Hanan membolak-balik koran  edisi terbaru yang sedang dibacanya, kudekati dengan hati-hati, karena takut mengganggu aktivitasnya. Dengan segenap keberanian yang ada, aku mencoba mengutarakan keinginanku untuk mengikuti program kecantikan seperti saran Nindia.
      "Mas Hanan senang,  toh, jika melihatku tambah cantik, putih mulus, dan tubuhku kembali langsing?"
      "Ya jelas, toh,  Bu. Laki-laki mana sih yang nggak suka lihat perempuan cantik. Hanya laki-laki bodoh yang membiarkan pemandangan indah berlalu begitu saja."
Kuminta dengan lembut, koran yang masih dipegangnya. Kulipat dan meletakkannya di atas meja. Kupegang tangan Mas Hanan dengan lembut. Kupermainkan jari-jarinya.
      "Kemarin aku sudah konsultasi ke dokter kecantikan, seminggu sekali aku harus ke klinik, Mas. Katanya kulitku kering, jadi harus melakukan perawatan. Nanti setelah selesai disambung lagi dengan program lain."