Mohon tunggu...
Zuni Sukandar
Zuni Sukandar Mohon Tunggu... Guru - Seorang guru SLB

Lahir di Magelang, 20 Mei 1971, SD-SMP di kota yang sama, S-1 di Jogjakarta, saat ini mengajar di SLB Maarif Muntilan sebagai guru tunanetra.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Penjual Wedang Ronde

4 Agustus 2020   20:49 Diperbarui: 4 Agustus 2020   20:47 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Malam Ahad, seperti biasa Salamun memintaku untuk menemaninya menonton hiburan ala desa, yaitu kubra. Entah apa yang menarik dari kesenian itu bagi Salamun. Bagiku terasa biasa, tetapi baginya serasa ada yang kurang bila belum menghabiskan malam Ahad tanpa kubra yang menjadi andalannya. Malam itu yang tampil di lapangan desa Kubra Siswa Taruna Muda yang terkenal energik.

Kami berangkat dari rumah setelah salat isya. Aku membawa bekal beberapa gelintir rokok dan lampu senter mengantisipasi jika listrik padam tiba-tiba. Jalan menuju kampungku memang belum semua teraliri listrik, jadi kadang melalui jalan yang cukup gelap. Untuk menuju rumahku harus melewati salah satu makam yang konon cukup angker.

"Nanti nggak usah malam-malam, ya Mun, kau kan tahu sendiri jalan menuju kampungku sepi setelah lewat tengah malam," pintaku pada Salamun yang segera diiyakannya.

"Ya, nanti jika sudah sampai atraksi kita langsung pulang."

Tontonan kali ini memang  menarik, hingga berjubel yang melihat. Pedagang pun lebih banyak daripada biasanya. Suara tabuhan dan tarian sangat serasi. Namun lama-kelamaan perutku pun terasa penuh karena suara tabuhan yang mengiringi tarian tersebut.

Merasa nggak enak badan, Salamun segera kuajak pulang. Jarum jam di tangan sudah menunjukkan pukul dua puluh empat lebih  lima belas menit. 

"Mun, yuk kita pulang. Duh, perutku sudah nggak enak banget."

"Nggak nunggu atraksi selanjutnya?"

"Sudah besuk lain kali saja. Aku sudah ngantuk juga," kataku  mencari-cari alasan agar segera pulang. Aku nggak berani ambil risiko pulang terlalu malam. Bukankah aku harus melewati kuburan yang cukup angker?

"Nanti kita pisah di tempat seperti biasa ya," pinta Salamun padaku.

Rumah Salamun memang hanya berjarak beberapa meter  dengan lapangan tempat pentas kubra. Sedang rumahku masih agak jauh, harus melewati beberapa dusun, dan gang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun