Mungkin, saya yang bukan sebagai seorang sarjana humaniora, sangat prematur menggambarkan ekspresi prihatin tentang kontribusi nurani terhadap pemikiran sosial dan politik dalam budaya populer warga Makassar.Â
Dimana "tungguma" yang digariskan ke dalam fiksi transformasi sosial yang tidak tunduk pada pengetahuan luas di dunia akrab mereka --- akan tumbuh lebih buruk, jika mereka menguranginya, menggambarnya dalam karikatur , atau menguranginya ke dalam gambarnya --- "tungguma" merupakan ekstrapolasi tentang sifat persetujuan konflik sosial setelah gagal total dalam kehidupan sosial mereka.Â
Pola yang sama meletakkan dasar untuk perjuangan atas makna ketimpangan dan kesenjangan dalam genre: dibandingkan dengan dengan yang mereka alami sebelumnya.Â
Dan warga ingin mencurahkan seluruh perhatian sosial mereka untuk memahami kompleksitas politik, jenis diskriminasi sosial, dan perlakuan tidak wajar dengan memahami kritik pada politik mereka dengan melakukan eksploitasi massif yang menghidupkan mengartikulasikan arti kemungkinan fiksi spekulatif mereka untuk masing masing peran mereka tanpa melihat batas jenis perempuan dan laki-laki.Â
Masalahnya sama: ketika metafora melampaui subteksnya, metafora lebih membingungkan daripada demistifikasi. Karena itu saya percaya mereka memahami betul batasannya.Â