Suasana Interactive Center UIN Sunan Kalijaga mendadak padat dan hangat pada Selasa siang, 10 Juni 2025. Jam menunjukkan pukul 13.00 WIB saat para mahasiswa Ilmu Komunikasi berkumpul, bukan sekadar untuk menyaksikan ajang penghargaan Music Video (MV) Ilmu komunikasi UINSUKA angkatan 2024, melainkan untuk menyimak wejangan langsung dari seorang praktisi film yaitu Mulia Alif. Dengan tajuk yang penuh semangat, "Pokoknya Bikin Film!!!", kuliah umum ini menjadi sebuah momen reflektif sekaligus inspiratif bagi para sineas muda kampus. Mulia Alif hadir bukan hanya sebagai pemateri, tetapi juga sebagai juri dari kompetisi MV yang diadakan oleh dosen mata kuliah Broadcasting, Alip Yog Kunandar yang sekaligus jadi penilaian mata kuliah.
Siapa Itu Mulia Alif?
Mulia Alif mungkin bukan nama yang sering menghiasi poster bioskop atau headline festival film. Namun, karya-karyanya diam-diam menyusup ke ruang-ruang emosi penonton. Salah satu proyek paling terkenal yang ia garap adalah MV "Gala Bunga Matahari" milik Sal Priadi, di mana ia bertugas sebagai line producer sekaligus drone pilot. Dua peran yang tampak teknis, namun justru krusial dalam produksi visual berkualitas tinggi.
Line producer adalah orang yang bertanggung jawab memastikan segala kebutuhan produksi berjalan lancer, dari penyusunan anggaran, penjadwalan shooting, hingga mengoordinasi kru dan logistik. Sementara drone pilot, sesuai namanya adalah operator pesawat tanpa awak (drone) yang mengambil gambar dari udara, menciptakan sudut pandang sinematik yang memukau dan dramatis.
Menelaah Karya Mahasiswa
Usai memperkenalkan dirinya dan kisah di balik beberapa produksi, sesi kuliah umum pun memasuki tahap yang paling ditunggu, kritik terhadap karya para mahasiswa. Mulia Alif, dengan gaya yang santai namun tajam, menyampaikan bahwa rata-rata MV buatan mahasiswa kurang berkonsep. Menurutnya, video yang baik bukan hanya soal estetik, tapi tentang struktur cerita yang tertata dan keputusan artistik yang sadar.Ia menekankan pentingnya menentukan terlebih dahulu di mana letak adegan puncak atau climax.Â
Dalam MV yang berdurasi tiga hingga lima menit, titik klimaks ini harus ditempatkan secara strategis, misalnya di menit ke-2 atau 2:30, lalu ditopang oleh adegan-adegan pembuka dan penutup yang mendukungnya secara emosional dan naratif.Selain itu, Mulia juga menggarisbawahi pentingnya sinkronisasi antara beat musik dan visual. "Visual video tidak boleh bertolak belakang dengan beat musik," ujarnya. Sinkronisasi ini bukan sekadar soal kecepatan gerak atau efek transisi, tetapi lebih dalam dari itu, tentang bagaimana suasana musik dan cerita dalam gambar menyatu dalam satu rasa.
Makna di Balik Gala Bunga Matahari
Kuliah umum ini juga menjadi kesempatan bagi Mulia untuk membuka tabir makna dari MV "Gala Bunga Matahari." Banyak yang mengira video itu bercerita tentang seseorang yang merindukan pasangannya yang telah lama tiada. Namun ternyata, kisah aslinya adalah tentang kerinduan Sal Priadi terhadap mendiang ayahnya. Sebuah kisah pribadi yang kemudian dikemas menjadi narasi universal tentang kehilangan dan kenangan.
Perubahan sudut pandang itu bukan tanpa alasan. Dalam industri film dan video musik, penyesuaian terhadap audiens adalah hal penting, dan interpretasi yang lebih luas sering dipilih agar penonton bisa lebih mudah terkoneksi secara emosional.
Imajinasi dan Regulasi di Perfilman
Salah satu bagian paling menarik dari kuliah umum ini adalah ketika Mulia Alif membahas sensitivitas budaya dan hukum dalam perfilman internasional. Ia membagikan pengalamannya saat mengerjakan film dengan adegan menyembelih sapi. Adegan itu, menurutnya, tidak bisa sembarangan ditayangkan di India, karena negara tersebut memiliki larangan budaya dan agama terkait sapi. "Karena adegan tersebut tidak bisa tayang disana, jadi kami harus pakai adegan alternatif" katanya, menyiratkan pentingnya riset hukum dan budaya saat membuat karya yang ingin lintas batas negara. Bagi para mahasiswa yang bermimpi menjadi filmmaker global, pesan ini menjadi peringatan sekaligus tantangan, film tidak cukup hanya kuat secara naratif dan teknis, tetapi juga harus paham konteks dan etika lokal.
Film Sebagai Bahasa Jiwa
Kuliah umum ini tak hanya menyulut semangat teknis untuk berkarya, tetapi juga membangkitkan kesadaran bahwa film dan MV bukanlah produk estetika semata. Mereka adalah bahasa jiwa, jembatan emosional antara pembuat dan penonton. Mulia Alif, dengan segala kerendahan hati dan pengalamannya, memberikan contoh bahwa dunia film terbuka bagi siapa pun yang bersungguh-sungguh, yang tidak hanya ingin "bikin keren", tetapi juga ingin menyampaikan rasa dan makna. "Pokoknya bikin film!" bukan sebagai seruan kosong, tapi sebagai dorongan. Karena dari proses membuatlah, seseorang belajar berpikir terstruktur, bekerja kolektif, membaca dunia, dan yang terpenting menyuarakan isi hati lewat medium yang bisa mengguncang dunia.
Kuliah umum bersama Mulia Alif ini akhirnya usai menjelang pukul 15.00 WIB. Tapi semangat yang ditinggalkannya tidak usang dalam ruangan. Ia tinggal dalam catatan para mahasiswa, dalam sketsa ide baru, dalam kesadaran bahwa membuat film bukan sekadar menyusun gambar dan suara, melainkan menyulam harapan, kritik, dan cinta menjadi narasi yang bermakna.