Malam itu, udara di Jalan Veteran, kawasan Warungbroto, Umbulharjo, Yogyakarta, terasa berbeda. Bukan sekadar hembusan angin malam yang lembut atau aroma sate kambing yang akrab di malam Idul Adha. Ada yang lain. Langit masih hitam kelam ketika ribuan orang memadati tepi jalan, duduk bersila, berdiri, berjejer, menyempil di mana pun ada ruang untuk melihat. Jam menunjukkan lewat pukul delapan malam. Tapi suasananya seperti baru dimulai.
Saya datang bersama tiga orang teman. Rencana awalnya cuma "liat-liat aja" karena katanya bakal ada pawai atau semacam karnaval takbiran. Tapi ternyata suasananya jauh lebih ramai dan meriah dari yang kami bayangkan. Bahkan sebelum parade dimulai, kami sudah harus berebut tempat duduk di pinggir jalan. Akhirnya kami dapat spot di depan sebuah Alfamart, tempat strategis sekaligus terlindung dari kerumunan yang terlalu padat.
Di sepanjang jalan, pedagang makanan dan minuman bermunculan seperti jamur. Ada yang membuka stand kecil, lengkap dengan lampu-lampu gantung dan spanduk. Ada juga yang berjalan keliling membawa nampan di atas kepala, penuh dengan es teh, es degan, hingga sosis goreng. Suara mereka bersahutan, berlomba dengan dentuman musik dari kejauhan dan keramaian penonton yang antusias menunggu.
Dari keramaian itu, kami tak sengaja berkenalan dengan seorang mbak-mbak yang menawarkan kami space untuk duduk di sampingnya. Ramah dan ceria, tipikal warga Jogja yang gampang akrab. Entah karena merasa cocok atau sekadar basa-basi tulus, kami malah dibelikan minuman dingin. "Biar segar pas nonton," katanya sambil tertawa. Momen sederhana yang bikin malam itu makin hangat.
Sekitar pukul setengah sembilan, barulah deretan kafilah mulai muncul satu per satu. Pawai ini, katanya, diikuti oleh 19 grup dari berbagai wilayah sekitar, mulai dari RT, dusun, hingga komunitas tertentu. Setiap grup punya tema masing-masing yang jelas terlihat dari kostum, properti, dan narasi visual yang mereka tampilkan.
Salah satu tema yang paling mencuri perhatian adalah Arabian Night. Cewek-cewek dalam kelompok itu mengenakan kostum glamor khas Timur Tengah, lengkap dengan mahkota berhiaskan rumbai-rumbai yang mengingatkan pada perhiasan kepala ala Putri Jasmine. Gerakan mereka luwes, penuh percaya diri, seolah benar-benar sedang menari di istana Baghdad.
Tak lama kemudian muncul kelompok dengan tema Egyptian. Mereka tampil dalam kostum ala Firaun dan Cleopatra, berjalan pelan sambil membawa miniatur piramida yang ternyata dibuat dari bahan-bahan sederhana seperti kardus dan bambu, dihias sedemikian rupa hingga tampak megah. Kreativitas warga memang selalu punya tempat dalam acara seperti ini.
Ada juga grup yang mengusung tema bulan dan matahari. Anak-anak dan remaja dalam barisan itu membawa tongkat bertuliskan simbol bulan sabit dan matahari, lengkap dengan replika besar berbentuk lingkaran yang bisa berputar, digotong beramai-ramai sambil diiringi sorak penonton. Tema ini terasa simbolik, entah itu tentang harmoni, waktu, atau sekadar estetika malam takbiran yang bercahaya.
Yang bikin bulu kuduk berdiri adalah ketika kelompok bertema Free Palestine muncul. Mereka mengenakan pakaian putih-putih seperti pakaian jenazah, dan membawa replika mayat kecil yang berlumuran darah merah palsu, jelas menggambarkan korban anak-anak dalam konflik kemanusiaan. Ada juga yang berperan sebagai pejuang bersenjata, lengkap dengan bendera dan simbol perlawanan. Tidak ada musik ceria dalam grup ini, hanya suara langkah kaki dan gumaman doa dari penonton yang larut dalam atmosfer sunyi dan emosional.
Selain itu, masih banyak tema lain yang tak kalah menarik seperti robot raksasa, meriam bergerak, bahkan tokoh-tokoh ikonik yang dimodifikasi ala budaya lokal. Beberapa grup mengombinasikan tarian, musik, dan teatrikal singkat yang membuat penonton berdecak kagum.
Konon, semua peserta ini mengikuti semacam lomba karnaval, meskipun tak semua menganggapnya soal menang atau kalah. Yang penting tampil total dan membagikan cerita lewat kreativitas. Dan memang, mereka total sekali. Dan katanya ini diadakan setiap tahun.
Untuk mendukung acara, beberapa ruas jalan utama ditutup. Tukang parkir dadakan berjaga di beberapa titik, mengatur lautan motor yang terparkir rapi. Penonton harus berjalan cukup jauh untuk menemukan tempat duduk atau sekadar berdiri nyaman. Tapi tidak ada keluhan. Semua larut dalam rasa penasaran dan semangat menyambut malam raya dengan cara yang tidak biasa.
Sekilas, acara ini memang terasa seperti pawai budaya biasa. Tapi kalau dicermati, ada banyak hal yang bisa kita baca, tentang cara masyarakat mengekspresikan keyakinan, emosi kolektif, kreativitas lokal, dan bahkan kepedulian terhadap isu global. Bahwa malam takbiran bukan cuma soal takbir dan kembang api, tapi bisa juga jadi ruang ekspresi yang menyatukan seni, spiritualitas, dan kebersamaan.
Ketika pawai terakhir lewat dan kerumunan mulai bubar, jalanan kembali gelap dan tenang. Tapi kesan dari malam itu, keramaiannya, gelak tawa, dentuman musik, dan sesekali haru masih terasa membekas.
Dalam perjalanan pulang, saya dan teman-teman masih membahas tema-tema favorit kami. Ada yang bilang suka Arabian, ada yang masih merinding karena Free Palestine. Saya pribadi paling terkesan dengan bagaimana warga biasa bisa tampil luar biasa, hanya dengan semangat gotong royong dan ide yang tak pernah kehabisan nyala.
Idul Adha tahun ini tidak hanya memberi makna soal berkurban dan pengorbanan, tapi juga tentang bagaimana kita merayakan kehidupan dengan berkumpul, bercerita, dan saling terhubung di tengah keramaian yang hangat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI