Untuk mendukung acara, beberapa ruas jalan utama ditutup. Tukang parkir dadakan berjaga di beberapa titik, mengatur lautan motor yang terparkir rapi. Penonton harus berjalan cukup jauh untuk menemukan tempat duduk atau sekadar berdiri nyaman. Tapi tidak ada keluhan. Semua larut dalam rasa penasaran dan semangat menyambut malam raya dengan cara yang tidak biasa.
Sekilas, acara ini memang terasa seperti pawai budaya biasa. Tapi kalau dicermati, ada banyak hal yang bisa kita baca, tentang cara masyarakat mengekspresikan keyakinan, emosi kolektif, kreativitas lokal, dan bahkan kepedulian terhadap isu global. Bahwa malam takbiran bukan cuma soal takbir dan kembang api, tapi bisa juga jadi ruang ekspresi yang menyatukan seni, spiritualitas, dan kebersamaan.
Ketika pawai terakhir lewat dan kerumunan mulai bubar, jalanan kembali gelap dan tenang. Tapi kesan dari malam itu, keramaiannya, gelak tawa, dentuman musik, dan sesekali haru masih terasa membekas.
Dalam perjalanan pulang, saya dan teman-teman masih membahas tema-tema favorit kami. Ada yang bilang suka Arabian, ada yang masih merinding karena Free Palestine. Saya pribadi paling terkesan dengan bagaimana warga biasa bisa tampil luar biasa, hanya dengan semangat gotong royong dan ide yang tak pernah kehabisan nyala.
Idul Adha tahun ini tidak hanya memberi makna soal berkurban dan pengorbanan, tapi juga tentang bagaimana kita merayakan kehidupan dengan berkumpul, bercerita, dan saling terhubung di tengah keramaian yang hangat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI