Al-Qur'an merupakan kitab suci yang menjadi pedoman utama bagi umat Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Di dalamnya terdapat berbagai petunjuk, nilai moral, serta hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah dan dengan sesamanya. Sebagai kitab yang sempurna, Al-Qur'an mengandung ayat-ayat hukum yang menjadi dasar dalam penyusunan fikih Islam. Untuk memahami ayat-ayat tersebut secara komprehensif, para ulama mengembangkan berbagai pendekatan tafsir, salah satunya adalah tafsir fiqhi. Corak tafsir ini telah lama menjadi rujukan utama dalam penetapan hukum Islam yang aplikatif dan kontekstual.
Apa Itu Tafsir Fiqhi?
Tafsir fiqhi adalah salah satu corak penafsiran Al-Qur'an yang menitikberatkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum-hukum syariat. Tafsir ini bertujuan menjelaskan kandungan hukum dari ayat-ayat Al-Qur'an agar dapat diterapkan dalam kehidupan, baik dalam hal ibadah seperti shalat dan puasa, maupun dalam hal muamalah seperti jual beli, pernikahan, dan warisan.
Tafsir ini menggunakan pendekatan ushul fiqih dan qawaid fiqhiyyah dalam menafsirkan teks-teks Al-Qur'an, sehingga penekanan utamanya adalah istinbatul ahkam, yakni upaya menggali hukum dari nash. Corak ini juga sering disebut sebagai tafsir ahkam, yaitu penafsiran yang mengkaji ayat-ayat hukum secara sistematis, bertujuan untuk mengeluarkan ketentuan syariat yang bersumber dari teks Al-Qur'an. Tafsir ini tidak hanya terpaku pada makna lahiriah ayat, tetapi juga memperhatikan kedalaman dan keluasan maknanya agar hukum yang ditetapkan benar-benar sesuai dengan tujuan syariat.Â
Sejarah Perkembangan Tafsir Fiqhi
Sejarah tafsir fiqhi terbagi dalam beberapa fase. Pada fase awal, yaitu masa Nabi Muhammad saw., para sahabat, dan tabi'in. Pemahaman terhadap ayat-ayat hukum didasarkan pada penjelasan langsung  oleh Nabi. Setelah beliau wafat, para sahabat melanjutkan penafsiran terhadap ayat-ayat hukum melalui ijtihad. Mereka merujuk pada Al-Qur'an, dan bila tidak menemukan jawaban, mereka menggunakan hadis atau berijtihad dengan kaidah syar'i. Fase berikutnya adalah masa kemunculan mazhab-mazhab fikih. Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi'i, dan Ahmad bin Hanbal masing-masing mengembangkan metode tafsir yang khas sesuai dengan pendekatan mereka. Selanjutnya, muncul fase taklid dan fanatisme mazhab. Pada masa ini, para pengikut mazhab cenderung fanatik dan menyesuaikan penafsiran ayat dengan pendapat imamnya, bahkan terkadang mengesampingkan objektivitas ilmiah. Namun, di antara mereka juga ada yang bersikap moderat dan tetap menjunjung kebenaran ilmiah di atas fanatisme mazhab.
Contoh Tafsir Fiqhi
Contoh tafsir fiqhi adalah tentang masa minimal kehamilan. Sayyidina Ali bin Abi Thalib menyimpulkan bahwa masa kehamilan paling sedikit adalah enam bulan, berdasarkan dua ayat berikut:
"Mengandung sampai menyapihnya itu selama tiga puluh bulan."(Q.S. Al-Ahqaf ayat 45)
"Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun."(Q.S. Luqman ayat 14)
Dari penggabungan dua ayat ini, diperoleh kesimpulan: 30 bulan (mengandung dan menyusui) dikurangi 24 bulan (menyusui) = 6 bulan (masa minimal kehamilan). Contoh ini menunjukkan metode istinbat yang khas dalam tafsir fiqhi, yakni menggali hukum dengan mengaitkan beberapa ayat sekaligus.
Contoh lain adalah perbedaan pemahaman terhadap kata quru' dalam (QS. Al-Baqarah ayat 228) tentang masa iddah perempuan yang dicerai. Sebagian ulama memaknainya sebagai masa suci (Syafi'i), sementara yang lain memaknainya sebagai masa haid (Hanafi). Dari satu kata ini saja, lahir dua hukum yang berbeda dalam pelaksanaan iddah.