Mohon tunggu...
Zulfa Khoirunnisa
Zulfa Khoirunnisa Mohon Tunggu... Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Pamulang

Halo teman-teman!! Saya Zulfa Khoirunnisa, seorang kompasianer yang hobi membaca dan menulis. Disini saya berbagi pengetahuan dan ide yang menarik. Yuk berdiskusi bersama😉

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Fenomena Self Diagnosis Kesehatan Mental Remaja: Ketika Media Sosial Menjadi "Psikolog Virtual"

28 Juni 2025   20:16 Diperbarui: 28 Juni 2025   20:16 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Kesadaran akan pentingnya kesehatan mental di kalangan remaja mengalami peningkatan signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Media sosial seperti TikTok, Instagram, dan YouTube menjadi ruang populer bagi remaja untuk belajar tentang gejala-gejala psikologis seperti depresi, kecemasan, ADHD, hingga bipolar. Fenomena ini mencerminkan kemajuan karena topik yang dahulu dianggap tabu kini mulai terbuka dibahas. Namun, seiring dengan meningkatnya akses informasi, muncul pula gejala baru yang cukup memprihatinkan: kecenderungan remaja melakukan self-diagnosis. Mereka menganggap diri mengalami gangguan mental hanya berdasarkan konten digital tanpa melalui penilaian dari tenaga ahli. Padahal, tindakan ini tidak hanya salah secara metode, tetapi juga dapat menimbulkan dampak negatif terhadap kondisi mental seseorang.

Kebiasaan ini kerap diawali oleh niat baik: keinginan untuk mengenali diri sendiri. Ketika seorang remaja merasa lelah berkepanjangan, kehilangan motivasi, atau mengalami kecemasan terus-menerus, mereka mencari jawaban melalui internet. Mereka pun menemukan artikel atau video yang menjelaskan ciri-ciri depresi atau gangguan cemas dan merasa bahwa deskripsi tersebut sesuai dengan apa yang mereka alami.
Sayangnya, kesesuaian itu sering kali bersifat dangkal. Gangguan mental tidak bisa ditegakkan hanya dengan mencocokkan dua atau tiga gejala. Gejala seperti mudah terdistraksi misalnya, bisa disebabkan oleh kebiasaan multitasking, kurang tidur, atau stres, bukan semata-mata ADHD.
Tanpa pemeriksaan oleh profesional, self-diagnosis justru membuka dua kemungkinan berbahaya: over-diagnosis, yaitu meyakini memiliki gangguan yang sebenarnya tidak ada, dan under-diagnosis, yakni mengabaikan kebutuhan akan pertolongan padahal kondisinya serius.

Keberadaan media sosial turut memperkuat pola ini melalui algoritma yang menyajikan konten serupa secara terus-menerus. Ketika seseorang menonton video seputar PTSD, mereka akan terus diberikan video terkait lainnya. Proses ini mempercepat terbentuknya keyakinan bahwa mereka benar-benar mengalami kondisi tersebut. Beberapa konten bahkan menyajikan daftar gejala seperti "5 tanda kamu memiliki trauma masa kecil" atau "ciri-ciri kamu bipolar" tanpa dukungan keilmuan. Akibatnya, alih-alih menjadi sarana edukatif, konten seperti ini justru memicu pemahaman yang keliru.

Naslund et al. (2020) menunjukkan bahwa media sosial, meskipun membuka ruang untuk diskusi kesehatan mental, juga meningkatkan risiko salah interpretasi karena kontennya sering kali bersifat dramatis dan tidak akurat secara medis. Budaya self-diagnosis juga menjadi bagian dari identitas sosial digital remaja.
Dalam beberapa kasus, label gangguan mental justru digunakan untuk mencari validasi, perhatian, atau bahkan pembenaran terhadap perilaku yang tidak produktif. Ini berbahaya, karena mengaburkan makna gangguan psikologis dan mengganggu upaya penanganan serius bagi mereka yang benar-benar membutuhkan bantuan. Remaja yang yakin dengan diagnosa mandiri bahkan bisa menolak konsultasi dengan psikolog, karena merasa telah cukup "mengerti" dirinya.

Meski demikian, menyalahkan remaja secara sepihak bukanlah solusi. Mereka tumbuh di tengah ekosistem digital yang menawarkan informasi luas, namun minim panduan. Layanan konseling di sekolah masih terbatas, biaya psikolog cukup tinggi, dan pembicaraan tentang kesehatan mental dalam keluarga masih sering dianggap tabu. Oleh sebab itu, media sosial menjadi tempat "curhat" sekaligus "ruang diagnosa" bagi sebagian besar remaja. Situasi ini menandakan perlunya perubahan sistem secara menyeluruh, mulai dari peningkatan literasi psikologi dan digital di sekolah, ketersediaan konselor yang kompeten, hingga kampanye publik yang menghapus stigma terhadap konsultasi psikologis. Hughes et al. (2022) menulis bahwa "peningkatan konsumsi konten kesehatan mental di media sosial berkorelasi dengan meningkatnya self-diagnosis yang keliru pada remaja."

Pada akhirnya, tren self-diagnosis di kalangan remaja mengungkap kebutuhan mendesak akan peningkatan literasi kesehatan mental dan penyediaan dukungan psikososial yang layak. Kita harus menciptakan ruang yang aman, ramah, dan inklusif untuk membicarakan perasaan, gangguan psikologis, serta proses penyembuhannya. Jangan biarkan media sosial menjadi satu-satunya tempat remaja mencari makna atas perasaan mereka. Kesehatan mental bukan sekadar label atau tren digital---ia adalah bagian penting dari kesejahteraan yang memerlukan penanganan tepat. Remaja bukan generasi yang rapuh, melainkan generasi yang sedang mencari arah. Maka, tugas kita bersama adalah membimbing mereka agar tidak tersesat dalam arus informasi yang tak selalu bisa dipercaya.

Daftar Pusaka:
*Naslund, J. A., Marsch, L. A., McHugo, G. J., & Bartels, S. J. (2020). Emerging digital trends and their implications for mental health care. Psychiatric Services, 71(6), 604--606. https://doi.org/10.1176/appi.ps.201900427
*Hughes, R., Rees, C. S., & Wallace, L. (2022). The Influence of Social Media on Self-Diagnosis of Mental Health Conditions among Adolescents. Journal of Adolescent Health, 70(3), 389-397.
*Naslund, J. A., Aschbrenner, K. A., Marsch, L. A., & Bartels, S. J. (2020). The Role of Social Media in Mental Health: Opportunities and Challenges for Diagnosis and Support. Journal of Mental Health, 29(2), 121--128.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun