Mohon tunggu...
Zuhra
Zuhra Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswa asal Aceh, yang sedang meneruskan jenjang perkuliahan di IAIN Lhokseumawe dengan jurusan Tadris Bahasa Indonesia,

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pecundang Miskin

29 Maret 2025   20:22 Diperbarui: 29 Maret 2025   20:22 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Uap membumbung dari seduhan kopi panas di warung Mak Bude. Orang-orang datang dan pergi silih berganti. Ada pegawai kantor camat, tukang becak, tukag galon, anak-anak sekolah yang sedang bolos, dan masih banyak lagi. Namun, dari banyaknya orang yang duduk menikmati secangkir kopi disitu, ada seorang pria yang berusia sekitar 30 tahunan. Tampilannya sangat kumal dan tak terurus. Ia sudah duduk di situ sedari pagi. Ia hadir paling awal di tiap hari layaknya absensi pegawai negeri dan pulang paling akhir seperti pekerja kantoran habis lembur, bisa jadi ia tak pulang jika warung kopi itu belum tutup. Jamilah, selaku karyawan di sana bahkan mengaku, "Pria itu bisa duduk di situ hingga berjam-jam sambil menyebat rokok. Namun, ia hanya memesan kopi pancong yang harganya paling murah. Dasar pengangguran." Ironisnya, walaupun sering ditegur untuk segera mencari kerja, pria yang akrab disapa Ucok itu seperti tak menggubrisnya, ntah apa yang menyumbat telinganya hingga ia kebal terhadap rasa malu atas perkataan yang sering diilontarkan orang-orang padanya.

Namun, berbeda dengan hari biasanya. Hari ini, ada pengunjung warung kopi yang mengakibatkan kegetiran di hati Ucok. Pengunjung tersebut datang menggunakan sepatu boots dengan seragam proyek yang tampak sangat mencolok di antara pelanggan lain. Seraya tersenyum ia memesan secangkir kopi susu. Ia terlihat kebingungan mencari tempat duduk kosong, matanya melirik ke arah Ucok. Dengan tatapan terkejut ia menghampiri Ucok seraya menyapa "Ucok kan? Ini aku Hamzah teman SMP mu." Dengan tatapan heran Ucok menjawab, "Hamzah? Wah, sahabatku sudah sukses aja sekarang, seingatku dulu kau hanya seorang bocah miskin anak penjual tahu." Sambil tertawa Hamzah membalas, "Hahaha, masih ingat saja kau ini." "Aku masih tak menyangka anak penjual tahu sepertimu bisa sukses begini,bagaimana bisa? Kau pakai pesugihan? kawin lari dengan anak konglomerat? atau apa?" tanya Ucok dengan spontan. "Ah kau ini ada-ada saja. Aku hanya beruntung sewaktu lulus SMP, aku mendapat beasiswa pendidikan karena prestasiku dulu dan beruntungnya lagi, aku juga berhasil mendapat beasiswa untuk melanjutkan kuliah ke luar kota" jelasnya. "Wah, beruntung sekali kau ya, tak seperti aku yang kini menjadi pengangguran penikmat kopi saja" keluh Ucok. Dengan penuh keheranan Hamzah bertanya, "Emangnya, apa yang telah terjadi padamu saat kita lulus SMP?"...

Di masa SMPnya, Ucok dikenal sebagai anak yang nakal, ia sering bolos dan tak pernah mengerjakan tugas dengan baik. Setelah lulus SMP, ia tak dapat meneruskan pendidikannya ke bangku SMA. Oleh karena itu, dia sering menghabiskan waktunya untuk menyabung ayam atau bermain judi. Ada beberapa orang yang sudah menawarkan pekerjaan padanya, mulai dari tawaran menjadi kuli bangunan, penggali kubur, menjaga kambing, hingga juru parkir. Namun, ia menolak semua tawaran itu dengan alasan, "Pekerjaan itu tidak pantas untukku, aku tak sudi." Ia seperti tak berkaca dengan minimnya keahlian yang dimilikinya. Tabiat itu berkesinambungan hingga saat ini.

Setelah mendengar cerita tersebut, Hamzah hanya bisa tercengang. Baru kali ini ia melihat manusia dengan sifat malas yang begitu tinggi. Karena rasa penasarannya semakin besar, Hamzah lanjut bertanya, "Lantas, apakah saat ini kau sudah memiliki pasangan?" Ucok menatap tajam kearah Hamzah, "Belum" jawabnya singkat sembari menyeruput kopinya yang sudah mulai dingin. Karena merasa tidak enak, Hamzah pun meminta maaf atas pertanyaannya itu, "Maaf, aku tidak bermaksud menyinggungmu." Ucok pun berkata dengan nada pelan, "Sebenarnya, aku sempat ingin meminang anak lurah dari kampung sebelah. Aku datang dengan membawa bingkisan berisi buah salak yang dibeli oleh ibuku. Sesampainya di rumah pujaan hatiku itu, aku dihadapkan pada kenyataan bahwa mahar yang diminta mereka padaku sangat tinggi. Karena kesal, aku memaki keluarga mereka dan kau tahu? aku pun diusir dari sana." "Serius kah? Berapa mahar yang diminta lurah itu kepadamu? 200 juta? 300 juta? 1 M?" Tanyanya lagi. "300 ribu" jawabnya. Hamzah lansung melongo dibuatnya. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun