Mohon tunggu...
Zuhdi Saragih
Zuhdi Saragih Mohon Tunggu... Dosen - Praktisi dan Akademisi Komunikasi

PR Advisor | Lecturer | Communications Expert | zuhdi_saragih@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Menggadaikan Marwah Kekuasaan

2 November 2020   13:23 Diperbarui: 2 November 2020   13:40 481
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi buruh. Sumber: lampost.co

Pasang surut Hubungan Industrial antara buruh, pengusaha dan pemerintah seperti tak ada sudahnya. Masing-masing pihak mengklaim kebenaran, informasi simpang siur  menggelinding seperti bola liar tak tentu arah. 

Bola itu kini disebut sebagai UU Cipta Kerja yang kelahirannya dianggap prematur. Konflik perburuhan sudah terjadi sejak beratus tahun silam. Induk persoalannya itu ke itu saja, klasik -- buruh diperlakukan semena mena  oleh penguasa.

Karl Marx. Sumber: kompas.com
Karl Marx. Sumber: kompas.com
Adalah Karl Marx seorang filsuf asal Jerman (1881-1883) dikenal sebagai salah satu tokoh pemikir terbesar di dunia yang banyak mengkritisi perlakukan  yang dilakukan kaum kapitalis. 

Buruh disebut dalam masyarakat kapitalis sebagai kelas bawah dan pemilik modal serta tuan tanah disebut sebagai kelas atas. Disebut demikian karena menguasai alat dan proses produksi. Pertentangan buruh versus pemilik modal  menimbulkan konflik berkepanjangan. Paradigma upah, nilai lebih produksi dan seterusnya dibuat rumit sulit dipahami buruh. 

Pemilik modal umumnya bersifat konservatif, sebaliknya buruh progresif revolusioner. Menurut Marx negara adalah alat kekuasaan kelas penguasa, dimana dalam perspektif ini kelas buruh sering menjadi korban kebijakan negara yang umumnya ditentukan atas pengaruh kelas atas. Pada jaman ini negara menjadi sebagai sebuah ideologi yang menanamkan kesadaran palsu. Ini gambaran dan sejarah tentang pergolakan buruh di masa itu.

Penolakan besar-besaran UU Cipta Kerja oleh berbagai pihak terutama pekerja, merupakan noise dari sebuah rantai besar persoalan komunikasi yang diwalnya mungkin   tidak di desain dengan baik. Seoalah tak jera dengan akibat yang ditimbulkan, baru tahun lalu unjuk rasa besar-besaran terjadi dengan tajuk #ReformasiDikorupsi. 

Sama halnya unjuk rasa yang terjadi saat ini, ribuan rakyat dan mahasiswa turun ke jalan menentang Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) yang baru dan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang hendak disahkan pemerintah-DPR di rapat paripurna pada September 2019. 

Kedua aturan itu dianggap hanya menguntungkan kelompok elite. Kini masalah yang sama terulang ketika Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja disepakati Pemerintah dan DPR dan menuai unjuk rasa dari kaum pekerja dan mahasiswa.

Bila kita ingat sejarah, bahwa apa yang terjadi pada bangsa kita akhir-akhir ini adalah sebuah fenomena copy paste seperti terjadi di masa lampau. Bingkainya melekat  pada dua dimensi hitam putih, baik buruk. 

Sejarah pada jaman nabi-nabi misalnya,  ada Fir'aun versus Nabi Musa, kemudian Namrud versus Nabi Ibrahim. Semua peristiwanya terjadi dalam konteks yang sama - konflik Tauhid Uluhiyah. Contoh lain runtuhnya Rana Plaza di Bangladesh akibat abainya pemilik perusahaan terhadap keselamatan buruh. Diyakini sebelum keruntuhan itu tidak terlepas dari persoalan komunikasi.

Lalu pelajaran apa sesungguhnya yang dapat kita ambil dari sejarah itu?

Komunikasi dan UU Cipta Kerja

Sulit mempercayai kalau pekerjaan besar sekelas pembuatan UU Cipta Kerja tidak dirancang dengan program komunikasi. Para pesona yang duduk di kursi Senayan itu bukan orang yang nemu ditepian jalan. Mereka dipilih dengan satu niat suci untuk dapat memperjuangkan nasib bangsa ini  melalui produk legislasinya. Tapi itulah kenyataannya, entah iya dan tidak pembahasan RUU Cipta Kerja ini terkesan tertutup dan tidak melibatkan publik, padahal jelas-jelas peraturan ini akan berdampak bagi masyarakat. 

Gelombang penolakan yang cenderung masif itu adalah gambaran bahwa telah terjadi sumbatan komunikasi dalam proses pembuatan UU Ciptaker tersebut. Publik khususnya pekerja harus tau sebagai pihak yang banyak dibicarakan  di UU Sapujagat itu. 

Bagi banyak orang, menyebut Omnibus Law pun terasa masih asing di ujung lidah, kononkah pula  memahaminya? Oleh sebab itu perlu tahapan dan staging untuk mengkomunikasikannya dalam satu Cetak Biru Komunikasi dengan asas keterbukaan (disclosure) dan bisa diukur. 

Mengingat khalayak sasarnya berada dalam demografis dan psykografis yang berbeda, dibutuhkan strategi dan taktik agar pesan tersebut sampai. Agenda besar ini tidak mudah - dibutuhkan waktu yang cukup karena perlu disampaikan secara berulang-ulang. Pada scene-scene selanjutnya jendela informasi dapat diproduksi melalui public hearing lewat pemanfaatan sarana teknologi komunikasi yang ada pada pemerintah. Semua tatanan ini dibuka seluas luasnya untuk masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya. Tujuan sekundernya sebagai bentuk layanan penguasa pada rakyatnya.

Kita dapat belajar  dari teori Public Sphere Jurgen Hubermas (filsuf Jerman (1929) bahwa ruang publik sebagai konsep politik harus ditata sedemikian rupa sehingga merealisasikan kepentingan setiap orang untuk terlibat dengan seluruh kekhasannya. 

Ruang Publik juga sebagai sebuah konsep politik harus mengusahakan komunikasi yang mampu menjembatani norma moral yang konkrit yang berlaku bagi setiap orang/kelompok. Konsep dan teori kritis ini sebenarnya sudah sejalan dengan aturan dan Tata Tertib DPR, baik pelaksanaan Rapat Dengar Pendapat (RDP/Umum),  maupun dalam sidang-sidang lainnya. 

Mekanisme itu harus dijalankan sebagai esensi dari konsep ruang publik dimana publik diberi 'kebebasan' untuk mengikuti dan pada saatnya dapat memberikan masukan dan atau aspiranya. Kalau kemudian terjadi  pelaksanaan diluar dari prosedur dengan dalih yang direkayasa, maka seyogyanya tidak menjadi penyebab terputusnya rantai komunikasi. Ini yang terjadi saat ini.

Menjaga Marwah

Penguasa  dalam menjalankan Tupoksinya selalu dihadapkan pada suguhan  kepantasan yang menguji moral. Sampai disini tak jarang menjadi statusquo, bertaruh di antara kepentingan kekuasaan  atau kepentingan rakyat. UU Cipta Kerja adalah pemicu yang menyibak sesuatu yang tersembunyi selama ini. 

Bagi penguasa reaksi penolakan publik, barangkali menjadi pilihan sulit atau malah tidak sama sekali. Nampaknya ada fenomena penguasa mulai belajar menggunakan konsep post-truth atau pasca-kebenaran yang dalam kamus Oxford, makna post-truth adalah dikaburkannya publik dari fakta-fakta objektif.

Kemelut UU Cipta Kerja menjadi bertambah kusut, ketika sadar  bahwa  kita sedang dihadapkan ancaman Covid-19 yang  tak tau kapan akhirnya. Kalau saja mampu menakar setiap persoalan yang berpotensi menjadi konflik dengan timbangan hati, mungkin  persoalannya akan menjadi lain. Ironi entah disadari atau tidak bahwa reaksi  kegaduhan masyarakat dalam bentuk turun ke jalan, sudah dipastikan sulit untuk menjaga Protokol Kesehatan.

Peristiwa unjuk rasa penolakan Undang-Undang sebagai produk kerja DPR bersama  Pemerintah,  bukan kali pertama terjadi. Hal ini memberikan multifier effect yang serius salah satunya adalah terusik dan lunturnya sebuah Marwah Kekuasaan...

Oleh: Zuhdi Saragih - Dosen FISIP Universitas Nasional Jakarta

Zuhdi Saragih-dokpri
Zuhdi Saragih-dokpri

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun