Mohon tunggu...
Zofrano Sultani
Zofrano Sultani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Historian, Researcher, Research Consultant, and Social Observer

Follow my Instagram: zofranovanova94. The researcher has an interest in the fields of East Asian History, South Asian History, the History of International Relations. and International Political Economy. He is an alumnus Bachelor of Arts in History degree currently pursuing a postgraduate in the field of socio-politics with a hobby of reading books, watching movies, listening to music, and foodies. Education level has taken: Private Kindergarten of Yasporbi II Jakarta (1998-1999), Private Elementary School of Yasporbi III Jakarta (2000-2006), Public Junior High School 41 Jakarta (2006-2009), Private Senior High School of Suluh Jakarta (2009-2012), and Department of History, Faculty of Social Sciences, State University of Malang (2012-2019). He has the full name Zofrano Ibrahimsyah Magribi Sultani.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Memantapkan Ke-Asia-an Peserta Drag Queen Asian-American dalam Acara Kompetisi RuPaul's Drag Race (2009-2020) Part 1

7 Desember 2020   23:48 Diperbarui: 31 Desember 2020   09:58 648
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seperti yang diharapkan dalam masyarakat heteronormatif, hambatan secara historis ditantang oleh sikap homofobik dan seksis kepada kelompok minoritas seksual ini dalam sejarah sosial Amerika. Beberapa undang-undang, seperti Statuta 780 New York dari KUHP dan Pasal 888 poin 7 dari KUHAP, baik secara implisit maupun langsung melarang pertunjukan drag atau dressing in drag, bahkan hingga tahun 1960an (Senelick,2000:378-379). Pelecehan dan penggerebekan oleh polisi terhadap tempat-tempat gay hingga tahun 1960-an adalah hal biasa, dan klub gay serta waria segera mengembangkan sistem peringatan untuk melindungi diri mereka sendiri. Klub gay juga sering dipaksa untuk memberlakukan pajak kabaret dan minuman keras yang lebih berat, serta pembayaran di bawah meja lainnya (Senelick,2000:384). Namun seiring berjalannya waktu, Amerika Serikat pasca 1960an diizinkan kepada drag queen atau dressing in drag dalam sebuah acara pertujukan di televisi maupun film. Dengan demikian, sangat penting bagi menonjolkan gaya tarik untuk menekankan elemen pertunjukan dan penampilan, dan dalam banyak kasus para pemain telah mengasah keterampilan mereka di bidang bisnis pertunjukan lain, biasanya karnaval, vaudeville, atau burlesque (Senelick,2000:380). Mereka melakukan penampilan di dalam pertunjukan keterampilannya dengan menggunakan lip sync. Skill ini menyebabkan popularitas sinkronisasi bibir dalam kinerja drag mengalami perkembangan dari semula sebuah pertunjukan mengalami peningkatan biaya dan hilangnya pelanggan secara bertahap memaksa klub untuk melepaskan musisi live yang mahal dan menggantinya dengan musik kaleng (canned music) (Senelick,2000:384).

Perkembangan sinkronisasi bibir semakin mempopulerkan penggunaan diva wanita populer sebagai subjek untuk diparodikan atau disindir bagi musik live. Pada acara RPDR yang berlangsung sejak 2009, peserta terbagi menjadi 2 kategori skill yaitu comedian queen and glamour queen. Ratu komedi kemudian menjadi antitesis dari ratu glamour sedangkan ratu glamour biasanya memprioritaskan penampilan cantik atau parasnya yang beautiful, sebagai contoh Plastique Tiara (lihat gambar 1). Sementara itu, ratu komedi malah memprioritaskan humor dan pengaruh, seperti Jujubee dan Manila Luzon. Meskipun begitu, 2 kategori ini saling mengaburkan pemaknaan dan batas-batas pada peserta RPDR. 

Gambar 1. Plastique Tiara sebagai kontestan drag queen Asia-Amerika termuda pada RuPaul's Drag Race (RPDR) Season 11
Gambar 1. Plastique Tiara sebagai kontestan drag queen Asia-Amerika termuda pada RuPaul's Drag Race (RPDR) Season 11

Dengan demikian, perkembangan drag queen di Amerika Serikat tidak hanya dibentuk oleh sikap homofobik terhadap laki-laki gay, tetapi juga oleh cara laki-laki gay menavigasi pengalaman mereka yang distigmatisasi melalui penampilan dalam hal tata busana dan tata rias. Tampil secara "elegan" memungkinkan laki-laki gay untuk mengelola stigma mereka dengan memberlakukan cara-cara alternatif kinerja gender dari arus utama sistem sosial masyarakat yang heteroseksual. Dengan merangkul atau memparodikan kecantikan feminin, mereka mendapatkan pelarian yang fantastis dari pengalaman hidup mereka sebagai minoritas seksual seperti drag queen. Pembentukan objek dan praktik budaya hibrida yang dihasilkan oleh sejarah yang tidak merata dan hubungan kekuasaan tidak sintetis dan berbagai cara di mana subjek-subjek individu yang berada dalam hubungan sosial ditentukan oleh beberapa sumbu kekuasaan yang berbeda seperti immigrant act terutama menghadapi arus utama budaya Amerika (Lowe,1999:67). Peserta/kontestan dari Asia-Amerika di RPDR melakukan asimilasi praktek Asia atau imigran ke bentuk dominan seperti berdandan a la orang Eropa nan cantik tetapi masih bisa berbahasa ibu dan beraksen Inggris Amerika-Asia. Oleh Lisa Lowe (1999:68) justru itu menandai sejarah kelangsungan hidup dalam hubungan kekuasaan dominasi yang tidak setara dengan memaksakan asimilasi praktek Asia oleh keturunan Asia-Amerika di dalam arus utama budaya Amerika yang kentara dengan maskulinitas dan elegan di dalam penampilan.

Shimakawa (2002:3) menegaskan bahwa ke-Amerika-an Asia itu sendiri adalah keadaan yang hina, karena itu mengungkapkan kerapuhan batas-batas imajiner bangsa Amerika diproduksi memerlukan 'produksi simultan' dari hina Amerika Asia (baik subjek maupun objek), yang Asianness. Sementara banyak waria Asia-Amerika pasti terlibat dengan narasi mayoritas tentang badan-badan Asia dalam imajinasi Amerika yang serba aesthetics dan serba putih. Hal itu menyebabkan peserta drag Asia-Amerika merasa insecure dan anxious jika kulit mereka berubah menggelap/menghitam atau kulit berwarna.

MEMANTAPKAN KEASIAAN PESERTA DRAG QUEEN ASIA-AMERIKA 

Peserta RPDRI dari Asia-Amerika semenjak adanya persilangan antara warnaisme dan ras dari kekuasaan dominasi budaya Amerika,  kemudian dalam acara itu berusaha menampilkan different selain identitas seksualnya juga berusaha different dari peserta lain untuk tampil “eksotis” yang dilekatkan terutama pada peserta drag queen Asia-Amerika. Menurut Ouellette (2013) panggung yang disiarkan televisi untuk belajar bekerja di bidang yang menuntut tingkat tinggi "yang harus dilihat", performativitas, fleksibilitas, dan usaha mandiri dari calonnya. Entah itu disadari apa tidak, RuPaul's Drag Race mengeksploitasi tenaga kerja pria kulit berwarna yang seringkali berpenghasilan rendah dengan tantangan terakhir di setiap musim adalah tampil dalam video musik untuk mempromosikan single terbaru RuPaul sambil menjanjikan kepada mereka bahwa mereka, bukan RuPaul, adalah 'penerima manfaat utama' dari kerja keras mereka pada acara tersebut. "Mereka terkenal" karena penggunaan penempatan produk yang tampaknya menyindir diri mereka sendiri. Kapan pun nama sponsor, atau setiap kali RuPaul mencolokkan salah satu produknya sendiri, kamera akan memperbesar tampilan RuPaul saat dia mengulangi nama sponsor atau produk dengan kedipan mata dan efek suara 'ding!'. Bagaimanapun, RuPaul perlu mempromosikan sponsor dan produknya sendiri, meskipun dia melakukannya dengan cara yang mengolok-olok penempatan produk di televisi arus utama. 

Peserta bukan menjual produk yang sebenarnya, mereka belajar bagaimana merek dan mengiklankan diri mereka sendiri sebagai produk. RPDR untuk mengubah kerja eksploitatif ini menjadi modal budaya dan ekonomi mereka sendiri. Peserta dari Asia-Amerika berusaha mengesampingkan penggunaan stereotip Asia ke dalam rutinitasnya, menggarisbawahi tubuh rasial di atas panggung. Pengalaman pria gay Asia-Amerika sering kali sarat dengan makna yang bersinggungan dengan gender dan rasial. Pria Asia, setidaknya dalam imajinasi Barat, dianggap kurang 'maskulin' dan dengan demikian lebih 'feminin' daripada pria kulit putih. Dalam hal ini, warna kulit terang identik dengan mereka yang berstatus sosial tinggi atau berasal dari lapisan kelas sosial atas. Sementara itu, mereka yang berasal dari kelas sosial yang lebih rendah, seperti kelas pekerja, tidak identik dengan warna kulit terang (Saraswati,2019:85). Kekuasaan dominasi tersebut yang merasa dirugikan bagi pria Asia untuk disamakan dengan homoseksualitas, dan pria gay Asia, yang terpinggirkan ganda karena pertama, dalam komunitas Amerika-Asia arus utama karena menjadi gay dan kedua, dalam komunitas gay karena menjadi orang Asia (Han,2015:219).

Sebagai contoh pada Raja, seorang drag queen yang memenangi RPDR Musim (season) 3 dengan runnerup Manila Luzon yang merepresentasikan Filipino culture. Raja Gemini/Raja kurang fokus pada komedi dan kepribadian yang lebih besar dari kehidupan, tetapi pada saat yang sama tidak menginginkan keanehan yang dianut banyak waria lainnya. Sebaliknya, gayanya dipuji karena sifatnya yang konseptual, humble, dan seringkali androgini (Zhang,2016:69). Ia menyampaikan pesan patriotik yang memproklamasikan kebanggaan Amerika meskipun memiliki darah dan keturunan dari Asia, Raja menyatakan: "Saya Raja, dan saya bangga menjadi orang Amerika. Tumbuh di Indonesia, orang tua saya mengajari saya bahwa saya bisa menjadi apa pun yang saya inginkan. Amerika, di mana putra imigran dapat memakai kebebasannya dengan bangga" (Murray,2011a). Raja pun menjadi trendsetter bagi dunia fesyen (fashion) Amerika Serikat yang memberi ruang kepada minoritas seksual, LGBT dalam mengekspresikan diri melalui seni (art), bakat, dan aspek sosial-humaniora meski bukan merupakan keturunan Eropa-Amerika yang berkulit putih.

Retorika imigran dan kebanggaan ini berbicara kepada selera global Raja tentang gaya yaitu perpaduan yang terjadi antara menjadi orang Amerika, menjadi global, dan bebas mengenakan apa pun yang diinginkan terlepas dari kesesuaian berpakaian dengan topi perang pribumi Amerika (Indian) untuk tantangan patriotik Amerika yang secara antropologis diekspresikan oleh mereka sendiri peserta drag queen Asia-Amerika. Secara psikologis juga dialami oleh Gia Gunn saat menggunakan kabuki dari Jepang. Meskipun pengalaman awal dengan cross-dressing teatrikal telah membantu membentuk gaya tarik yang Gia lakukan sekarang dengan kadang-kadang memasukkan kostum kabuki dan tarian ke dalam pertunjukan live (lihat gambar 2), Gia dengan cepat membedakan antara kabuki dan drag per se. Gia berusaha menjembatani diferensiasi budaya di mana di Jepang, teater kabuki semuanya laki-laki tidak akan, suka, terselip dan memakai payudara. Gia Gunn (dalam Murray,2014) mengatakan apa yang dia tampilkan saat performance menunjukkan bahwa "dalam budaya saya (Jepang), ini bukan hal gay, jadi bahkan pria straight pun melakukannya. Ini adalah seni". 

Gambar 2. Gia Gunn sebagai drag queen Asia-Amerika pada RuPaul's Drag Race (RPDR) Season 6.
Gambar 2. Gia Gunn sebagai drag queen Asia-Amerika pada RuPaul's Drag Race (RPDR) Season 6.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun