Mohon tunggu...
Zofrano Sultani
Zofrano Sultani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Historian, Researcher, Research Consultant, and Social Observer

Follow my Instagram: zofranovanova94. The researcher has an interest in the fields of East Asian History, South Asian History, the History of International Relations. and International Political Economy. He is an alumnus Bachelor of Arts in History degree currently pursuing a postgraduate in the field of socio-politics with a hobby of reading books, watching movies, listening to music, and foodies. Education level has taken: Private Kindergarten of Yasporbi II Jakarta (1998-1999), Private Elementary School of Yasporbi III Jakarta (2000-2006), Public Junior High School 41 Jakarta (2006-2009), Private Senior High School of Suluh Jakarta (2009-2012), and Department of History, Faculty of Social Sciences, State University of Malang (2012-2019). He has the full name Zofrano Ibrahimsyah Magribi Sultani.

Selanjutnya

Tutup

Money

Populisme Ekonomi Nasional Donald Trump sebagai Strategi Politik Ekonomi Domestik "American First" Menghadapi Cina (2016-2020)

6 Desember 2020   15:30 Diperbarui: 5 Februari 2021   01:56 412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Trump vs Obama on US Economic Policies. | theba;ances.com

Pada awal masa jabatannya, Bush menghadapi persoalan ekonomi di mana negara itu sedang mengalami defisit hingga mencapai US$ 220 miliar di awal 1990an, lebih besar dari tahun 1980 meningkat tiga kali lebih besar. Hal ini disebabkan karena pemupukan militer yang dilakukan oleh pemerintahan Reagan. Bush senior percaya bahwa satu-satunya cara untuk menurunkan defisit adalah dengan memotong pengeluaran pemerintah sedangkan oposisi Demokrat di Kongres yakin bahwa cara lain adalah dengan menaikan pajak. Hal ini membawa kekecewaan bagi anggota Partai Republik dan masyarakat AS yang merasa dikhianati oleh George H.W. Bush selama janji kampanyenya yang menyebabkan penurunan popularitas. Mencari dukungan pemilih pada pemilihan kemudian (1992), Bush disalahkan atas ekonomi yang tersendat-sendat, yang jatuh ke dalam resesi pada tahun 1991, ketika Uni Soviet bubar di bawah kepemimpinan Mikhail Gorbachev. Pada tahun 1992, tingkat bunga dan inflasi berada di tingkat terendah selama beberapa tahun namun penangguran meningkat menjadi 7,8%, tertinggi sejak tahun 1984. US Cencus Bureau melaporkan bahwa pada bulan September 1992, 14% orang Amerika hidup dalam kemiskinan. Pengangguran mencapai 7,5% pada tahun 1992, level tertinggi dalam 10 tahun Partai Republik berkuasa.

Berkaca dari sejarah ekonomi Amerika Serikat di era Ronald Wilson Reagan dan George Herbert Walker Bush, Donald John Trump melakukan gebrakan dengan pengurangan dan penurunan pajak yang berbeda dari masa kepemimpinan Barack Obama. Sementara kondisi ekonomi telah menurun selama hampir tiga dekade bagi para pemilih AS, Resesi Hebat (Great Recession) menghantam mereka dengan sangat keras. Laki-laki AS kehilangan pekerjaan pada tingkat yang lebih tinggi daripada perempuan selama periode Obama, dengan pengangguran laki-laki meningkat 120% dibandingkan dengan 84% untuk perempuan, menurut Urban Institute.  Mereka yang berpendidikan paling rendah paling menderita, meskipun tingkat pengangguran lulusan perguruan tinggi selama masa resesi hanya 5%, 11% untuk lulusan sekolah menengah atas (SMA) dan 15,6% untuk orang-orang yang tidak memiliki ijazah sekolah menengah. Partai Republik tahu kebijakan ekonomi politik Obama telah menimbulkan masalah, tetapi mereka salah mendiagnosisnya bahwa anyak pemilih yang condong ke Republikan adalah bagian dari 47%, menerima dan mengandalkan pengeluaran pemerintah seperti tunjangan pengangguran dan Medicare. Ternyata masalah-masalah tersebut terakumulasi di Pemilu 2016. 

Trump kemudian merestrukturisasi kebijakan nasional terutama ekonomi politik domestik Amerika Serikat melalui pencabutan Obama Care dan perpajakan. Terjadi ketidaksetaraan meningkat dari 2016 hingga 2021, sebagian karena pemotongan pajak Trump, dengan bagian pendapatan yang diterima oleh 1% teratas naik dan kelompok lain turun, dan pemotongan pajak yang lebih besar dalam persentase untuk kelompok berpenghasilan lebih tinggi dibandingkan dengan yang lebih rendah. Aimee Picchi menulis laman di CBS News.com. dengan judul "Hundreds of companies saw tax rate plunge to 11.3% under Trump tax reform" tanggal 17 Desember 2019 melaporkan sebuah studi yang menunjukkan tarif pajak perusahaan Fortune 500 yang efektif pada tahun 2018 adalah tarif terendah dalam 40 tahun, sebesar 11,3%, dibandingkan rata-rata 21,2% untuk periode 2008-2020. 

Strategi Trump itu untuk "America First" mencakup proteksionisme, yang dia terapkan melalui tarif impor pada 2018-2019. Studi oleh CBO dan The Federal Reserve (dalam Politifact.com, 2019 "Who pays for US tariffs on Chinese goods? You do". May 14, 2019) memperkirakan bahwa tarif yang diterapkan dan terancam Trump akan dibayar oleh orang Amerika (bukan Cina, Uni Eropa, Korea Selatan, Jepang atau negara lain), seperti yang sering ditegaskan oleh Trump saat menjabat. Trump memang berkampanye sebagai populis, namun banyak dari agenda ekonomi pasca-pemilihannya konsisten dengan kebijakan ekonomi sayap kanan yang didukung The Fed/The Federal Reserve.

The Fed mendukung Presiden Trump bahwa stimulus kebijakan fiskal dalam perekonomian yang sudah mendekati lapangan kerja penuh dan tumbuh mendekati kecepatan maksimum berkelanjutan sekitar 2%, dapat diatasi dengan pengetatan kebijakan moneter (misalnya menaikkan suku bunga) untuk mengimbangi resiko inflasi. Namun, setelah menaikkan suku bunga hingga 2018, pada tahun 2019 The Fed menurunkan suku bunga beberapa kali sesuai masalah terkait perlambatan ekonomi global dan kebijakan perdagangan antimultilateral dan proteksionisme Trump. Presiden Trump sering mengkritik The Fed karena menaikkan suku bunga selama masa jabatannya, meskipun ia juga mengkritik The Fed karena mempertahankan suku bunga rendah selama pemerintahan Presiden Obama. Ada paradoksal pada kebijakan nasional populisme ekonomi domestik Trump tersebut.

Steven Rattner menulis "Opinion-Trump's Economic Claims Are Overblown" di New York Times.com tanggal 3 Agustus 2018 menjelaskan bahwa penciptaan lapangan kerja dan pertumbuhan upah riil telah melambat membandingkan akhir pemerintahan Obama dengan periode yang sama yang telah berlalu selama pemerintahan Trump; bahwa pertumbuhan PDB riil 4,1% pada quartal 2 (Q2) 2018 meningkat oleh kontribusi perdagangan yang tidak berulang dan terlampaui selama empat kuartal Pemerintahan Obama bahwa 84% dari keuntungan pemotongan pajak Trump akan diberikan kepada bisnis dan individu dengan pendapatan lebih dari US$ 75.000 (sehingga meningkatkan ketidaksetaraan). Pemotongan pajak dan peningkatan pengeluaran diperkirakan akan meningkatkan defisit anggaran pada tahun 2019 menjadi hampir US$ 1 triliun, dua kali lipat dari perkiraan sebelumnya; dan bahwa separuh manfaat pemotongan pajak untuk pekerja kelas menengah pada tahun 2018 akan diimbangi dengan harga gas yang lebih tinggi. Rattner memperluas analisisnya pada Desember 2018 melalui New York Times.com dengan judul artikel "Opinion-The Year in Charts", menjelaskan lebih lanjut bahwa rasio utang terhadap PDB berada pada lintasan yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan perkiraan ketika Trump menjabat, dengan tambahan utang federal sebesar US$ 16 triliun selama satu dekade.

Menulis di Washington Post, Philip Bump menjelaskan bahwa untuk masa jabatan pertama Trump per September 2019, kinerja pada beberapa variabel kunci sebanding atau di bawah masa jabatan kedua Obama (Januari 2013-September 2016), sebagai berikut: 1). PDB riil naik 7,5% secara kumulatif di bawah Obama, versus 7,2% di bawah Trump; 2). Jumlah pekerjaan naik 5,3% untuk Obama, dibandingkan 4,3% di bawah Trump; 3). S&P 500 naik lebih di bawah Obama di +39.9% versus Trump di +34.2%; 4). Tingkat pengangguran turun 2,9 poin persentase di bawah Obama versus 1,2 poin di bawah Trump; dan 5). utang nasional naik 10,5% di bawah Obama, dibandingkan 15,1% di bawah Trump.

Presiden Trump mengumumkan pada Oktober 2017 bahwa dia akan mengakhiri yang lebih kecil dari dua jenis subsidi di bawah ACA (Affordable Care Act), subsidi pengurangan bagi-biaya (cost-sharing reduction) (CSR). Keputusan kontroversial ini secara signifikan menaikkan premi di bursa ACA (sebanyak 20 poin persentase) bersama dengan subsidi kredit pajak premium yang meningkat bersama mereka, dengan memperkirakan peningkatan defisit anggaran sebesar US$ 200 miliar selama satu dekade. Argumen Presiden Trump dilandasi pada masalah sosial dan ekonomi bahwa pembayaran CSR adalah "bailout" bagi perusahaan asuransi dan oleh karena itu harus dihentikan. Sebenarnya, pengurangan CSR ini pun mengakibatkan pemerintah membayar lebih banyak kepada perusahaan asuransi (US$ 200 miliar selama satu dekade) karena kenaikan subsidi kredit pajak premium.

Jadi, tidak semua kebijakan nasional populisme ekonomi Donald Trump membawa keefektifan dan keefisiensian bagi perekonomian dalam negeri Amerika Serikat mengenai masalah pengangguran, lapangan pekerjaan, kebijakan moneter dan fiskal, dan perdagangan, yang semestinya menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah dan pejabat pusat dan daerah Republik Indonesia bagaimana mengemas narasi patriotik pembangunan sosial yang sejalan dengan UUD (Undang-Undang Dasar) 1945 dan Pancasila di dalam peran negara menciptakan kesejahteraan dan keadilan sosial sebagai upaya melawan radikalisme dan intoleransi di tengah globalisasi dan Revolusi Industri 4.0.

Penulis: Faruq Setya Wargi, Budi Akbar, Stevanus Vebe Teo Pradewata, Dean Andi Alfianto, dan Zofrano Ibrahimsyah Magribi Sultani.

DAFTAR PUSTAKA

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun