Dalam paradigma post-digital society, manifestasi ketidakpuasan publik kerap mengambil bentuk yang hybrid antara resistensi konvensional dan activism digital. Fenomena viral hashtag #IndonesiaGelap merupakan exemplar sempurna dari apa yang oleh Manuel Castells disebut sebagai "networked social movements" dalam era information society. Menariknya, artikulasi tuntutan publik dikemas dalam akronim PENTOL yang merepresentasikan kompleksitas permasalahan struktural di Indonesia.
Dekonstruksi PENTOL dalam Perspektif Teoretis
Polisi Diberesin
Tuntutan ini dapat dianalisis menggunakan framework institutional theory yang dikembangkan DiMaggio dan Powell. Urgensi reformasi kepolisian mencerminkan apa yang disebut sebagai "legitimacy crisis" dalam institusi formal. Mengutip konsep Pierre Bourdieu tentang symbolic violence, praktik-praktik problematik dalam institusi kepolisian telah menciptakan ketegangan dalam relasi power-knowledge antara state apparatus dan civil society.
Energi Buat Rakyat
Problematika distribusi LPG 3 kg dapat ditelaah menggunakan resource curse theory yang dikembangkan oleh Michael L. Ross. Indonesia, sebagai negara yang mengalami paradox of plenty, menunjukkan symptom klasik dari apa yang Jeffrey Sachs sebut sebagai "institutional weakness in resource management". Fenomena ini juga relevan dengan konsep "extractive institutions" yang diperkenalkan Acemoglu dan Robinson.
Naikkan Taraf Hidup Rakyat
Dalam perspektif critical development theory, tuntutan ini merepresentasikan kegagalan paradigma development orthodoxy yang berbasis pada Washington Consensus. Mengutip Amartya Sen, pembangunan seharusnya dipahami sebagai "expansion of capabilities" bukan sekadar pertumbuhan ekonomi semata. Teori dependensi neo-Marxian dari Andre Gunder Frank juga relevan dalam menganalisis persistensi kemiskinan struktural.
Tunaikan Tukin Dosen/Guru/ASN
Isu ini dapat dianalisis menggunakan principal-agent theory dalam konteks public sector management. Problematika remunerasi mencerminkan asymmetric information dan moral hazard dalam tata kelola birokrasi pendidikan. Teori motivasi Herzberg tentang hygiene factors juga relevan dalam memahami dampak ketidakpuasan kompensasi terhadap kinerja.
Output Makan Bergizi Gratis
Program ini dapat dievaluasi menggunakan framework policy implementation theory yang dikembangkan oleh Mazmanian dan Sabatier. Kegagalan pencapaian output optimal menunjukkan adanya implementation gap yang dijelaskan dalam teori bottom-up implementation dari Lipsky tentang street-level bureaucracy. Konsep food security dari FAO dan teori nutrition transition dari Barry Popkin juga relevan dalam menganalisis efektivitas program ini.
Lawan Mafia Tanah
Menggunakan pendekatan political economy institutionalism, fenomena mafia tanah dapat dipahami sebagai manifestasi dari apa yang Mushtaq Khan sebut sebagai "political settlements" antara elite formal dan informal. Teori rent-seeking behavior dari Gordon Tullock juga membantu menjelaskan persistensi praktik mafia dalam sektor pertanahan.
Analisis Meta-Teoretis
Gerakan #IndonesiaGelap dengan PENTOL-nya merepresentasikan apa yang Jrgen Habermas sebut sebagai "communicative action" dalam ruang publik digital. Menggunakan perspektif critical discourse analysis dari Norman Fairclough, kita dapat melihat bagaimana konstruksi linguistik PENTOL merupakan bentuk counter-hegemonic narrative yang mencoba mendekonstruksi dominasi wacana pembangunan orthodox.
Dalam kerangka social movement theory yang dikembangkan Sidney Tarrow, penggunaan akronim PENTOL merupakan bentuk "framing" yang efektif dalam memobilisasi collective action. Kreativitas linguistik ini sejalan dengan konsep "repertoires of contention" dari Charles Tilly, di mana humor dan permainan kata digunakan sebagai instrumen resistensi.
Implikasi dan Prospek
Mengacu pada teori punctuated equilibrium dari Baumgartner dan Jones, momentum #IndonesiaGelap berpotensi menciptakan policy window yang dapat mendorong perubahan sistemik. Namun, mengutip path dependency theory dari Paul Pierson, transformasi institusional membutuhkan lebih dari sekadar viral movement di media sosial.
Yang menarik untuk dicermati adalah bagaimana gerakan ini mencerminkan transformasi dari apa yang Nancy Fraser sebut sebagai "subaltern counterpublics" menjadi mainstream discourse. Fenomena ini juga menunjukkan evolusi dari traditional collective action menuju apa yang Bennett dan Segerberg sebut sebagai "connective action" dalam era digital.
Pertanyaan krusialnya adalah: Apakah artikulasi ketidakpuasan publik melalui PENTOL ini akan berhasil menciptakan apa yang Ernesto Laclau sebut sebagai "chain of equivalence" yang dapat mentransformasi tuntutan parsial menjadi gerakan transformatif yang lebih luas? Hanya Kang Pentol yang bisa menjawab.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI