Situs nahimunkar suatu kali pernah merilis artikel berisi tuduhan Habib Syech Abdul Qadir Assegaf atau Habib Syech sesat lantaran berbaiat pada tarekat Naqsyabandiyah.Â
Di lain kesempatan situs tersebut giliran menyerang DR. Quraish Shihab terkait tema Sunni-Syiah. Tendensinya sama saja; sesat. Cukup banyak laman dan situs yang mengumbar tuduhan serupa dengan ulama sebagai objeknya. Habib Luthfi bin Yahya pun tak luput dari serangan.
Tampaknya bukan kebetulan, situs-situs tersebut amat tidak suka dengan pemerintahan Jokowi-JK. Sebaliknya, mereka membela oposisi. Jadi realitas ini semestinya dibaca dengan kacamata politik, bukan akidah.
Tetapi jika merujuk pada Freud, hal ini tak lebih dari mekanisme pertahanan diri. Displacement, suatu ekspresi untuk melampiaskan emosi bukan pada objeknya. Seorang suami yang kesal pada istri tiba-tiba menendang pot bunga di halaman rumah. Si suami mengira pot itu pasti benda kesayangan istrinya. Cara ini bagi pelakunya dipandang sebagai pelampiasan emosi dan dengan sendirinya memperoleh suatu ketenangan atau kepuasan.
DR. Quraish Shihab dan ulama yang tersebut di atas dapat diibaratkan pot bunga. Mereka terlanjur dianggap dekat dengan rezim, pro rezim, sehingga dijadikan tangki penampungan emosi kubu oposisi.
Jadi sebuah paradoks tengah tumbuh subur di tengah-tengah bangsa yang gemuk ini, yaitu ulama dilarang berinteraksi dengan penguasa. Jika ada jarak cukup dekat di antara keduanya, mesin internet dan sosial media segera mengadili.
Apa salahnya interaksi umara-ulama? Tidakkah Salahuddin Al Ayyubi dekat dengan Syekh Abdul Qadir Al Jilani. Lalu bagaimana Syekh Aaq Syamsudin yang menjadi penasihat utama Sultan Muhammad Al Fatih. Adakah penguasa Islam setelah Khulafa Rasyidin yang lebih baik kepemimpinannya dibanding mereka berdua? Kalau tidak ada maka berarti ulama tidak boleh diasingkan dari kekuasaaan raja.
Bung Karno dan ulama begitu dekat. Sampai ada Menteri Penghubung Alim Ulama di era 1960-an. Di Indonesia, ulama secara de facto merupakan pemimpin kultural dan spiritiual, sehingga tidak mungkin suatu pemerintahan sama sekali tidak melibatkan ulama. Jika kemerdekaan saja terwujud dan terbela berkat peran besar santri-ulama, maka pembangunan pun demikian.
Politik kerap kali menghilangkan akal sehat dan rasa hormat. Itu yang membuat Syekh Ibnu Khaldun berdoa, "Aku berlindung dari kejahatan politik dan politikus". Dan itu yang terjadi sekarang.
Tapi bagaimana nasib ulama seperti Quraish Shihab, Habib Syech, dan Habib Luthfi bin Yahya akibat fitnah itu?
Suatu ketika Imam Malik (Allah yarham) pernah difitnah oleh seorang pria. Lama kelamaan pemfitnah itu insyaf lalu meminta maaf kepada Imam Malik. Namun beliau berkata kurang lebih, "Aku akan memaafkanmu, tetapi bagaimana kau akan membersihkan namaku dari orang-orang yang telah mendengar fitnah darimu?"