"Di tengah banyak jargon hijau dan kampanye keberlanjutan, industri tambang di Indonesia memainkan pertunjukan yang menarik, antara citra hijau yang menenangkan publik dan kenyataan ekologis yang terus berasap."
Pendahuluan
Latar belakang Isu
Fenomena greenwashing kini menjadi topik baru dari krisis komunikasi lingkungan di era "transisi energi hijau". Beberapa tahun terakhir, berbagai perusahaan besar di Indonesia, khususnya di sektor pertambangan dan energi fosil, aktif menampilkan citra "ramah lingkungan" melalui laporan keberlanjutan, kampanye media, dan jargon hijau seperti clean coal, green smelter, atau energy transition for a better future.
Namun, sejumlah riset memperlihatkan bahwa mayoritas klaim tersebut tidak sejalan dengan praktik di lapangan.
Menurut de Freitas Netto et al. (2020), greenwashing beroperasi dalam dua lapis: klaim simbolik (claims) dan implementasi semu (executional), di mana perusahaan memanfaatkan ambiguity dan omission informasi untuk menutupi dampak nyata.
Schmuck et al. (2018) menunjukkan bahwa visual dan narasi "hijau" mampu menenangkan persepsi publik dan membuat audiens menilai iklan positif meski substansi ekologisnya lemah.
Dalam konteks korporasi ekstraktif, Leonhardt & Guertler (2025) menemukan pola selective disclosure, perusahaan menonjolkan inisiatif kecil, menunda komitmen konkret, dan mengaburkan akuntabilitas dalam laporan tahunan.
Di Indonesia, studi Wahyuningrum (2024) memang menemukan korelasi positif antara keterbukaan emisi dan performa lingkungan, tetapi penelitian Yonandi & Lie (2025) menegaskan bahwa celah hukum dan lemahnya penegakan regulasi membuat praktik greenwashing tetap subur. Sementara Sholikin et al. (2024) menyoroti bahwa keterbukaan informasi lingkungan di industri ekstraktif Jawa masih minim dan bergantung pada inisiatif perusahaan, bukan sistem transparansi publik
Kondisi ini menimbulkan paradoks: di satu sisi, korporasi menampilkan wajah "hijau" yang menenangkan publik; di sisi lain, aktivitas eksploitasi tetap berjalan dan emisi terus meningkat. Akibatnya, komunikasi lingkungan bergeser dari fungsi edukatif menjadi alat legitimasi simbolik, di mana bahasa dan visual hijau berperan sebagai masker reputasi yang menutupi dampak ekologis sesungguhnya.
Rumusan masalah / pertanyaan analisis