Mohon tunggu...
ziyan albi
ziyan albi Mohon Tunggu... Mahasiswa Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta

Lagi kuliah Ilmu Komunikasi, tapi otak udah nyebur ke dunia investasi, media, sampe bisnis digital. Lagi ngerakit Sinarta Project, tempat nongkrongnya para pembisnis muda yang mau jalan tapi gak mau sendirian. Juga ngejalanin TIRA Hub, komunitas ikan arwana yang lebih galak dari investor saham pas market crash. Suka ngebahas soal ekonomi, pembangunan, dan gimana media bisa jadi senjata (atau cermin) buat generasi kita. Di Kompasiana? Gue nulis bukan biar viral—tapi biar kita mikir bareng.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Pohon yang Berasap: Fenomena Greenwashing Industri Tambang dan Transisi Energi Indonesia

6 Oktober 2025   18:07 Diperbarui: 6 Oktober 2025   18:07 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Di tengah banyak jargon hijau dan kampanye keberlanjutan, industri tambang di Indonesia memainkan pertunjukan yang menarik, antara citra hijau yang menenangkan publik dan kenyataan ekologis yang terus berasap."

Pendahuluan

  • Latar belakang Isu

Fenomena greenwashing kini menjadi topik baru dari krisis komunikasi lingkungan di era "transisi energi hijau". Beberapa tahun terakhir, berbagai perusahaan besar di Indonesia, khususnya di sektor pertambangan dan energi fosil, aktif menampilkan citra "ramah lingkungan" melalui laporan keberlanjutan, kampanye media, dan jargon hijau seperti clean coal, green smelter, atau energy transition for a better future.

Namun, sejumlah riset memperlihatkan bahwa mayoritas klaim tersebut tidak sejalan dengan praktik di lapangan.

  • Menurut de Freitas Netto et al. (2020), greenwashing beroperasi dalam dua lapis: klaim simbolik (claims) dan implementasi semu (executional), di mana perusahaan memanfaatkan ambiguity dan omission informasi untuk menutupi dampak nyata.

  • Schmuck et al. (2018) menunjukkan bahwa visual dan narasi "hijau" mampu menenangkan persepsi publik dan membuat audiens menilai iklan positif meski substansi ekologisnya lemah.

  • Dalam konteks korporasi ekstraktif, Leonhardt & Guertler (2025) menemukan pola selective disclosure, perusahaan menonjolkan inisiatif kecil, menunda komitmen konkret, dan mengaburkan akuntabilitas dalam laporan tahunan.

Di Indonesia, studi Wahyuningrum (2024) memang menemukan korelasi positif antara keterbukaan emisi dan performa lingkungan, tetapi penelitian Yonandi & Lie (2025) menegaskan bahwa celah hukum dan lemahnya penegakan regulasi membuat praktik greenwashing tetap subur. Sementara Sholikin et al. (2024) menyoroti bahwa keterbukaan informasi lingkungan di industri ekstraktif Jawa masih minim dan bergantung pada inisiatif perusahaan, bukan sistem transparansi publik

Kondisi ini menimbulkan paradoks: di satu sisi, korporasi menampilkan wajah "hijau" yang menenangkan publik; di sisi lain, aktivitas eksploitasi tetap berjalan dan emisi terus meningkat. Akibatnya, komunikasi lingkungan bergeser dari fungsi edukatif menjadi alat legitimasi simbolik, di mana bahasa dan visual hijau berperan sebagai masker reputasi yang menutupi dampak ekologis sesungguhnya.

  • Rumusan masalah / pertanyaan analisis

  1. HALAMAN :
    1. 1
    2. 2
    3. 3
    4. 4
    5. 5
    6. 6
    7. 7
    Mohon tunggu...

    Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
    Lihat Kebijakan Selengkapnya
    Beri Komentar
    Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

    Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun